JAKARTASATU– Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri dinilai bukan hanya persoalan kesehatan, tapi ini tantangan pembangunan secara keseluruhan.

Karena, persoalan ini menyangkut multidimensi, yakni ada pencegahan, deteksi, kewaspadaan masyarakat, gap komunitas, komunikasi publik, dan mobilitas pendiuduk.

Demikian disampaikan Deputi II Kantor Staf Presiden bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Sosial, Budaya dan Ekologi Strategis Yanuar Nugroho.

Deputi II KSP menjelaskan paparan tersebut dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (Dismed FMB9) bertajuk “Imunisasi, Difteri, dan Gerakan Antivaksin” di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Jumat (12/1/2018).

Menurut Deputi II KSP, saat ini, segala sesuatu berjalan dengan mobilitas tinggi. Mulai dari penyebaran informasi hingga penyebaran penyakit. Keduanya, monbilitasnya tinggi dan berbanding lurus satu sama lain.

“Sehingga, jika tidak diupdate dengan big data, akan jadi kuno. Seperti kita tahu, kecepatan penyebaran penyakit sepadan dengan percepatan informasi yang menyebar luas di masyarakat. Pertanyaannya, jika tidak didukung big data, siapa yang bisa memastikan vaksin bisa sampai ke semua wilayah di Indonesia?” ungkap Yanuar.

Deputi II KSP pun berharap, dengan adanya big data, pesan yang disampaikan bisa menyebar ke seluruh dimensi. Karena persoalan ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait mengkait satu sama lain.

“Dengan perspektif ini, koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga (K/L), serta antara pemerintah dengan masyarakat, sudah wajib. Tidak bisa lagi tidak ada hubungan dan koordinasi. Kembali, ini soal data yang bisa menjadi rujukan,” ulas Yanuar.

Selanjutnya, Deputi II KSP menjelaskan, KLB Difteri ini bisa menjadi rujukan. Dengan cepatnya informasi di media sosial, bisa membangun informasi yang edukatif.  “Ini akan terlihat, sejauh mana kesiapan masyarakat dalam merespon. Ini pentingnya edukasi. Karena itu, penting untuk melihat bagaimana kita meng-exercise diri kita dan masyarakat,” ujar Yanuar.

Sementara, terkait National Health Security, menurut Deputi II KSP, harus segera melakukan evaluasi kesiapan negara dalam menghadapi sejumlah ancaman kesehatan. Skema ini sudah dijalankan di sejumlah negara untuk segera ditindaklanjuti.

“Ancaman kesehatan telah menjadi fokus utama oleh sejumlah negara di dunia. Yakni, bagaimana pemerintah mewajibkan masuk sekolah dan pesantren dengan salah satu syarat kartu kesehatan dan imunisasi. Apapun ancaman itu akan ’kalangkabut’ kalau tidak ada koordinasi yang baik,” tegas Yanuar.

Untuk menguatkan kesiagaan KLB Difteri, menurut Yanuar, harus melakukan koordinasi yang utuh dengan strategi besar. Berangkat dari penanganan KLB Difteri ini pula, kolaborasi menjadi penting. Karena jika tidak akan menimbulkan setback, kembali ke belakang.

“Perspektif yang dilihat dari KSP adalah koordinasi lintas K/L. Bagaimana kebijakan di tingkat pusat benar-benar sampai ke masyarakat,” pungkas Yanuar.

Turut hadir sebagai narasumber antara lain Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek, Dirut PT Bio Farma Juliman, Sekretaris Satgas Imunisasi IDAI Soedjatmiko, dan Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) Yanuar Nugroho. RI