Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Jokowi gagal? Kata siapa? Pro-kontra mewarnai penilaian rezim sekarang. Masing-masing punya data dan pendukungnya. Terjadi perdebatan tak berujung. Rasionalitas dan sikap emosional terlibat ikut meramaikan diskusi soal sukses-gagalnya Presiden Jokowi.

Masih ada dua tahun. Jangan buru-buru membuat kesimpulan. Sifatnya sementara, boleh. Sah-sah saja. Namanya juga menilai. Tetapi, tetap beri kesempatan presiden membuktikan lagi kinerjanya hingga batas tugasnya di 2019.

Sebagian masyarakat tidak sabar. Kenapa? Ekonomi makin sulit. Barang-barang naik. Pekerjaan susah. Gaduh terus. Rasa aman terancam. Orang gila bertebaran. Sabar! Yang penting negara ini tidak ikutan gila.

Salah siapa? Jangan buru-buru cari kambing hitam. Pemimpin harus bertanggung jawab! Pemimpin yang mana? Presiden? Gubernur? Bupati atau walikota? Semua mesti ambil bagian tanggung jawab itu. Terutama pemimpin tertingginya: Presiden Republik Indonesia.

Keluh kesah dan rasa kecewa sebagian rakyat di atas bisa dipahami. Sikap ini menemukan rasionalitasnya pada sejumlah data survei yang ada.

Berbagai survey tentang kinerja Presiden Jokowi sudah mulai banyak dibuka. Termasuk oleh LSI dan ILUNI UI. Mulai dari aspek ekonomi, agama sampai politik. LSI misalnya, merilis tiga isu besar terkait kinerja dan kebijakan Jokowi yaitu ekonomi, agama dan pekerja asing/aseng. Dalam survei itu diperoleh data: harga kebutuhan pokok makin mahal 52,6%. Lapangan pekerjaan makin sulit 54%. Tingkat pengangguran bertambah 48%.

Selain faktor ekonomi, 58,3% rakyat Indonesia mempersoalkan semakin rapuhnya kedaulatan negara dengan banjirnya tenaga asing/aseng. Belum lagi isu agama yang terus muncul. Istana dianggap tidak berpihak kepada umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas.

Sementara survei ILUNI UI: hanya 18,7% yang puas atas kinerja Jokowi di bidang politik. 22% di bidang hukum. 28,4% di bidang ekonomi. Dan hanya 34% yang mendukung Jokowi sebagai calon presiden.

Dari data survei ini menunjukkan record Presiden Jokowi masih dianggap jauh dari ekspektasi rakyat. Kata lain: dianggap tidak memuaskan.

Data ini dianggap sebagai sejumlah faktor yang mengancam elektabilitas Jokowi yang tak sampai 50%. Ini artinya, lebih dari 50% rakyat menginginkan presiden baru.

Karena itu, lahir inisiatif untuk memunculkan calon presiden alternatif. Ini logis untuk menjawab kekecewaan rakyat dan memenuhi ekspektasinya. Selama dilakukan sesuai prosedur yang demokratis, ini wajar dan alamiah. Tidak wajar jika ikhtiar demokrasi ini diganjal dan berupaya ditutup ruangnya oleh pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu kepentingannya.

Pilpres adalah sarana yang sah dan paling demokratis untuk mengikhtiarkan pergantian kepemimpinan bangsa. Apa yang dilakukan sekelompok rakyat dengan berupaya menggalang kekuatan untuk mengganti kepemimpinan bangsa adalah bagian dari ikhtiar demokratis. Semua pihak mesti bisa menghargai dan mengapresiasi ini.

PKS, melalui statement Mardani Ali Sera di acara ILC tegas mengatakan: ingin mengganti Jokowi. Dan PKS telah memunculkan sembilan nama sebagai bakal calon presiden. Sikap yang gentle. Di saat sejumlah ketua partai branding nyawapres, PKS munculkan bakal capres. Cukup berani dan punya nyali. Sudah semestinya sikap seperti ini diambil oleh partai oposisi.

Branding capres, dapat cawapres ya gak apa. Itu kira-kira logikanya. Namanya juga usaha. Ini sikap politik yang paling masuk akal mengingat tak ada satu partaipun yang bisa mengusung capres-cawapres sendirian. PDIP sekalipun yang saat pemilu 2014 menjadi pemenangnya.

