JAKARTASATU– “Mengancam nyawa yg mengidapnya juga bagi yg terkena sebaran bakterinya, karena itu harus ditangani sefera dengan vaksin. Tidak cukup dengan obat, apalagi obat herbal,” demikian disampaikan Soedjatmiko selaku Sekretaris Satgas Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia).

Ia menambahkan bahwa tiga negara yang pakar obat herbal pun seperti China, India, dan Amerika Latin mengakui bahwa obat herbal tak mampu menfatasi Difteri. Harus dengan vaksin.

Demikian yang ditegaskannya saat menjadi pembicara dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9), yang digelar di Ruang Serbaguna Roeslan Abdulgani, Kantor Kemenkominfo, Jl Medan Merdeka Barat 9, Jakarta Pusat, Jumat (12/1/2018).

Soedjatmiko menambahkan Difteri sangat mudah menular, merusak tenggorokan, dan kerusakan itu menumpuk di tenggorkaan berupa membran putih tebal, dan meyumbat saluran pernapasan. “Maka dari itu nanti akan berdampak tidak dapat bernafas. Yang kedua bakteri difteri itu mengeluarkan racun. Lalu racun akan menyebar yang salah satunya akan menyerang otot jantung. Maka jantung akan rusak. Itu bisa menyebabkan kematian,” jelas Soedjatmiko.

Ia melanjutkan, beberapa pengalaman pada tahun 2008 atau 2012, sebenarnya Difteri sejak 80-an, selalu ada. Tapi ada fluktuasinya.”Kini,  terjadi lagi dalam KLB. Angka kematian juga tinggi, sehingga kita harus berusaha mencegah perluasan dampaknya. Dalam kasus penyampajan kita bayangkan itu anak kita sendiri. Ini ada seuatu yang mengancam keluarga kita sendri.

Apa upaya pencegahannya? Ada dua. “Pertama, semua yang tersangka Difteri harus segera diperiksa, diobati jika betul ada kumannya segera dimatikan, racunnya dinetralisir dengan obat,” tukasnya.

Langkah selanjutnya adalah semua orang membuka mulut anaknya, sambil bilang A berkali kali. Apakah di tenggorokannya ada lapisan putih yang tebal. Kalau ada, segera di bawa ke dokter, atau puskemas terdekat untuk diperiksa apakah itu Difteri atau bukan.

Selain itu, semua tenaga kesehatan yang merawat pasien itu harus diperiksa secara periodik, tertular atau tidak, keluarga pasien tersebut juga harus divaksin dan mendapat antibiotik, dengan tujuan  jangan sampai menjalar ke yang lain.

Di sekolah, gurunya dan siswanya juga diperiksa semua. Kemudian juga di vaksin. Itu langkah pertama, berusaha mebatasi jangan menyebar kemana-mana. Langkah kedua dengan ORI (Outbreak Response Immunization). Mereka yang tidak terlibat yang bukan pasien, juga harus dilindungi dengan meberikan tambahan suntikan tiga kali. Walaupun imunisasinya sudah lengkap.

Kenapa demekian? Pertama semua orang tua mengatakan imunisasi selalu lengkap, kalau kita buka, tidak semua lengkap. Apa yang disebut lengkap? Kalau sampai umur 2 tahun imunisasi yang mengansung D, itu harus empat kali.

“Yaitu sebelum masuk SD kalau bisa sudah empat kali. Saat SD ada program BIAS, itu juga mendapatkan vaksin yang ada D-nya. Prinsipnya sebelum lulus SD harus sudah mendapatkan empat lagi.

KLB itu apa yang terjadi? Bakteri tersebar kemana-mana kita tidak tahu.  Jadwal imunisasi pun luar biasa. Kalau ada kantong kantong kumpulan anak anak yang kekebalanya rendah, maka akan bisa menular. Prioritasnya dalah mereka yang kontak dengan pasien. Di luar itu, mandiri.

Minimal satu kali imunisasi. Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 1978, sebaiknya tiga kali vaksinasi lagi agar tidak tertular bakterinya. Problemnya adalah adanya keluarga yang tidak mau diimuniasasi. “Ada yang betul betul karena ketidak-tahuan. Maka disinilah peran media massa diperlukan. Untuk memberikan dan menyebarkan info yang benar,” tegas Soedjatmiko.

Sementara yang anti vaksin hanya beberapa orang saja. Soedjatmiko menambahkan bahwa ada segelintir orang juga yang menyebarkan hoax kalau vaksin ini berbahaya. “Padahal jika vaksin berbahaya tidak mungkin 136 negara menggunakan vaksin Bio Farma. Karena di negara itu ada badan-badan yang mengawasi imunisasi.

Kegiatan kali ini mengambil  tema “Imunisasi, Difteri, dan Gerakan Antivaksin”, dengan menghadirkan narasumber Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Dirut Bio Farma Juliman, Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho, dan Seretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko. RI