JAKARTASATU– Saya eneg dengan institusi semi negara, maka saya mengusulkan kepada Jokowi untuk meneruskan apa yang sudah dilakukan pada tahap pertama dia berkuasa. Pak Jokowi membubarkan, kalau tidak salah institusi semi negara. Saya pikir dia (Jokowi) akan meneruskan, dan yang saya sarankan itu pertama adalah bubarkan KPK. Ternyata tidak berani, sampai sekarang. Sebab institusi ini sudah ada. Mekanisme kita untuk menjaga institusi itu berjalan dengan baik pun sudah ada. Institusinya sudah bergerak.

Kultur kita dalam berdemokrasi, saya kira jika intitusi sudah ada, maka tantangan kita yang sangat besar saat ini apakah kualitas demokrasi kita meningkat? Ini yang harus jadi pertanyaan dan gugatan. Misalkan dalam kasus Pilkada. Apakah kualitas partai politik kita meningkat? Ini yang saya cemaskan. Sebab jika Anda lihat penyelenggaraan Pilkada ini seperti orang main congklak. Penuh dengan msiteri. Penuh dengan ketidakterdugaan. Padahal harus dibangun kultur yang baik. Bagaimana sebuah partai politik. Mulai memperkenalkan kandidatnya pada masyarakat sejak awal. Harusnya rakyat diberi hak ini lebih lama siapa yang akan memimpin nantinya. Tiba-tiba banyak orang yang out of the blue, yang tiba-tiba menjadi kandidat. Dan pastinya, jeleknya ia adalah hasil dari transaksi, bukan dari hasil kaderisasi. Kultur ini harus diperbaiki karena public mempunyai hak untuk penentuan nasib dia selama nanti dipimpin. Sebab dalam sistem kita, pemimpin itu dalam presidensiil menentukan kehidupan kita.

Bagaimana kita membiarkan orang yang kita tidak kenal. Tidak digadang-gadang lama, tiba-tiba muncullah dan terpaksa dia memimpin kita. Ini karena ketidaksempurnaan proses. Karena juga akan di-buzz oleh iklan-iklan dan sebagainya.

Sistem kita sudah punya. Konstitusi kita, konstitusi demokratik dengan segala cirinya: anti diskriminasi dan ada kebebasan serta berserikat-berkumpullah (menyatakan pendapat).

Konstitusi kita itu kalau boleh saya katakan maka mirip dengan mirip-mirip dengan federalistic, dengan perdebatan yang sempurna. Institusi sudah ada dengan segala macamnya. Karena itu saya, termasuk di dalamnya intitusi antikorupsi dan dengan sistem antikorupsi. Sudah ada.

Teman-teman sekalian, di balik maraknya orang sebut bahwa korupsi sedang merajalela saat ini, coba Anda cek ke semua orang. Margin proyek saat ini tidak bisa mark up. Orang tidak bisa macam-macam. BPK kita itu kerja hebat sekali. BPK kita itu bisa mengecek sampai Rp. 1 pun dia bisa lacak. Sistem negara kita ini sudah punya imun sistem terhadap antikorupsi. Sebab itu saya muak dengan orang yang mendramatisir, jurnalisme yang tidak berdasarkan fakta. Karena membuat negara itu tidak selesai. Itu sebabnya jika dalam formasi pembentukan negara, Bung Karno itu jasanya adalah narasi kebangsaan.

Dia memimpin kita untuk memiliki arah. Memiliki catatan-catatan konstitusi dan sebagainya. Itu jasa Bung Karno. Pak Harto, jasanya adalah memperkuat dindingnya. Memperkuat konstitusinya. Ada banyak pemimpin yang otoriter di dunia tapi tidak meninggalkan satupun institusi. Pak Harto boleh kita tuduh otoriter, tetapi dia membangun hampir semua lembaga inti negara. Pak Habibie menurut saya jasanya adalah dia berusaha memperpendek transisi dengan mempersiapkan amandemen konstitusi. Lahirkan ratusan regulasi transisi untuk menghendaki keinginan masyarakat supaya lahir kontistusi atau negara yang demokratis.  Mereka adalah peletak dasar jika dirunut demokrasi di Indonesia. Tapi yang saya sayangkan, pemimpin setelah itu memperpanjang transisi kita. Itu yang terjadi sampai sekarang. Sehingga ada perasaan yang tidak selesai. Maka tugas pemimpin yang akan datang, siapapun dia, baik di tingkat Gubernur, Bupati, dan utamanya pada April 2019 kita harus memilih orang, pemipin, Presiden yang akan mengakhiri transisi di Indonesia.

Jangan diperpanjang lagi. Karena kita menjadi negara yang nampak tidak selesai. Kulturnya kita perbaiki. Lubangnya kita tutup. Termasuk di dalamnya tata cara dalam memilih pemimpin.

Kita harus memberikan kesempatan pada rakyat untuk menilai (calon) pemimpinnya lebih lama. Ini sayang sekali, apalagi memberikan kesempatan rakyat untuk mempunyai calon lebih banyak. Hari ini MK mengakhiri kesempatan itu. Sehingga nanti calon pemimpin kita itu, maksimal empat pasang. Calon yang dibikin oleh partainya Pak Hugo ini (PDIP), oleh Ibu Megawati dan kawan-kawan, calon yang dibikin oleh partainya Pak Airlangga (Golkar), Pak JK-lah otaknya di situ, keempat calon yang dibikin oleh Prabowo dan kawan-kawan, dan keempat adalah calon yang dibikin oleh mantan Presiden Pak Suryo dan kawan-kawan (Demokrat/SBY). Jadi hanya empat calon. Padahal kita mempunyai kesempatan 10-20 calon. Kalau ada partai yang lolos PT ini 15, maka ada 15 anak-anak bangsa yang akan bertarung di depan public. Sayangnya pertarungan itu dibatasi. Seleksinya diketatkan dari awal. Tapi menurut saya mungkin saja turun karena adanya koalisi (hanya tiga). Kalau ada koalisi lagi sisanya ada dua. Dan UU kita memungkinkan calonnya tinggal satu pasang. Lawan kotak kosong. Sehingga kita ini sebagai bangsa terbesar keempat di dunia ini, dan nomor tiga demokrasi terbesar di dunia ini terpaksa menonton orang-orang dalam jumlah terbatas. Sehingga tidak pernah ada kepercayaan diri bahwa pemimpin di republic ini banyak. Dan saya kira itu sudah ditunjukkan di pemilihan Bupati, Wali Kota, dan Gubernur dan akan ditunjukkan di Pilpres.

Padahal kita harus yakinkan bangsa Indonesia bahwa pemimpin di republic ini banyak. Orang yang sanggup selesaikan bangsa ini banyak asalkan diberi kesempatan yang lebih luas. Kalau calonnya tidak diberikan kesempatan yang lebih luas maka berilah kepada rakyat untuk berdebat lebih banyak menonton isi pikirannya dan karakternya di depan public. Sehingga saat kita masuk ke dalam TPS kita memilih dengan kesadaran yang utuh. Bukannya karena pengaruh-pengaruh lain. Itulah evaluasi dan kecemasan saya. Jangan kita terpaksa memilih. RI

*Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah