JAKARTASATU– Serentetan serangan terhadap tokoh keagamaan yang terjadi akhir-akhir ini terjadi mengusik perhatian saya. Jika sebelumnya serangan dialami oleh sejumlah tokoh Islam, ulama dan ustadz maka pada Minggu 11 Februari 2018, serangan kini menimpa Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Saya mengecam aksi tersebut, sekaligus mendesak Polri mengusut tuntas aksi-aksi brutal ini, termasuk motif para pelaku.

Aksi penyerangan terhadap jamaah dan pimpinan Misa di Gereja Lidwina Sleman, Yogyakarta, jelas melukai kita. Saya mengecam tindakan tak beradab tersebut. Tindakan itu sama sekali tak mencerminkan ajaran agama manapun. Tapi di sisi lain, kita harus jeli menilai kejadian tersebut. Apalagi, kejadian serupa bukan kali pertama terjadi.

Jangan sampai kita gampang menuduh seolah aksi terhadap kelompok A pastilah disebabkan kelompok B, atau sebaliknya. Sebab, saya mencium aroma adu domba antar kelompok di sini, baik antar kelompok yang berbeda agama, maupun antar kelompok dalam satu agama. Kalau kita tarik lagi ke belakang, sebelum peristiwa kekerasan di Gereja Lidwina, kita mencatat setidaknya ada empat serangan serupa yang kebetulan menimpa pemuka kalangan Islam dari ormas yang berbeda-beda.

Pertama, kekerasan terhadap K.H. Emron Umar Basyri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, seorang tokoh NU. Kedua, serangan terhadap Ustad Prawoto, salah satu tokoh Persis (Persatuan Islam), yang akhirnya meninggal dunia. Ketiga, serangan terhadap seorang santri dari Pesantren Al-Futuhat Garut, oleh enam orang tak dikenal. Dan keempat, serangan terhadap Ustad Abdul Basit, yang dikeroyok sejumlah orang di Jalan Syahdan, Palmerah, Jakarta Barat. Serangan-serangan tersebut terlihat memiliki pola target yang sama.

Sasarannya adalah tokoh atau kelompok keagamaan. Menariknya, sejumlah penyerang yang berhasil diidentifikasi juga memiliki identitas tuggal, yaitu diduga sebagai orang gila. Kejadian-kejadian tadi jadi ada polanya. Sehingga, jangan heran jika ada sebagian dari kita yang menduga bahwa saat ini sedang ada semacam upaya adu domba antarumat beragama di sini, apapun kepentingannya.

Isu agama adalah isu sensitif. Sehingga, aparat kepolisian harus bekerja cepat dan transparan, agar tidak muncul spekulasi dan prasangka yang bisa memicu konflik di tengah masyarakat. Terlebih di tahun-tahun politik seperti sekarang. Upaya-upaya yang mengarah kepada adu domba, membentur-benturkan masyarakat, semakin banyak. Itu sebabnya pemerintah, dalam hal ini aparat keamanan, harus bisa mengantisipasi agar peristiwa serupa tak terulang lagi.

Dari sisi keamanan, rentetan tindak kekerasan ini merupakan tamparan bagi pemerintah. Ini menunjukkan pemerintah belum bisa memberikan jaminan rasa aman. Padahal, ulama, santri, pendeta, dan jemaat gereja adalah warga negara yang berhak dapat jaminan keamanan dari pemerintah. Apalagi, pemerintah juga baru menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama dan Kerukukan Bangsa pekan lalu. Kenapa tiba-tiba bisa muncul kejadian seperti ini?

Ini menjadi teguran bagi kedisiplinan pemerintah, khususnya aparat keamanan. Sementara, dari sisi ekonomi, pemerintah harus segera ubah haluan pembangunan, dari semula berorientasi proyek dan mendatangkan investasi secara jor-joran menjadi lebih berorientasi pemerataan.

Masyarakat yang selama ini dikesankan ayem, tentrem, tiba-tiba bisa berubah beringas? Benarkah ada masalah dengan toleransi, ataukah ada masalah lain yang bersifat struktural? Dari data yang saya pegang, ternyata tingkat ketimpangan ekonomi di Yogya saat ini mencapai angka 0,44, atau jauh di atas tingkat ketimpangan ekonomi nasional yang berada di angka 0,39.

Biaya hidup di Yogya dari tahun ke tahun terus naik, jauh di atas rata-rata kota besar yang ada di sekitarnya, seperit Solo dan Semarang. Lonjakan harga tanah di Yogya termasuk yang tertinggi secara nasional, membuat banyak orang yang tinggal di Yogya kesulitan memiliki rumah.

Ini adalah problem struktural. Dan ketimpangan, seperti pengalaman historis kita, adalah jerami kering yang mudah sekali terbakar. Jadi, mari kita jaga perdamaian bukan hanya dengan semangat toleransi saja, tapi juga semangat menyingkirkan problem ketidakadilan sosial dan ketidakadilan ekonomi yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Menciptakan toleransi utamanya merupakan tugas masyarakat, maka menciptakan keadilan sosial terutama adalah tugas pemerintah. Saya mengajak dan menghimbau pada para pemuka agama di Indonesia untuk turut menjaga dan menenangkan masyarakat.

Jangan mudah terpancing atau terjebak pada politik adu domba. Kekayaan kita yang paling berharga adalah bisa bersatu dalam kemajemukan. Kita harus menjaganya. RI

*Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon