JAKARTASATU– Beberapa negara tetangga kita, di 2017 kemarin itu memiliki pertumbuhan yang trennya menaik. Positif. Jadi bahka kita juga cukup terkaget-kaget ketika Vietnam mampu tumbuh di atas 7 persen. Dan bahkan Singapura yang biasanya kisaran 3 persen, kemarin (triwulan tiga) itu hampir 5 persen. Trennya naik, termasuk Thaiand, Filipina, dan Brunei Darusalam (yang tadinya tumbuh negatif di 2016). Di 2017 Brunei, walaupun masih di bawah Indonesia, tetapi semuanya positif.

Kitapun bertanya-tanya ada apa dengan Indonesia? Kok kita tertinggal sendiri. Stagnan sendiri. Hanya mampu tumbuh 5 persen. Bahkan jika kita bandingkan misalnya, 2017 kita dapat hatrick, hanya Indonesia mengalami rating peningkatan. Untuk investasi. Kita dinilai layak untuk tujuan investasi. Kita mendapatkan kemudahan berusaha, sekaligus kita mendapatkan rating perbaikkan di daerah. Tetapi kok investasi, jika teman-teman amati BPS kemarin mempublis BNPB, komponen investasi di dalam GDP kita memang masih di atas 5 persen. Tapi itu kan akumulasi. Dan yang mengalami peningkatan terbesar, itu adalah di sektor bangunan.

Sektor bangunan sih sebenarnya masih no problem, kalau itu bangunan untuk pabrik-pabrik. Nah yang menjadi persoalan bangunan terbesar adalah karena diakibatkan berbagai macam bangunan fisik infrastruktur yang dikejar oleh pemerintah. Sementara di sektor-sektor riil, pertumbuhannya hanya 3-4 persen.

Menurut saya ketika kita mendapatkan hatrick, ketika kita mendapat secara kondisi tidak ada masalah dengan berbagai macam persoalan politik, politik kita stabil dan sebagainya tetapi kok investasi tetap 3-4 persen.

Bagaimana kalau misalnya memasuki tahun politik, yang sebetulnya tidak hanya di Indonesia, di banyak negara memang jika memasuki tahun politik investor kan cenderung wait and see, karena mereka ingin menunggu kepastian terlebih dahulu. Kalau memasuki tahun politik ini ada “kendala” yang begitu krusial, maka koita sangat khawatir bagaimana nasib investasi di 2018. Padahal, untuk bisa kita terjadi akselerasi ekonomi, kita butuh sekarang adalah investasi. Sebab, kalau misalnya memang ada momen untuk Pilkada serentak, ada Asian Games, ada Piala Presiden (yang tentu dampaknya dari Piala Presiden di pengeluaran masyarakat), termasuk di Bali nanti di bulan Oktober ada World Bank dan IMF bertemu di sana ekonomi-ekonomi dunia. Tetapi faktor-faktor 4-6 persen tadi itu lebih banyak dari sisi konsumsi rumah tangga.

Sementara dari sisi investasi yang masih big question sehingga menjadi  dasar ke-worried-an kami. RI

* Direktur Eksekutif, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati