JAKARTASATU– Hari-hari ke belakang dan akan datang berbagai media akan disibukkan dengan otak-atik koalisi pencalonan Presiden. Poros 1, 2 dan 3 digoreng sedemikian rupa, lagi-lagi gorengan itu akan selalu mentok untuk siapa poros itu diberikan.
Bolehlah saat ini masyarakat tersenyum, senyum karena perilaku elite partai politik yang malu-malu, bisa dibilang tidak memiliki kepercayaan diri untuk mendorong calon alternatif selain Jokowi. Tersurat, inilah realitas partai politik di Indonesia, dimana dua cengkeraman begitu kuat yaitu ketidakadilan dan oligarki ditubuh partai politik, seketika itu pula, partai politik tak berkutik dan tidak memiliki kebebasan.
Kebebasan dan tidak berkutiknya partai politik, kemudian ter-manifestasikan dalam satu kegamangan sampai pada level ketidakpercayaan diri. Pengaruh oligarki kekuasaan di tubuh partai politik ibarat virus yang cepat mewabah, yang berakibat pada lemahnya sistem kekebalan tubuh. Partai politik harus diberikan suplemen agar dapat mempertahankan karakteristik yang menjadi keteguhan berpartai.
Asupan suplemen dimaksudkan agar partai politik tidak jatuh ke lubang “sindrom kekuasaan”. Suplemen itu ialah konstitusi.
Untuk terhindar pada level stadium empat, partai politik harus dikembalikan pada UUD 1945, karena UUD 1945 telah memberi ruang dan menjamin hak pengusungan hanya dapat dilakukan melalui partai politik, baik mengusung sendiri, atau gabungan dari beberapa partai politik. Begitu pun suplemen tambahan yang diberikan negara melalui undang-undang, meskipun syarat dengan rasa ketidakseimbangan dan ketidakadilan, meskipun pahit suplemen adalah keistimewaan yang harus ditelan oleh partai-partai politik hasil Pemilu 2014.
Meskipun suplemen konstitusi adalah keistimewaan, tidak berarti harus sama rata, yang berakibat pada sikap pembenaran sepihak. Isaiah Berlin dalam esainya yang dikutip Rizal Malarangeng, melukiskan salah satu persoalan bangsa yang dapat menimbulkan keresahan bagi kelangsungan bangsa dan masyarakat, yakni ketika ide-ide besar sudah di klaim sebagai bentuk “kebenaran mutlak bagi dirinya sendiri”.
Di sinilah letak kesalahan, telah terjadi penekanan dan intimidasi atas pemikiran bagi pihak lain yang berbeda, sulit, meskipun perbedaan adalah anugerah yang dapat dituangkan dalam sikap “kebebasan positif”. Kebebasan yang didasari atas kesadaran dalam berpikir, pengembangan ide dan gagasan akan mengalami kegalauan bahkan menciptakan kegagalan sistemis. Kondisi demikian akan lebih berbahaya ketika kebenaran mutlak justru diklaim oleh negara.
Esai di atas sangat menggambarkan realitas politik Indonesia saat ini. Kebenaran mutlak yang saat ini dikuasai negara menciptakan sindrom kekuasaan yang tersistematis. Antara sindrom kekuasaan dan realitas politik dua hal berbeda namun akan lebih jauh berbeda ketika ditafsirkan oleh politisi. Otak atik poros, meskipun syarat dengan transaksional, konon Inilah realitas politik, inilah politik yang begitu dinamis, perumpamaan itu sebenarnya lebih dekat pada sikap sindrom kekuasaan, sindrom yang menghantui para pimpinan partai. Bagaimana tidak, para politisi di satu sisi ingin tetap berkuasa, dan pada sisi berbeda tidak tahu bagaimana kekuasaan itu tetap dalam genggaman. Inilah realitas sesungguhnya yang dialami oleh partai-partai politik, tidak terkecuali partai berhaluan Islam.

Presiden Threshold
Hasil Pemilu 2014, hanya PPP yang secara tegas telah menolak adanya poros partai Islam. Terlepas dari alasan apapun yang dikemukakan, itu adalah hak politik PPP. Selain PPP, hasil Pemilu 2014 masih menyisakan PAN, PKB, PBB, dan PKS sebagai partai bernuansa Islam. Keempat partai inilah kemudian yang sangat memungkinkan bahkan dinanti umat Islam untuk membentuk poros partai Islam. Meskipun Minus PPP, secara kumulatif, empat partai Islam sudah melampaui batas Presiden Threshold 20%.
Walau memenuhi ambang batas pencalonan, untuk menyatukan sikap bersama bukan soal mudah. Terdapat varian yang harus dihindarkan oleh keempat partai Islam. Sebelum membahas lebih jauh, pemberlakuan Presiden Threshold yang mencapai 20%, dengan ketentuan berdasarkan hasil 2014 adalah bentuk patriarki oleh sekelompok kecil orang yang ingin mempertahankan kekuasaannya, akan tetapi menjadi buah simalakama untuk partai Islam.
