JAKARTASATU.COM – Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi III DPR dengan perwakilan masyarakat Kelurahan Lembah Damai, Kota Pekanbaru. Jauh-jauh dari Pekanbaru, mereka ingin mencari keadilan atas perlakuan terhadap Poniman, yang kembali ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama oleh Polresta Pekanbaru. Marni, istri Poniman lantas mencurahkan jeritan hatinya di hadapan anggota Komisi Hukum.

Marni tak habis pikir suaminya yang hanya petani karet dengan penghasilan pas-pasan terpaksa keluar-masuk penjara meski telah diputus bebas oleh hakim praperadilan. Kuat dugaan, ada oknum perwira tinggi kepolisian di balik akrobat hukum yang menimpa Poniman.

Kejanggalan inilah yang membuat Komisi Hukum sepakat untuk segera memanggil Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan jajarannya. Kunjungan ke lokasi sengketa juga telah diagendakan Komisi Hukum guna memperoleh informasi yang lebih utuh. “Ini bentuk ketimpangan sebab ada proses penegakan hukum yang melanggar KUHAP dan intimidatif yang merampas rasa keadilan masyarakat,” tegas anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan dalam RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan di Senayan, Senin (29/1).

Anggota Komisi Hukum lainnya, Junimart Girsang juga menukas senada. Agar lebih jelas, politisi PDIP ini meminta agar Kapolda Riau dan Kapolresta Pekanbaru serta Kajari Pekanbaru untuk segera dipanggil dalam RDP.

Kasus Poniman bermula pada 8 Juni 2016 saat Jon Mathias yang mewakili PT Berkah Mitra Kumala (BMK) melaporkan Poniman ke Polresta Pekanbaru dengan tuduhan pemalsuan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) sebidang lahan di Kecamatan Rumbai Pesisir, Pekanbaru. Sengketa lahan yang menyeret Poniman sebagai pesakitan berada di kawasan yang berdekatan dengan areal seluas 400 hektar yang diduga kuat akan dikuasai secara paksa oleh perusahaan BMK.

Atas laporan tesebut, Poniman kemudian ditetapkan sebagai tersangka pada 14 Maret 2017 dan ditahan pada 19 Oktober 2017. Tidak terima atas penetapan tersangka tersebut, Poniman melalui kuasa hukumnya mengajukan praperadilan pada 24 November 2017 di PN Pekanbaru. Meski masih dalam proses praperadilan, Kejari Pekanbaru tetap menerima berkas perkara Poniman dan dinyatakan P-21 pada 18 Desember 2017.

Selanjutnya, Putusan Praperadilan PN Pekanbaru pada 20 Desember 2017 menyatakan penetapan Poniman sebagai Tersangka tidak sah dan memerintahkan agar Poniman dikeluarkan dari tahahan. Anehnya, Kejari Pekanbaru tetap menahan Poniman dengan alasan tidak ikut sebagai Termohon dalam praperadilan. Kejari Pekanbaru tetap melimpahkan berkas perkara Poniman ke PN Pekanbaru pada 21 Desember 2017, atau satu hari setelah status tersangka Poniman dinyatakan gugur.

Eksepsi yang diajukan kuasa hukum Poniman ahirnya dikabulkan dalam putusan sela tertanggal 22 Januari 2018. Adapun isi putusannya antara lain adalah menyatakan surat dakwaan tidak dapat diterima dan membebaskan Poniman dari Rutan Klas II B Pekanbaru.

Ironisnya, pada hari yang sama sesaat Poniman keluar dari Rutan, kembali ditangkap aparat Polresta Pekanbaru dengan menunjukkan Sprindik baru yang ditandatangani pada hari yang sama juga.

“Mencengangkan Poniman bisa ditangkap untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama. Adakah mungkin di hari yang sama sesaat setelah eksepsi diterima lalu ditemukan dua alat bukti baru sehingga kembali ditetapkan tersangka?” tukas Augustinus Hutajulu, Ketua Tim Kuasa Hukum Poniman dalam keterangannya, Selasa (30/1).

Dikatakan Augustinus, penahanan Poniman serta pelimpahan berkas nya oleh Jaksa Penuntut Umum Kejari Pekanbaru ke PN Pekanbaru tertanggal 23 Januari 2018 menjadi tidak sah berdasarkan putusan praperadian dan telah melanggar KUHAP, karena menurut pasal 1 butir 15 KUHAP ” Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan”.  Berhubung status tersangka Poniman sudah dinyatakan tidak sah, berarti tidak mungkin dia dijadikan terdakwa dengan berkas perkara yang semula. “Ini hanya bentuk kesewenang-wenangan aparat hukum. Seyogyanya, apa yang telah diputuskan hakim harus dihormati semua pihak karena dianggap kebenaran -res judicata pro veritate habetur,” pungkas Augustinus Hutajulu. | JKST/MAR