JAKARTASATU– Ini tulisan kecil saya buat untuk memudahkan kita membaca akar dari pikiran kaum otoriter sepanjang masa. Bagus juga dipahami dalam kerangka agama. Ini merespon pandangan kaum otoriter yang muncul di panggung sejarah kita kini juga muncul dalam partai atau negara.
Mentalitas otoriter itu sebenarnya lahir dari kelompok yang mulai gagal membaca makna relasi-relasi sosial yang rumit. Mulai dari rumah tangga dengan bapak yang menganggap anak dan istri sebagai harta milik, partai yang pimpinannya menganggap diri dalam hirarki tertinggi.
Sekarang, dalam negara kita #KaumOtoriter sedang mengusung pasal tentang penghinaan kepada presiden dengan anggapan seolah presiden adalah lambang NKRI yang tidak boleh disentuh dengan kritik dengan kata-kata yang tidak dibakukan. Dalam rezim ini, kita sudah mendengar banyak kisah cara berpikir #KaumOtoriter mulai dari pembubaran ormas, sertifikasi khotbah Jumat, pasal-pasal makar yang dihidupkan, pasal-pasal ITE yang dikembangkan sampai ijin penelitian yang kemudian dibatalkan sepihak.
Pada dasarnya, #KaumOtoriter tumbuh mewakili mereka yang tidak sanggup berpikir imajinatif. Jalan pikirannya sederhana dan cemas dengan kompleksitas serta takut melihat kebebasan. Mereka selalu datang dengan ide memaksakan penyederhanaan. #KaumOtoriter memandang manusia dengan perasaan curiga, ini karena mereka membaca manusia dengan kacamata yang salah. Manusia dianggap sama saja dengan binatang sehingga diatur pun seperti binatang. Sejak itu #KaumOtoriter membuat hirarki.
Padahal, mnusia setidaknya harus dipandang sama. Pertama, ia telah dimuliakan oleh Tuhan sebagai ciptaan terbaik (ahsanitaqwim). Kedua, manusia sama kedudukan di depan Tuhan. Ada ketaqwaan tapi bukan ukuran manusia. Manusia harus membatasi diri dalam menilai. Maka, sejak itulah kita wajib memperjuangkan hukum yang menciptakan kedudukan yang sama. Bunyi Pasal 27 UUD 1945. (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Peradaban hukum telah mengantarkan kita pada pasal 27 UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara akan diperlakukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Tapi #KaumOtoriter terus saja ingin menggerus nilai itu atas nama keperluan sesaat. #KaumOtoriter di manapun mereka berada sebetulnya sedang sudah buntu dan tak sanggup lagi beepikir. Sehingga kompleksitas dan kebebasan ini membuat mereka frustrasi dan ingin mengambil jalan pintas. Ini yang sedang mereka lakukan.
Mereka cemas dengan orang-orang kritis yang bersuara berbeda lalu ingin begitu saja memberikan label kepada mereka sebagai musuh negara atau musuh partai. Mereka melebur diri dalam institusi sehingga kritik kepada pribadi dianggap musuh lembaga. Padahal, untuk menjadi pencinta demokrasi dan kebebasan sejati dan tidak menjadi #KaumOtoriter, yaitu menyadari relasi sosial dalam kerangka #PancasilaKita di mana agama memberikan warna utama. Memang ini agak rumit tapi untuk itulah pemimpin perlu cerdas.
Kita memerlukan pemimpin yang cerdas sebab ide-ide dalam kehidupan demokrasi dan #PancasilaKita cukup kompleks. Tidak cukup bicara Saya Indonesia dan saya Pancasila tapi ternyata tidak paham keduanya. Pemberlakuan kembali pasal-pasal otoriter adalah pertanda bahwa kita sedang dipimpin orang bodoh. Ini berlaku di semua tempat. Partai atau Negara. Wallahualam. #StopKaumOtoriter. RI
*Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI