JAKARTASATU– Silang sengkarut data pertanian antara satu lembaga dengan lembaga yang lain sebagai salah satu sebab kenapa Indonesia tak bisa menata kebijakan pangan dengan baik. Di hari ulang tahun HKTI ke-45, saya mengusulkan kebijakan amnesti data untuk memberesi silang sengkarut tersebut. Selama ini publik disuguhi oleh klaim data yang tidak nyambung satu sama lain.

Awal tahun kemarin Kementerian Pertanian menyebutkan produksi beras kita surplus, tapi Kementerian Perdagangan menyatakan kita perlu impor beras. Ini kan tak nyambung datanya. Surplus, tapi kok impor? Lalu terjadilah impor. Atau, pemerintah mengklaim angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun, namun tahun ini anggaran bantuan sosial malah melonjak tajam hingga 33 persen. Bahkan, anggaran Kementerian Sosial dalam APBN 2018 meroket hingga hampir 300 persen jika dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Lho, katanya kemiskinan menurun, tapi anggaran bantuan sosial justru melonjak?! Itu semua terjadi karena persoalan data yang tidak koheren, tidak konsisten, dan bersifat kontradiktif satu sama lain. 

Kita cenderung memanipulasi data untuk kepentingan sektoral yang bersifat pragmatis. Ujungnya, kebijakan publik kita jadi kacau balau. Sepanjang pemerintahan Presiden @jokowi misalnya, setiap tahun kita selalu mendengar produksi gabah dan beras selalu surplus, tapi di sisi lain harga beras di pasaran cenderung meningkat, bahkan langka. Pada situasi tersebut, alih-alih menjadi sumber rujukan data, secara ironis Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2016 tidak lagi merilis data pertanian. Padahal, sesuai amanat Pasal 12 ayat (1) UU No. 16/1997 ttg Statistik, data statistik produksi gabah dan beras seharusnya diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian bersama BPS, agar ada kontrol. Jika datanya tidak akurat, bagaimana mungkin kita bisa merumuskan kebijakan publik yang tepat?! Itu mustahil bisa dilakukan.

Presiden, sebagai kepala pemerintahan, seharusnya merasa dirugikan oleh kekacauan data tersebut, karena bisa dipastikan semua kebijakan sektor pertanian dan pangan yang disusunnya jadi tidak akan efektif. Bahkan, anggaran negara bisa bocor karenanya. 

Menurut data resmi, misalnya, dalam 10 terakhir tercatat kenaikan produksi gabah 2-4 juta ton pertahun, kecuali tahun 2014 yang turun 500 ribu ton, dan 2017 yang turun 1,1 juta ton. @hkti

Jika disandingkan dengan data konsumsi beras perkapita, Indonesia setiap tahun mengalami surplus beras rata-rata 8 juta ton pertahun sejak 2008. 

Namun, meski di atas kertas produksi beras kita surplus hingga rata-rata 8 juta ton pertahun, data juga menunjukkan jika Indonesia terus-menerus mengimpor beras tiap tahun. 

Rata-rata setiap tahunnya kita mengimpor 421 ribu ton beras. Impor beras tertinggi terjadi pada 2011, yang mencapai 2,75 juta ton. Padahal, di saat yang sama produksi beras nasional waktu itu tengah mengalami surplus 7,99 juta ton. Paling parah lagi terjadi pada 2016. Saat itu data produksi beras diklaim mengalami surplus tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu sekitar 14,59 juta ton. Tapi, pada saat yang bersamaan pemerintah mengimpor beras 1,2 juta ton. Artinya, semua data itu kan hanya dagelan saja. Itu sebabnya untuk memperbaiki data demi agenda kedaulatan pangan, HKTI mengusulkan perlu diadakan kebijakan semacam pengampunan data, atau “data amnesty”. Ini mirip kebijakan amnesti pajak sebenarnya. Karena penggunaan data berimplikasi hukum tertentu, sebab akan menjadi dasar bagi kebijakan publik, maka kebijakan amnesti data ini perlu diatur dalam sebuah undang-undang. Semua manipulasi, rekayasa, dan ketidak-akuratan data yg ada selama ini kita ampuni. Semuanya diputihkan. Selanjutnya, BPS harus diberi otoritas, kebebasan, dan perlindungan untuk mengumpulkan data yang benar dengan dibantu oleh berbagai lembaga dan kementerian.

Sesudah kita punya data baru, siapapun yang melakukan manipulasi data ke depannya harus dihukum berat. Kalau mau jujur, penyusunan data pangan atau pertanian itu sebenarnya tidak sulit, karena banyak instrumen dan alat kontrolnya. 

Data survei luas lahan pertanian, akurasinya bisa dicek melalui citra satelit. Jika data pertanian dan pangan ini sudah diperbaiki, kita tak akan ketemu lagi situasi ‘garbage in, garbage out’, tapi ‘gold in, gold out’. Kebijakan publik di sektor pertanian baru akan beres. RI

*Fadli Zon, Politisi Gerindra