OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

NKRI harga mati! Pancasila harga mati! Merah putih harga mati! Anak SD sudah tahu itu. Jadi terasa aneh jika sekarang digembar-gemborkan. Malah memancing kecurigaan. Masyarakat bertanya: pertama, apa tujuannya? Kedua, sekenario siapa?

Kalimat-kalimat berbau “politik-ideologis” itu populer sejak demo terhadap Ahok. Bukan Ahok sebagai pribadi yang beragama Nasrani, tapi sebagai “penista agama.” Dua identitas yang berbeda.

Beragama Nasrani, itu keyakinan. Begitu juga beragama Islam, Hindu, Budha atau Konghucu. It is good. Siapapun dilarang mencampuri urusan agama orang lain. Beragama, itu hak setiap anak bangsa. Agama, pancasila, UUD 45, maupun norma sosial dan nurani kemanusiaan memberi jaminannya. Namun, menista agama itu soal lain. Jelas sebuah pelanggaran hukum.

Dan hukum harus ditegakkan. Berlaku untuk semua, termasuk Ahok. Itulah keadilan. Inilah yang menjadi esensi dari demonstrasi “tujuh juta” umat Islam di monas. Tapi, banyak orang gagal paham.

Ahok adalah calon gubernur, ia punya pendukung dan timses. Diantara pendukung, ada juga penumpang. Ada penumpang yang terang-terangan, ada pula yang gelap. Ada penumpang yang punya kekuasaan, ada juga “pasukan hore”. Mereka adalah rakyat kecil yang tak mengerti apa-apa dan sering dijadikan umpan.

Para pendukung Ahok dikenal dengan nama Ahokers. Ada yang menyebutnya kecebong. Entah dari mana sanad kata “kecebong” ini.

Demo telah mengancam elektabilitas Ahok. Ahokers marah, lalu bermanuver. Salah satunya memunculkan diksi “Anti NKRI”. Kepada siapa diarahkan? Umat Islam yang demo tuntut keadilan hukum untuk Ahok.

Diksi “Anti NKRI” ternyata manjur. Sangat kuat mempengaruhi mindset publik. Tentu, publik yang tidak begitu paham soal politik dan bahasa kepentingan. Mereka dicekokin terus menerus berbagai isu bahwa “NKRI terancam”. Sejumlah tokoh ormas, akademisi dan politisi dijadikan agen untuk menyebar isu ini dengan legitimasi religi, argumentasi ilmiah dan ancaman hukum. Isu bahwa “NKRI terancam”. Berbagai program dan kegiatan didesign untuk menegaskan bahwa NKRI seolah-seolah benar-benar di ujung tanduk. Mengerikan!

Supaya lebih mantab, kalimat “Anti NKRI” lalu dijelaskan dengan berbagai tafsir ideologis, historis dan sosiologis. Dikait-kaitkan dengan DI-TII, konsep khilafahnya HTI, bahkan tafsir perbandingan dengan “background konflik horisontal” di sejumlah negara Timur Tengah. Sampai disini, manuver “Anti NKRI” dianggap moncer untuk menakut-nakuti rakyat.

Beragam “analisis imajiner” yang sengaja terus dikembangkan oleh pihak-pihak yang secara politik terancam oleh realitas demokrasi yang menghendaki adanya kepemimpinan baru. Diksi “Anti NKRI” dijadikan alat politik untuk melahirkan semangat “nasionalisme semu” Tujuannya: pertama, mempertahankan “status quo”. Kedua, memelihara kepentingan politik serta ekonomi pihak-pihak tertentu. Siapa mereka? Butuh sedikit “kewarasan” untuk melihat secara akurat di balik realitas semu ini.

Membaca pancasila dan nyanyian cinta tanah air saat ibadah sa’i yang kemudian mendapat teguran keras dari pemerintahan Arab Saudi adalah dampak tidak langsung dari “nasionalisme semu”. Begitu juga viralnya video sejumlah orang yang bershalawat atas Indonesia dan pancasila semakin menegaskan kesemuan itu.

Mereka adalah bagian dari masyarakat yang polos dan tak begitu mengerti tentang background kepentingan politik di balik diksi “Saya NKRI” dan Saya Pancasilais”. Makin Parah.

Tuduhan “Anti NKRI” kepada pihak-pihak “anonim” terbukti ampuh membuat bangsa ini terus menerus dilanda kegaduhan. Diantaranya, pertama, sebagai pressure ormas tertentu. Dalam hal ini, HTI telah jadi tumbalnya. Orang akan bilang: “Hati-hati dengan HTI”. Siapapun orang, dan apapun ormas yang dekat dengan HTI akan diidentifikasi sebagai “Anti NKRI”. HTI kemudian diskenario menjadi “common enemy”. Musuh bersama. Kasihan sekali.

Kedua, identitas “Anti NKRI” lalu meluas ke semua orang dan ormas yang berbeda politik dengan pihak yang berkuasa. Bahkan ada sejumlah partai juga jadi sasaran tuduhan “Anti NKRI”. Apa dasarnya? Karena menjadi oposisi penguasa. Lucu sekali.

Akibatnya, banyak pihak mulai takut dituduh “Anti NKRI”. Sebagian orang malah menggunakan NKRI sebagai “wirid dan dzikir” di sejumlah tempat. Bahkan sejumlah pemilik stasiun televisi swasta pun memasang tulisan “NKRI” di layarnya. Sedih melihatnya.

Yang paling parah dari semua akibat itu adalah paham “Islam sebagai ancaman NKRI”. Masyarakat Islam terbelah. Yang satu masuk kelompok yang “sok NKRI”. Merasa paling NKRI. Yang lainnya dicurigai akan mendirikan negara Islam, alias “Anti NKRI”. Satu-dua orang yang teriak “syariat Islam” dianggap merepresentasikan seluruh umat Islam yang berseberangan dengan penguasa.

Dari dinamika politik yang “kisruh” selama ini, dapat disimpulkan sebagai akibat politisasi ideologi. Diksi “NKRI” dan “Pancasila” selama ini sangat bernuansa politis. Akibatnya, pertama, manuver partisan ini terbukti telah membelah masyarakat dalam dua kelompok, kelompok pro penguasa dan anti penguasa. Kedua, politisasi ideologi telah memproduksi kegaduhan yang tak kunjung usai.

Saatnya mengembalikan ideologi ke tempat asalnya yang suci. Politisasi ideologi justru menjadi ancaman bagi keutuhan dan masa depan bangsa. Stop politik murahan atas nama ideologi. Hanya dengan itu, bangsa ini akan terselamatkan.

Ankara Turkey, 5/3/2019.