Gedeung Pertamina Pusat/ist

JAKARTASATU.COM – Rencana pembangunan infrastruktur migas Pertamina yang sering diucapkan direksi Pertamina setiap rilisnya terkesan kuat sebagai sebuah pencitraan saja untuk mengelabui publik , seolah olah ingin membangun image dan branding bahwa Pertamina sudah pantas disebut sebagai perusahan berklas dunia .

Padahal kenyataannya dalam mengambil keputusannya dalam membangun infrastrukturnya berasa ” kaki lima ” alias ” poco poco ” , dari tahun ketahun dalam bentuk ” MOU ” .

Sinyalemen itu semakin diperkuat dari beredarnya bocoran konsep surat dari Korporat Pemasaran Pertamina kepada PT Wijaya Karya ( Persero ) Tbk tertanggal 7 Febuari 2018 “perihal menolak halus terhadap rencana pembangunan terminal regasifikasi LPG di kabupaten Probolinggo Jawa Timur ” mengindikasikan dugaan mafia berada dibelakang penolakan ini.

Padahal niat baik PT Wijaya Karya ingin melaksanakan himbauan Presiden supaya bersinergi sesama BUMN dalam membangun infrastruktur migas telah melayangkan surat permohonan tgl 1 Febuary 2018 dengan nomor surat PSO 1.03/A.DIR 1690/2018 perihal kerjasama investasi Pembangunan Terminal LPG Regasifited dipinggir pantai daerah Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo Jawa Timur dengan skema ” Joint Venture – Built Operate Own ( JV – BOO), bahkan PT Wika sudah membebaskan lahan seluas kebutuhan proyek.

ANEHNYA NIAT BAIK TERSEBUT AKAN DIJAWAB PERTAMINA DENGAN PENOLAKAN BAHWA DALAM RKAP TAHUN 2017 DIKATAKAN BAHWA PERTAMINA BERENCANA MEMBANGUN DENGAN BIAYA SENDIRI , TANPA PERLU BEKERJASAMA DGN PT WIJAYA KARYA ( PERSERO) TBK .

Mengingat proyek ini telah pernah ditenderkan oleh Pertamina ditahun 2016 dengan mekanisme ” beauty contest , dan 11 perusahaan konsorsium swasta berminat dan telah memberikan penawaran kepada Pertamina setelah masing masing peserta beauty contest menghabiskan jutaan dollar untuk biaya survey dan bayar konsultan , dan setelah melalui tahapan seleksi ketat , akhirnya diperoleh 2 kandidat kuat , yaitu konsorsium PT Wijaya Karya dengan Petredec dan Bosowa dengan PT Pembangunan Perumahaan , namun anehnya oleh Direktur Keuangan Pertamina merangkap Wakil Ketua Tim Tender Arief Budiman telah membatalkan proyek tersebut pada sekitar bulan April 2017 dengan tanpa alasan yang jelas , semua peserta tender saat itu merasa bingung dengan proses bisnis di Pertamina.

Yang lebih lucu dan anehnya lagi Direktur Korporat Pemasaran Iskandar menyatakan disebuah media bahwa proyek BOOT itu dibatalkan karena tidak memenuhi syarat .

ALASAN YANG DIBERIKAN OLEH ISKANDAR PERLU DIPERTANYAKAN DAN DIMINTAKAN PERTANGGUNGJAWABANNYA , JANGAN JANGAN DIA TELAH MELAKUKAN KEBOHONGAN PUBLIK AKIBAT DITEKAN ATASANNYA ATAU MAFIA ??.

Untuk itu Kementerian BUMN harus membentuk tim investigasi menyidik apakah benar 2 perusahaan yang lolos terakhir tidak memenuhi syarat ?..padahal perusahaan sekelas Petredec sudah berkontrak dengan Pertamina sejak 2009 sebagai penyuplai LPG 1 juta Ton pertahun dan akan berakhir kontraknya ditahun 2019 .

Bahkan publik sudah lama mensinyalir dengan tertunda terus Pertamina membangun terminal LPG ini tentu menguntungkan bagi pengusaha yang menyediakan fasilitas floating storage LPG agar tetap disewa terus oleh Pertamina .

Padahal dengan terus tergantungan sewa kapal Floating Storage LPG akan menambah biaya keekonomian harga jual LPG Pertamina , sudah dapat dipastikan akibat ketidak efisienan berkepanjangan proses bisnis oleh Pertamina berakibat konsumen harus membeli LPG lebih mahal dari harga yang seharusnya.

Sehingga berdasarkan kasus ini dan beberapa kasus tertundanya proyek RDMP ( Refinery Develoment Masterplan Project ) , Grass Root Refinery ( GRR) dan fasilitas infrastruktur BBM Pertamina seperti proyek CCT Lawe Lawe Kaltim diduga ada permainan kotor oleh sekelompok orang kuat mempengaruhi direksi Pertamina agar keuntungan mitra Pertamina pemilik 3 floating storage LPG tidak berkurang , akan tetapi Pertamina tetap tidak efisien selamanya dalam mengelola bisnisnya .

Asal tau saja bahwa
Pertamina pernah mengalami hal serupa dalam operasi BBM dengan adanya kapal floating storage BBM di Teluk Semangka dan Kalbut. Lalu, hal ini dapat dihilangkan dengan pembangunan Transit Terminal BBM di Merak dan Manggis Bali.

Kini hal serupa terjadi di LPG. Apakah akan dibiarkan terus berlangsung ?

Untuk itu Dirut Pertamina harus bisa menjelaskan kepublik apa alasan yang tepat perihal penolakan Pertamina terhadap PT Wika , kemudian apakah benar Pertamina serius akan membangunnya sendiri ? ketika saat ini keuangan Pertamina lagi berdarah darah , penjelasan Dirut menjadi penting agar tidak menimbulkan banyak spekulasi dipublik bahwa bahwa memang mafia selalu mengontrol kebijakan direksi Pertamina ?

Apalagi rencana membangun Terminal LPG ini akan mengambil tanah 20 ha dari 60 ha tanah alokasi Pertamina dengan Rosneft akan membangun kilang , tentu akan semakin terlihat Pertamina sangat serampangan dalam merencanakan suatu proyek , karena menurut infonya untuk membangun kilang Tuban saja masih kekurangan ratusan hektar lagi yang akan dimintakan ke Perhutani.

Saya sangat berharap KPK harus mengendus apa motif dibalik proyek Poco Poco Pertamina , terkait keanehan pengumuman lelang Terminal LPG tanggal 12 Febuari 2018 hanya membatasi waktunya hanya 2 hari untuk proyek senilai sekitar USD 300 juta dengan skema EPC.

Jakarta 11 Maret 2018
CERI Yusri Usman.