Pilgub Jatim dan Politik Sektarian

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Orang Sunda lebih sreg pilih gubernur Jabar dari orang keturunan Sunda. Orang Jawa, Batak, dan Bugis juga punya kecenderungan yang sama. Itu alami dan wajar dalam sebuah demokrasi.

Orang Islam, Kristen, Hindu, umumnya juga lebih sreg pilih yang seagama. Tidak perlu heran jika di Papua gubernurnya selalu beragama Kristen, di Bali beragama Hindu dan di Sulawesi Selatan beragama Islam. Gak perlu marah dan sok rasional ketika memahami mengapa orang Jakarta lebih suka memilih gubernur yang seagama. Preferensi sosiologis, dimana seseorang cenderung memilih sesuai basis sosialnya, adalah lumrah dan manusiawi.

Di Amerika, Australia, dan sebagian negara Eropa seperti Perancis dan Inggris, kampanye anti Islam masih sexy. Kampanye model seperti ini masih dianggap efektif untuk menjaring suara masyarakat yang anti Islam. Jumlah mereka masih cukup banyak. Gak perlu heran, apalagi marah.

Orang kulit hitam lebih senang dipimpin sesama kulit hitam. Begitu juga kulit putih. Soal ini, Obama sudah mengkampanyekannya pada pilpres di Amerika. Begitulah politik identitas, melekat pada setiap orang.

Umumnya, setiap orang punya identitas lebih dari satu. Misal, orang Sunda, aktifis IPNU, lalu kuliah di UGM dan aktif di HMI. Keempat identitas ini tidak serta merta sama kuatnya. Satu dengan yang lain pasti beda ukuran dan tingkat emosionalnya. Mana yang paling kuat ikatan emosionalnya akan terlihat salah satunya ketika dihadapkan pada pilihan politik praktis. Misal, muncul empat calon dari Sunda, NU, HMI dan alumni UGM. Jika dia pilih calon dari NU, besar kemungkinan ikatan emosional ke-NU-annya lebih kuat dibanding dengan identitas yang lain. Dengan catatan, tidak ada varibel lain seperti money politik dan sejenisnya.

Perbedaan tingkat emosional tidak saja bisa dibuktikan dengan kecenderungan seseorang terhadap politik praktisnya, tapi juga dari pilihan sikapnya. Ada sejumlah orang yang marah sekali ketika tokoh, ajaran dan ritual organisasinya dikritik. Tapi tidak marah ketika agamanya, Tuhannya, nabinya, atau kitab sucinya dilecehkan. Lalu mereka bilang: Tuhan tidak perlu dibela. Fakta ini mengungkap ikatan emosional terhadap identitas yang bertingkat dan tidak sama.

Teorinya, makin kuat ikatan emosional seseorang dengan identitas sosial tertentu, maka semakin fanatik dan militan. Semakin longgar ikatan itu, semakin liberal. (Lihat Emil Durkheim). Kedua sikap ini bisa ada pada satu orang yang memiliki lebih dari satu identitas. Misalnya, kepada organisasinya dia sangat fanatik, tapi tidak kepada etnisnya, bahkan juga kepada agamanya. Kepada organisasinya dia bela dan berani bertaruh nyawa. tapi tidak kepada Tuhannya. Sebab, ikatan terhadap organisasinya lebih kuat dari etnis dan agamanya.

Ikatan berbasis identitas sosial tidak saja menjadi pilihan sikap dan kekuatan politik pragmatis, tapi juga mampu menjadi penjaga stabilitas dan ketahanan sosial. Stabilitas menjadi keniscayaan dan prasyarat membangun masyarakat dan bangsa. Karena itu, sudah sepatutnya pemimpin itu berasal dari kalangan mayoritas. Bisa dari kalangan minoritas jika kapasitas dan integritasnya diyakini mampu menjamin kepentingan pihak yang mayoritas.

Karena itu orang NU lebih merasa cocok dipimpin orang NU. Atau setidaknya orang yang diyakini mampu merepresentasikan kepentingan warga Nahdliyin. Begitu juga barlaku bagi orang Muhammadiyah dan Masyumi. Itu fitrah. Karena itu, lahirlah PKB, PAN dan PBB. Ketiga partai ini merepresentasikan keberpihakan secara sosial.

Memang, ada orang NU milih PAN, dan juga orang Muhammadiyah milih PKB. Tapi, jumlahnya jauh dari signifikan. Anak milenial bilang: “gak ngaruh”.

Jawa Timur adalah tempat dimana NU lahir. Disinilah organisasi kaum Nahdliyin ini berkembang dengan pesat. Sah dan wajar jika mereka lebih memilih gubernur yang merepresentasikan warga NU. Apakah ini sektarian? Iya! Apakah sektarian itu dosa? Tidak! Apakah melanggar aturan? Tidak juga! Anda tidak dihukum ketika memilih PKB karena alasan anda orang NU. Berlaku juga bagi orang Masyumi yang memilih PBB dan orang Muhammadiyah yang pilih PAN.

Kalau ada orang Muhammadiyah pilih PKB karena alasan kecewa kepada ketuanya yang lagi mesra dengan istana, atau berkoalisi dengan PDIP, misalnya, itu kasuistik. Atau orang PKB yang kecewa sama Cak Imin karena pernah mendukung penista agama di DKI, lalu pilih PKS, itu juga kasuistik. Sesuatu yang bersifat emosional biasannya hanya sesaat dan tidak memberikan pengaruh besar dan jangka panjang. Karena itu, pilihan berbasis identitas tidak perlu dipersoalkan. Tidak usah sok logis untuk membantah realitas yang wajar dan manusiawi ini. Yang perlu adalah mendorong politik identitas ini ke arah rasionalitas tokoh yang dicalonkan.