Patriarki merupakan indoktrinasi untuk diarahkan, dilembagakan untuk dikendalikan dan ditertibkan untuk disingkirkan. Logika patriarki memang sangat tepat disampaikan Rocky Gerung, dan secara tidak sadar menjadi bagian tersulit untuk dapat menyatukan empat partai Islam, atau bisa saja ketentuan Presiden Threshold 20%, didesign agar partai Islam tidak dapat membentuk poros partai politik Islam, dengan bahasa sederhana bentuk cengkeraman untuk meminggirkan Islam sebagai kekuatan politik.
Pada konteks keadilan hukum, PT 20% dengan rujukan 2014 adalah pengingkaran rasa keadilan, atau menggunakan istilah Antonio Gramsci sebagai bentuk hegemoni yang diciptakan dari hasil konsensus sepihak. Logika yang sangat sederhana bukan, keadilan tidak akan terwujud jika ketentuan PT 20% yang merujuk hasil Pemilu 2014 adalah produk hegemoni. Semestinya partai-partai politik yang belum lama ditetapkan sebagai peserta oleh KPU, bersikap untuk satu keadilan dengan agar memiliki hak yang sama dengan partai politik hasil Pemilu tahun 2014.
Sebagai kontestan baru yang akan berlagak dan mencoba keberuntungan politik untuk mendapatkan legitimasi rakyat. Euforia jangan terlalu berlarut, kalau berlarut mereka akan berlalu, karena melupakan rasa ketidakadilan bagi mereka.
Apalagi pelaksanaan Pemilu kali ini, dilaksanakan secara serentak. Kita tentu tidak menginginkan kehadiran partai-partai baru hanya sebatas rasa, sedangkan rasa itu tidak berwujud. Secara nalar keadilan, akan sulit diterima, bagaimana tidak, sama-sama kontestan Pemilu 2019 disisi lain terdapat pembedaan kasta dalam pencalonan Presiden.
Keadilan itu memang soal rasa, namun prosedur pembuatan hukum adalah cara menjaga rasa. Ketika prosedur dikendalikan oleh segelintir tangan bersih dan berhati mulia, maka rasa adil akan tercipta. Sebaliknya, jika di tangan kaum durjana, keadilan akan sirna. Inilah ketidakadilan dari pemberlakuan Presiden Threshold 20% yang sulit diterima secara nalar hukum keadilan. Seyogianya harus ada upaya dari PBB maupun partai baru untuk mengembalikan rasa keadilan atas penggunaan Presiden Threshold 20%, tentu dengan menggunakan prosedur yang baik dan mulia yaitu prosedur yang diberikan konstitusi, baik melalui Mahkamah Konstitusi dan/atau melalui DPR dengan mendorong revisi terbatas.

Oligarki
Partai-partai Islam harus menghindari sikap “kebenaran mutlak”. Stigma kebenaran mutlak dapat menimbulkan keraguan karena merasa paling berhak, paling kuat dan paling ideal. Stigma ini, tidak saja mudah dimainkan secara internal, tapi di luar partai Islam yang tidak menginginkan poros ini terbentuk. Kalau terlalu larut dalam genderang kebenaran subyektif ini, untuk membangun poros partai Islam adalah suatu keniscayaan. Partai Islam akan mati langkah secara politik, ide-ide besar Islam akan membeku, puncaknya akan memadamkan kepercayaan umat Islam.
Persoalan yang muncul akibat dari sikap kebenaran mutlak, memunculkan sikap apriori dan sulit berempati. Kelompok satu akan cenderung memandang kelompok yang lain dengan tingkat kecurigaan yang sangat besar. Hal ini akan menimbulkan persepsi bahwa partai Islam akan selalu terpojok dan rugi, sementara yang lain senantiasa beruntung. Jika sudah demikian, sangat sulit membangun konsensus partai Islam. Alasan inilah yang menjadi dasar agar partai-partai Islam membangun satu struktur oligarki keumatan. Oligarki yang melibatkan elemen partai politik, organisasi Islam, dan umat Islam.
Oligarki keumatan, bukan saja untuk menangkal hegemoni yang mencengkeram partai Islam, jauh ke belakang, UUD 1945 Pasal 6 Ayat (1) yang sebelum perubahan tidak terwujud, harus diwujudkan. Sejarah memang berulang, romantisme keumatan harus kembali dibangun untuk Indonesia yang rahmatanlilalamin. Ke depan, upaya oligarki yang dikembangkan oleh pihak selain partai Islam setidaknya akan terbendung, meskipun bukan generasi saat ini yang menikmati.
Dilema Islam dan politik di Indonesia harus disudahi dengan menciptakan poros alternatif yaitu poros partai Islam yang didukung oleh ormas Islam dan ter-legitimasikan oleh suara umat Islam. Inilah oligarki keumatan, oligarki yang melibatkan seluruh elemen kekuatan umat Islam, bangsa dan negara untuk terwujudnya Indonesia sejahtera, Indonesia ber–kesatuan, berbhinneka di bawah naungan UUD 1945 dan Pancasila. “Waallahu’alam”.
*Oleh: Ahmad Yani