Dengan siapa PKS akan berkoalisi? Agar cukup 20% kursi atau 25% suara sebagai syarat minimal mengusung pasangan calon, ada tiga alternatif. Pertama, PKS-PDIP. Kedua, PKS-Golkar. Ketiga, PKS-Gerindra.

Hampir pasti PKS-Gerindra adalah pilihannya. Kenapa dua alternatif pertama tidak dijajagi? Ngeri. Pertama, akan berpotensi menimbulkan perpecahan internal partai. Kedua, PKS akan dituduh berkhianat kepada umat.

Pasangan PKS-Gerindra bukan sekedar koalisi, tapi lebih pas disebut sekutu. Beziehung, meminjam istilahnya Martin Buber, seorang filofof Jerman. Artinya “teman sejati”. I require a You to become, becoming I, I say you. “Aku menjadi Aku karena Engkau.”

Foto: Istimewa

Saat ini hanya koalisi PKS-Gerindra, satu-satunya harapan bagi mereka yang menginginkan adanya suksesi. Sebuah pergantian kepemimpinan bangsa. Hanya saja, apakah pasangan calon yang diusung sekutu ini bisa mengakomodir mereka yang kecewa terhadap istana? Jika jawabnya bisa, maka potensi menang akan sangat besar. Tapi, jika salah pasang calon, sekutu ini harus memperpanjang posisinya sebagai oposisi. Kemampuan berkalkulasi dan meredam ego dibutuhkan oleh sekutu PKS-Gerindra ini.

Formasi yang paling rasional bagi sekutu ini adalah Gerindra-PKS. Gerindra menyiapkan capresnya, PKS jadi cawapresnya. Mengapa? Karena kursi Gerindra lebih banyak dari PKS. Gerindra 73 kursi. PKS 40. Total 113 kursi. Lebih satu kursi untuk memenuhi syarat minimal mengusung capres-cawapres yaitu 112 kursi. Sementara PKS belum/tidak punya calon yang elektabilitasnya aduhai untuk dijadikan capres..

Selain Prabowo, Gerindra belum punya kader yang berkelas nasional. Kalau Prabowo batal nyapres, Gerindra mesti ambil tokoh lain. Tokoh yang paling dekat dan rasional dipilih Prabowo adalah Anies Rasyid Baswedan. Posisi Prabowo sebagai “King Maker” akan jauh lebih taktis dan strategis. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh SBY dan Megawati.

Lalu, siapa cawapres dari PKS? Sembilan nama yang disiapkan PKS bisa diambil salah satunya. Sembilan nama-nama itu adalah: Ahmad Heryawan, Hidayat Nurwahid, Anis Matta, Irwan Prayitno, Muhamad Sohibul Iman, Salim Segaf Al Jufri, Tifatul Sembiring, Muzammil Yusuf dan Mardani Ali Sera.

Kesembilan nama itu bisa diambil salah satunya. Basis pertimbangannya adalah survei pasangan. Siapa yang tertinggi elektabilitasnya ketika dipasangkan dengan capres Gerindra, maka ialah yang berhak untuk maju.

Kuatnya sekutu inilah yang kabarnya membuat istana ketakutan. Upaya untuk mendekati salah satu atau kedua partai ini terus dilakukan. Tujuannya? Memecah persekutuan. Dengan begitu, tak ada lawan bagi istana. Tak ada cek and balance. Sepi kompetisi. Ini bahaya. Kekuasaan tanpa kontrol dan kompetisi akan jadi tirani. Jika ini terjadi, akan buruk bagi pertumbuhan demokrasi dan masa depan bangsa. Buruk pula bagi sekelompok rakyat yang ingin perubahan.

Persekutuan PKS-Gerindra menjadi satu-satunya harapan bagi perubahan Indonesia di masa datang. Karena itu, sejumlah kepentingan yang menginginkan “status quo” berupaya menggempur persekutuan ini. Caranya, mulai dari “negatif campaign” hingga “black campaign”. Menyerang dengan data hingga menebar fitnah. Hal biasa dalam politik. Tapi, tetap saja tidak bermoral.

Apapun dinamika politik yang dialami PKS-Gerindra, ekspektasi rakyat yang menginginkan perubahan negeri ini berharap bisa diakomodir oleh sekutu dua partai yang konsisten sebagai oposisi ini. PKS-Gerindra, boleh jadi dapat tambahan PAN, diharapkan terus konsisten memberikan perlawanan oposisional dan kompetitif demi lahirnya Indonesia Baru di tahun 2019.

Jakarta, 18/2/2018