Preferensi sosiologis itu fitrah. Jika di masa monarki kerajaan mengambil bentuk garis keturunan (lihat teori Ibnu Chaldun), di era demokrasi telah berkembang dalam beragam warna sosial. Pilihan berbasis “warna sosial” tidak buruk sejauh pertama, tokoh yang dipilih memiliki kapabilitas memadai dan integritas yang meyakinkan. Kedua, tidak merendahkan dan menghina tokoh dan kelompok yang berbeda.

Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa adalah dua sosok yang merepresentasikan basis sosialnya yaitu kaum Nahdliyin. Yang pertama lelaki berdarah biru NU, yang kedua adalah penguasa muslimat NU. 4 periode Khofifah menjadi ketua muslimat NU. Lama, mengakar dan tak ada lawan.

Kedua sosok ini tak diragukan ketokohan dan kontribusinya kepada NU. Istilah kata, jika dadanya dibelahpun, akan muncrat darah bertuliskan NU.

Kepada kedua tokoh NU, masyarakat Jawa Timur menyambut dan mengapresiasi. Terbukti, elektabilitas Gus Ipul, panggilan cicit Kiyai Hasyim Asy’ari ini, 36,3%, dan Khofifah 32,4%.

Jawa Timur adalah wilayah dengan jumlah pemilih terbesar kedua setelah Jawa Barat, yaitu 30,6 juta lebih. Karena itu, wilayah ini menjadi penyumbang suara signifikan untuk pilpres 2019.

Di wilayah ini Jokowi menjagokan Khofifah, dan PDIP menjagokan Gus Ipul. Mengapa Jokowi ikutan? Bukankah presiden adalah bapak bangsa yang harusnya netral? Itu cara berpikir normatif. Jokowi juga ingin jadi presiden lagi.

Untuk menandingi dua raksasa NU itu, sempat muncul raksasa-raksasa NU yang lain. Mahfudz MD dan Yenny Wahid. Yang satu orang dekat Gusdur, yang satunya lagi putri pertama Gusdur. Muncul juga Risma. Meski bukan beridentitas kuat sebagai Nahdliyin, tapi Risma telah membuktikan kerjanya untuk kaum Nahdliyin saat memimpin Surabaya. Ketiga tokoh ini diasumsikan mampu menandingi dua tokoh di atas. Tapi, sampai akhir pendaftaran di KPUD, mereka tidak maju. Ketiganya menolak untuk maju di pilgub Jatim. Mahfudz MD merasa terlalu senior, dan Yenny karena alasan keluarga. Setidaknya, itulah pengakuannya di media. Sementara Risma, seorang muallaf PDIP yang lebih asyik mengurus Surabaya.

Di luar tokoh NU diprediksi terlalu berat untuk bisa bersaing dengan Khofifah dan Gus Ipul. Suyoto, mantan bupati Bojonegoro yang dikenal karena prestasinya ini tidak cukup dukungan, baik partai maupun massa. La Nyalla Mattaliti, hilang namanya sebelum pendaftaran. Meski spanduk bertebaran, tapi tak ada yang minat kecuali Gerindra. Tak cukup suara, Gerindra akhirnya menarik diri. La Nyalla lalu muncul lagi, kali ini bukan untuk nyalon, tapi untuk membuat statement “palak”. Statement yang sempat menggegerkan jagad politik Indonesia.

Kedua tokoh ini bukan dari kalangan Nahdliyin. Prestasi keduanya tak mampu melampui semangat ke-NU-an warga Jawa Timur. Beda dengan Risma, prestasinya sangat populis sehingga mampu mengimbangi ikatan emosional berbasis sosiologis.

Sebagian orang berpendapat basis sosiologis itu tidak rasional. Tidakkah politik itu memang seringkali tidak rasional? Terbukti, preferensi rasional sering lebih kecil dari pada preferensi sosiologis dan psikologis. Artinya, jumlah orang yang memilih dengan otaknya selalu lebih kecil dari pada orang yang memilih karena ikatan primordial dan rasa suka. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia.

SBY dipilih jadi presiden tahun 2004, apakah karena alasan rasional? Faktor Ganteng, gagah dan kasihan karena dianggap terdzalimi lebih mudah dicerna dari pada harus menganalisis “track record” dan prestasinya. Begitu juga dengan Jokowi di tahun 2014. Ndeso, kurus, sederhana, dari kalangan orang biasa, semua itu lebih menarik dari pada ngejlimet mengukur kecerdasannya.

Faktor psikologis dan sosiologis seringkali lebih dominan di era pemilihan langsung ini. Sebab itu, susah bagi tokoh luar Jawa jadi presiden. Mengapa? karena lebih dari separoh pemilih di Indonesia itu orang Jawa. Dan mereka lebih suka memilih sesama orang Jawa.

Kekuatan politik berbasis identitas, termasuk yang berlaku di pilgub Jatim, bukan sesuatu yang buruk sejauh calon yang diajukan memiliki integritas dan mampu bekerja untuk kepentingan rakyatnya.

Jakarta, 13/1/2017