JAKARTASATU.COM – Sejak Agustus 2017, harga Batubara benar-benar membara. Harga Batubara Acuan (HBA) pada penyerahan sepanjang Agustus 2017 secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB vessel) sudah mencapai US$ 83,97 per metric ton. Bandingkan dengan periode yang sama pada 2016, HBA FOB masih sebesar US$ 58,37 per metric ton. Hingga akhir Januari 2018, harga Batubara semakin membara. HBA FOB naik kembali hingga mecapai US$ 94,70 per metric ton pada Penjualan Batubara Februari 2018,
Membaranya harga Batubara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sudah pasti semakin merana, lantaran beban biaya PLN dalam penyediaan pasokan listrik semakin berat. Pasalnya PLN menggunakan Batubara lebih dari 57% dari total energi primer untuk pembangkit listrik. Tidak bisa dihindari, setiap penaikkan harga Batubara akan menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dengan kenaikkan HPP listrik, PLN seharusnya menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TLL). Masalahnya, Pemerintah sudah memutuskan untuk tidak menaikkan TLL, yang berlaku sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2018, bahkan ketidak-naikkan TLL itu konon akan diperpanjang sampai akhir 2019.
Memang keputusan untuk tidak menaikkan TLL merupakan komitmen keberpihakan Pemerintahan Joko Widodo kepada rakyat, yang daya belinya sedang melemah. Keputusan itu juga untuk mengendalikan inflasi. Pasalnya, kenaikkan tarif listrik secara signifikan memicu laju inflasi, yang ujung-ujungnya menambah beban rakyat miskin. Namun, di tengah melambungnya harga Batubara, yang mencapai hampir $ 100 per metric ton, memang sangat berat bagi PLN untuk tidak menaikkan tarif listrik.
Kalau harga Batubara terus membara, sedangkan TLL tetap tidak dinaikkan hingga akhir 2019, PLN akan menanggung potensi kerugian yang sangat besar. Pada 2017, PLN mematok harga Batubara sebesar US$ 63 per metric ton, kenyataannya HBA sudah mencapai rata-rata US$ 82 per metric ton, sehingga PLN harus menanggung kerugian sebesar Rp 14 triliun sepanjang 2017. Jika potensi kerugian itu berlangsung terus hingga akhir 2019, tidak menutup kemungkinan PLN akan di ambang proses kebangkrutan. Kalau PLN benar-benar bangkrut, PLN bukan lagi Perusahaan Listrik Negara, melainkan menjadi Perusahaan Lilin Negara. Dampaknya, kegelapan akan menyelimuti seluruh pelosok negeri ini.
Untuk mencegah proses kebangkrutan PLN, jalan satu-satunya yang bisa ditempuh saat ini adalah mengendalikan harga Batubara yang dibeli PLN melalui skema Domectic Market Oblogation (DMO). Dalam skema DMO, harga Batubara yang dijual kepada PLN sebesar 25% dari otal produksi Batubara ditetapkan oleh Pemerintah. Sedangkan harga Batubara yang dijual di luar PLN dan diekspor sebesar 75% ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Pengendalian harga Batubara itu merupakan jalan tengah untuk mengurangi beban PLN dengan sedikit mengurangi pendapatan Pengusaha Batubara, yang sudah meraup keuntungan besar (windfall) atas meroketnya harga Batubara sejak Agustus 2017.
Tujuan penetapan DMO harga Batubara adalah memenuhi kepentingan PLN dan rakyat, maupun kepentingan penguasaha Batubara, tanpa menurunkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pembayaran royalty. Untuk itu, prinsip dalam penetapan DMO harga batubara adalah berbagi keuntungan dan kerugian (share gain, share pain), dengan “skema batas atas dan batas bawah” (ceiling and floor price).
Pada saat harga batubara melambung tinggi, pengusaha menjual batubara ke PLN dengan harga batas atas (ceiling price). Sebaliknya, pada saat harga batubara terpuruk rendah, maka PLN harus membeli batubara dengan harga batas bawah (floor price). Untuk meminimalisir ketidak-pastian akibat fluktuasi harga batubara, maka kontrak penjualan batubara kepada PLN harus ditetapkan dalam jangka panjang, lebih dari 5 tahun.
Penerapan DMO harga Batubara dengan skema ceiling and floor price diharapkan dapat meringankan beban PLN pada saat harga batubara lagi membumbung tinggi, sekaligus tidak merugikan bagi pengusaha pada saat harga batubara terpuruk rendah. Dengan demikian, PLN tidak harus menanggung beban berat pada saat Pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik. Demikian juga dengan Pengusaha Batubara, mereka tetap dapat menjalankan operasi usahanya dengan masih memperoleh keuntungan dan tetap dapat membayar royalty yang dapat meningkatkan PNBP.
Dr. Fahmy Radhi, MBA, Pengamat Ekonomi Energi UGM, Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas