JAKARTASATU– Untuk memuluskan kepentingan investasi asing, pemerintah Presiden Joko Widodo terus-menerus mengorbankan kepentingan buruh lokal. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi makin suram. 

Pemerintah terus merilis berbagai aturan yang menyerahkan kesempatan kerja di dalam negeri kepada buruh asing, termasuk untuk pekerjaan-pekerjaan kasar. Selain itu, pemerintah juga selalu menyangkal dan menutup mata atas membanjirnya buruh kasar asal Cina di Indonesia. Ini membuat kehidupan perburuhan menjadi suram. Celakanya, alih-alih melakukan penegakkan hukum yang tegas dan ketat, pemerintah justru kian melonggarkan aturan tentang tenaga kerja asing.

Tiga tahun lalu, misalnya, melalui Permenakertrans No. 16/2015, pemerintahan telah menghapuskan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pekerja asing. Belum ada setahun, peraturan itu kembali diubah menjadi Permenakertrans No. 35/2015. Jika sebelumnya ada ketentuan bahwa setiap satu orang tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan harus dibarengi dengan kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal, maka dalam Permenakertrans No. 35/2015, ketentuan itu tidak ada lagi.

Itu bukan regulasi terakhir yang merugikan kepentingan kaum buruh kita. Bulan lalu, tanpa kajian seksama atau melalui proses konsultasi yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, pemerintah justru meluncurkan Perpres No. 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Perpres No. 20/2018, misalnya, secara gegabah telah menghapus ketentuan mengenai IMTA (Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing). Meskipun Perpres masih mempertahankan ketentuan tentang RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), namun karena tak ada lagi IMTA, maka tidak ada lagi proses ‘screening’ atau verifikasi terhadap kebutuhan riil tenaga kerja asing.

Dengan kata lain, semua RPTKA ke depannya otomatis disetujui, apalagi kini seluruh prosesnya dipersingkat tinggal dua hari saja. Menurut saya, kebijakan ini sangat ceroboh dan berbahaya, selain tentu saja melanggar ketentuan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Masih terkait izin, sesudah menghapus IMTA, Perpres No. 20/2018 juga membuat perkecualian mengenai kewajiban membuat RPTKA. Pada Pasal 10 ayat 1a, disebutkan bahwa pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris tidak diwajibkan memiliki RPTKA. Ketentuan ini juga menyalahi UU No. 13/2003 , yaitu Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 43 ayat 1. Sebab, seharusnya perkecualian bagi jabatan komisaris dan direksi untuk orang asing hanyalah dalam hal penunjukkan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping dan pelatihan pendidikan saja, bukan kewajiban atas RPTKA-nya.

Saya menilai kebijakan ketenagakerjaan yang disusun oleh pemerintahan saat ini kacau balau. Hanya demi mendatangkan dan menyenangkan investor, banyak aturan dilabrak.

Klaim bahwa Perpres No. 20/2018 ini disusun untuk melindungi tenaga profesional kita, menurut saya juga omong kosong. Coba baca Pasal 6 ayat 1, di mana diatur bahwa seorang tenaga kerja asing boleh menduduki jabatan yang sama di beberapa perusahaan. Ketentuan semacam ini kan berpotensi menutup kesempatan tenaga profesional kita. Lalu di mana perlindungannya?

Perpres No. 20/2018 juga mengabaikan kewajiban sertifikasi kompetensi bagi tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 13/2003, dan PP No. 23/2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang merupakan turunannya, setiap tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seharusnya memiliki sertifikasi kompetensi yang diakui oleh BNSP. Namun, jika proses perizinan harus keluar dalam dua hari, apa mungkin verifikasi bisa dilakukan?

Maka jangan heran jika kemudian ada tenaga kerja asing asal Cina yang dalam RPTKA-nya disebut sebagai insinyur, tapi dalam kenyataannya ternyata hanyalah seorang juru masak. Kasus semacam ini sudah banyak ditemukan. Selain karena lemahnya pengawasan, kasus-kasus semacam itu bisa terjadi karena ada malpraktik dalam kebijakan perburuhan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi dari sisi kesejahteraan upah minimum buruh kita merupakan yang terendah keempat di ASEAN. Kita hanya unggul atas Myanmar, Laos dan Kamboja.

