JAKARTASATU– Akhir pekan kemarin, saya membuat polling di Twitter. Tujuh puluh lima persen voters menginginkan ada Presiden baru pada 2019. Dari 7.210 akun yang memberikan suara, hanya 23 persen yang tetap menginginkan Presiden saat ini terus menjabat, 2 persen sisanya menyatakan masih ragu.

Hasil poling Twitter ini sejalan dengan aspirasi yang saya terima tiap kali turun ke daerah. Jadi, baik dalam tatap muka langsung maupun melalui dunia maya, mayoritas masyarakat menginginkan perubahan kepemimpinan nasional.

Dalam catatan saya, dari berbagai survei, elektabilitas Presiden @jokowi sebagai petahana selalu berada di bawah 50 persen. Itu bukan angka bagus bagi petahana yang hampir dua puluh empat jam mukanya disiarkan televisi dan media massa.

Jadi, peluang bagi penantang petahana sangat terbuka lebar. Apalagi, pemilih kita makin rasional dan kritis.

Menurut sebuah survei SMRC tahun 2017, 20 persen pemilih menyatakan akan memilih berdasarkan bukti yang nyata dari hasil kerja, dan 16,5 persen pemilih sangat mempertimbangkan pengalaman pemerintahan. Jadi, tanpa butuh mendengarkan kampanye dan kritik dari partai oposisi, para pemilih rasional dan kritis kemungkinanya sangat kecil untuk memilih kembali petahana.

Sebagai partai yang berada di luar pemerintahan, situasi ini terus terang memberi tantangan pada @Gerindra.  Kami tentu tidak ingin mengulang lagu lama bahwa partai oposisi pasti akan lebih disukai pada Pemilu berikutnya jika orang kecewa terhadap petahana dan partai pendukungnya.

Kalau kita tengok ke belakang, hampir semua partai yang pernah menang Pemilu sejak Reformasi, umumnya menang karena ‘swing voters’, yang tak lain adalah para pemilih yang kecewa terhadap penguasa periode sebelumnya.

Sebagai partai modern, terus terang kami tak ingin seperti berburu di kebun binatang semacam itu. Kami ingin dipilih dan dipercaya masyarakat karena mereka melihat kami perform, punya visi, punya konsep, dan punya program yang jelas.

Itu sebabnya @Gerindra harus bisa dan turut mengedukasi masyarakat.

Kader Partai Gerindra harus bisa meningkatkan kapasitasnya. Apalagi, pemilih kita didominasi oleh anak muda.

Menurut data yang saya miliki, suara generasi milenial dengan rentang umur 17-34 tahun akan menjadi sangat penting dalam Pemilu 2019. Saat ini setidaknya 34,4 persen masyarakat Indonesia ada di rentang umur emas tersebut.

Pada Pemilu 2019, diperkirakan pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55 persen dari jumlah total pemilih. Anak-anak muda biasanya anti-kemapanan dan lebih kritis terhadap status quo. @Gerindra juga menyadari hal itu.

Untungnya, data menunjukkan jika para pemilih muda sangat menyukai Ketua Umum @Gerindra, Pak @prabowo. Dari sisi usia, sejauh ini persentase pemilih muda ynag menyatakan akan memilih Prabowo lebih besar daripada pemilih tua. Bahkan, dari sejumlah survei yang saya amati, persentase suara responden yang berusia di bawah 21 tahun, atau dikenal sebagai pemilih pemula, kecenderungan untuk memilih Pak @prabowo lebih besar daripada calon lainnya. Ini preferensi pemilih yg menguntungkan buat @Gerindra.

Dari sisi pendidikan, basis pemilih  @prabowo umumnya tercatat adalah lulusan sarjana dan jenjang yg lebih tinggi lainnya. Nah, ini yang harus disadari oleh kader-kader @Gerindra, bahwa mereka berhadapan dengan para pemilih yang terdidik, rasional, dan kritis.

Gerindra harus bisa menampilkan diri sebagai partai oposisi yang lebih berkualitas dari partai oposisi masa sebelumnya.

Di sisi lain, kader @Gerindra perlu lebih banyak untuk turun ke masyarakat bawah, karena kelompok pemilih ini, yang jumlahnya sangat besar, perlu lebih banyak diedukasi.

Kembali ke hasil poling Twitter, keinginan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin baru, Insya Allah direspon oleh @Gerindra. Kami memberikan tawaran yang lebih baik, baik dari sisi figur, maupun konsep untuk memperbaiki Indonesia ke depan. Kami akan calonkan Pak @prabowo untuk capres 2019. RI