Rocky Gerung/ist

JAKARTASATU- Siapa yang tak kenal dengan Rocky Gerung. Dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) ini mendadak menjadi buah bibir di banyak kalangan, tidak hanya mahasiswa/i atau murid-muridnya, melainkan para elit politik dan banyak kalangan lain, termasuk para followers-nya di dunia maya (baca: Twitter).

Rocky dikenal dengan analisanya yang tajam. Tak kenal siapapun, yang dianggap tidak sejalan dengan dirinya, maka komentar atau kritik pedasnya mampu menghujam lawan bicara. Tak ubah di latar kaca, misalnya, Rocky ternyata juga “cetus” di media sosial, walau tidak sedikit “damai” dengan followers-nya. Bahkan ia tak segan-segan menyambut akun yang berlawanan dengan dirinya dengan terlihat ringan dan tanpa beban.

Kali ini, tepatnya hari Selasa, 13 Maret 2018, orang yang enggan diberikan gelar Profesor ini memberikan kuliah gratis di akun Twitter pribadinya. Sebab atau alasan dia memberikan kuliah adalah adanya dorongan dari lawan bicaranya (di Twitter) yang menuding bahwa Rocky hanya mampu berkomentar tanpa adanya azas manfaat.

Berikut kuliah lengkap “umum” Rocky: Ok.

Negeri ini didirikan dengan gagasan yang kuat: merdeka untuk kesejahteraan dan kecerdasan bangsa. Keadilan sosial adalah ide yang melekat pada para pendiri bangsa. Kolonialisme dan sejarah penderitaan manusia mendasari ide itu. Sosialisme, terutama, adalah pengetahuan bersama mereka. Otodidak.

Bahkan dalam pandangan politik islam, sosialisme adalah dasar kuat keadilan. Ide sarekat islam, tumbuh dari pengalaman kongkrit penderitaan sosial manusia. Kolonialisme adalah perpanjangan kapitalisme.

Akumulasi pengetahuan, tumbuh bersama kritik intelektual yang keras antara para pemikir bangsa. Tapi tak ada permusuhan pribadi. Sangat dewasa. Tapi ada masa menjelang kemerdekaan, ketika para pemikir bangsa ditangkap Belanda, diskursus intelektual berhenti. Ada kekosongan argumentasi dalam dunia politik. Akibatnya? Kekosongan debat publik menyebabkan muncul kembali paham-paham doktriner: nasionalisme sempit, pandangan agama eksklusif, bahkan ide fasistis masuk dalam mental publik.

Debat konstituante untuk menghasilkan “pandangan bernegara” juga kurang maksimal karena beberapa pemikir tak ikut di dalamnya: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir terutama. Mereka di bawah tanah. Tapi debat bermutu tetap dapat dinikmati dalam sidang panjang konstituante itu. Sampai akhirnya kekuatan fasistis, nasionalisme sempit dan suasana frustrasi membalikkan situasi debat intelektual menjadi buntu.

Negeri ini lalu masuk dalam politik otoriter orde lama, berlanjut pada politik militeristik orde baru. Pada era itu, pikiran bebas dimusuhi. Teknokrasi mengefisienkan kampus dan media dengan satu slogan: “Stabilitas Nasional”. Tak ada oposisi.

Reformasi membawa harapan baru, tapi juga tak tuntas, karena mental transaksional orde baru terbawa masuk ke dalam sistem politik sampai hari ini.

Ok, twips, segini dulu, nanti lanjut setelah gue ngopi.. tks!” RI