Begitu juga kalau dilihat dari sisi kebebasan berserikat. Menurut catatan pemerintah, ada lebih dari 230 ribu perusahaan di Indonesia. Jika tiap-tiap perusahaan memiliki serikat buruh, seharusnya jumlah serikat buruh kita cukup banyak. Namun nyatanya, dalam 10 tahun terakhir jumlah serikat buruh kita malah anjlok hingga 50 persen. Pada tahun 2007 jumlah serikat buruh kita masih berada di angka 14.000. Namun, pada 2017 jumlahnya tinggal 7.000 saja. Ke mana sisanya?

Saya khawatir, meski pemerintah selalu mengklaim kondisi perburuhan kita dalam keadaan baik-baik saja, namun kenyataannya tidaklah demikian. Menurut data BKPM, jumlah lapangan kerja di Indonesia memang mengalami penyusutan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2010, misalnya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun masih bisa menyerap tenaga kerja hingga 5.015 orang. Namun di tahun 2016, rasio tersebut tinggal 2.272 orang saja per Rp1 triliun nilai investasi.

Itu sebabnya kita harus kritis terhadap turunnya angka pengangguran yang sering diklaim pemerintah. Di atas kertas, persentase jumlah pengangguran dilaporkan menurun, tetapi sebagian besar angkatan kerja itu tak lagi bekerja di sektor formal, melainkan telah terlempar menjadi pekerja di sektor informal.

Ini menjelaskan kenapa misalnya jumlah anggota serikat buruh pada 2017 hanya tinggal 2,7 juta orang saja, padahal pada tahun 2007 jumlahnya mencapai 3,4 juta orang. Mereka sudah di-PHK dan kini hanya bisa bekerja di sektor informal, seperti menjadi sisten rumah tangga, tukang pangkas rambut, pedagang asongan, atau ojek online. Ini jelas bukan sektor yang kita harapkan menjadi penopang penciptaan lapangan kerja.

Merujuk pada data BPS, dalam rentang tahun 2015-2016, perekonomian kita juga hanya bisa menciptakan 290 ribu hingga 340 ribu lapangan kerja per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam situasi normal angka serapan lapangan kerja seharusnya berada pada level 500 ribu per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Jadi, kemampuan penciptaan lapangan kerja ekonomi kita sebenarnya di bawah standar.

Itu sebabnya, saya menyimpulkan kehidupan perburuhan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sejauh ini semakin suram. Dan kebijakan atas tenaga kerja asing kian memperburuk semua itu.

Saya membaca pernyataan pendukung pemerintah yang menyebut banjirnya tenaga kerja asing saat ini merupakan efek kebijakan pemerintah Orde Baru atau presiden di masa lalu. Menurut saya apologi itu sangat tak cerdas. Seharusnya dia baca buku dan berbicara dengan data.

Dia menyebut APEC dan lain sebagainya, padahal sesudah KTT APEC di Bogor tahun 1994, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia justru turun, meskipun pertumbuhan ekonomi kita waktu itu rata-rata berada di angka 7 hingga 8 persen per tahun. Tahun 1995, misalnya, jumlah tenaga kerja asing 57,2 ribu. Angka itu turun menjadi 48,7 ribu pada 1996, dan turun kembali menjadi 37,2 ribu pada 1997. Itu dari sisi data jumlah tenaga kerja asing.

Sekarang, dari sisi akal sehat. Jika pemerintahan saat ini tak setuju kebijakan masa lalu, lalu kenapa tidak koreksi? Bukankah itu alasan kenapa demokrasi mendesain diadakannya Pemilu secara berkala, yaitu supaya kita bisa mengkoreksi pemerintahan di masa sebelumnya secara periodik?

Nyatanya, bukan di masa Presiden Soeharto terbit Permenakertrans No. 16/2015, atau Permenakertrans No. 35/2015, ataupun Perpres No. 20/2018, yang kesemuanya menyisihkan kepentingan kaum buruh lokal. Semua kebijakan tadi terbit di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Saya mendukung Perpres No. 18/2018 dicabut begitu juga aturan-aturan lain yang mengkhianati buruh dan menghambat kesempatan buruh lokal sejahtera. Selamat Hari Buruh! RI

*Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI