JAKARTASATU– Mumpung baru masuk 2018 ini saya bikin catatan kecil tentang apakah pemerintah sukses bikin rakyat sejahtera atau tidak, dengan indikator yang sangat sederhana dan dapat kita rasakan.

Sebab semua jadi omong-kosong kalau rakyat tambah susah. Selama 3 tahun terakhir, bagaimana laju kesejahteraan rakyat? Kita kesampingkan data makro semisal angka pertumbuhan ekonomi yang pada masa Jokowi ini berjalan stagnan.

Data makro tidak bisa bicara banyak dan mendetail jika itu terkait sektor Kesejahteraan Rakyat. Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) atau “kue ekonomi yang membesar” sangat bias kesejahteraan jika ketimpangan pendapatan kita tinggi (gini ratio kita 0,39). Tahun 2016 GPD kita Rp 9.400 T, akhir tahun 2017 katakan jadi Rp 10.000 T.

Sekedar membantu mengingatkan bahwa dalam bidang ekonomi, produk domestik bruto (PDB) adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional.

Coba Lihat Rumus PDB berikut Y = Konsumsi + Investasi + Belanja Negara + (Export-Import). Konsumsi adalah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga, investasi oleh sektor usaha, Belanja Negara oleh pemerintah, dan ekspor dan impor melibatkan sektor luar negeri.

Nah sekarang, kita bisa lihat bahwa apalah artinya bagi kesejahteraan rakyat kita jika 74,8 persen kekayaan nasional hanya dimiliki 10 persen orang terkaya. Statistik dan pernyataan ini disampaikan oleh ekonom PDIP yang memimpin Megawati Institute Dr Arief Budimanta.

Beliau dulu bersama saya membentuk kaukus ekonomi konstitusi di DPR periode lalu – harusnya adalah peringatan kepada kabinet Pak Jokowi bahwa ada yang salah dalam arah pembangunan kita. Sebab jika kita bicara kesejahteraan paling relevan adalah bicara nasib petani, buruh dan pedagang kecil. Di luar itu relatif tidak perlu advokasi dan pembelaan, karena mereka sudah cukup mudah mengakses pasar dan sumberdaya ekonomi ekonomi.

Data tahun 2017, dari 124,5 juta angkatan kerja, sebanyak 39,7 juta (sekitar 32%) atau 1/3 angkatan kerja kita tinggal di desa dan bekerja di sektor pertanian (lihat tabel: Jumlah Tenaga Kerja dan Persebaran berdasarkan Jenis Lapangan Pekerjaan Tahun 2017, data diolah Dr BPS).

Bagaimana nasib petani dan nelayan selama tiga tahun terakhir? Mari kita lihat berapa upah buruh tani dan nelayan karena upah mencerminkan daya beli atau pendapatan serta kesejahteraan di sektor tersebut. Data ini lebih terasa bagi yg dekat dengan rakyat.

Data BPS mencatat walau UPAH NOMINAL meningkat, akan tetapi UPAH RIIL buruh tani mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun (lihat tabel). Pada Januari 2014 upah nominal buruh tani Rp. 43.808,- naik menjadi Rp.50.213,-pada Oktober 2017. Akan tetapi, seperti yang nampak dalam grafik; pertumbuhan kenaikan upah nominal ini tergerus inflasi sehingga menghasilkan upah riil buruh tani yang terus merosot dari Rp. 39.383,- pada januari 2014 menjadi hanya Rp.37.711 pada Oktober 2017

Inilah akibat dari inflasi tapi iflasi adalah data makro, sekali lagi statistik makro bias kesejahteraan bagi kelompok marginal. Bagi orang kaya inflasi yang hanya 3% tidaklah berarti apa-apa. Bagi orang miskin, inflasi adalah bahaya laten.

Inflasi yang terjadi sepanjang tahun membuat jarak (ketimpangan) antara upah nominal dan upah riil semakin melebar. Ini mengindikasikan bahwa semakin hari kondisi buruh tani semakin tertekan, kesejahteraan merosot.

Kelompok tani dan nelayan hidup di pedesaan dan angka kemiskinan sebagian besar disumbang dari masyarakat desa yang kesejahteraannya selalu terancam oleh kebijakan. Terutama kebijakan yang memberi dampak pada inflasi. Seperti kenaikan BBM dan listrik pada dalam 3 tahun terakhir.

Dari sisi persentase, tingkat kemiskinan dalam 3 tahun terakhir boleh jadi menurun, walau tidak signifikan. Tapi jika ditinjau lebih dalam, kemiskinan justru semakin parah. Statistik pemerintah kadang tidak mau jujur mengungkap secara utuh.

Dilihat dari indeks keparahan kemiskinan yg justru meningkat di era Jokowi (lihat tabel data BPS yg diolah staf saya). Tingkat keparahan terutama terjadi di desa. Dimana kemiskinan sangat terkait dengan dunia pertanian.

Inilah gambaran detail kesejahteraan sebagian besar masyarakat kita. Golongan petani nelayan dan pedagang kecil. Mereka adalah mayoritas bangsa Indonesia. Secara politik dari merekalah mandat kepemimpinan kita berasal.

Sementara itu, kesibukan pemerintah nampak tidak terkonsolidasi, bau ideologinya berbeda dalam kabinet dan juga dengan partai pendukung. Ada yang sibuk bersosialisme ada yang sibuk berkapitalisme.

Marilah kita tertibkan langkah tahun 2018. Semoga kita masih ada waktu untuk lebih mensejahterakan rakyat. Proyek-proyek besar OK tapi perlu menghitung daya tahan rakyat. Indikator bagi rakyat terlalu kejam. Rakyat makan 5000 perak sehari sudah dianggap tidak miskin.

Saya akan bikin catatan lain terkait sektor ekonomi terutama memasuki 2018. Kritik ini agar pemerintah berhati-hati atas pujian yang niatnya jahat. Pujian kaum kapitalis tidak mikirin perut rakyat. Mereka memuji karena mereka untung besar. RI

*Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah