JAKARTASATU– Mayday lahir dari sebuah eskalasi perjuangan buruh untuk meraih kendali ekonomi dan kembali memanusiakan buruh dalam system dan peran hubungan industrial yang sangat menindas. Jam kerja yang panjang 19-20 jam, upah yang sangat minim yang sama sekali tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, buruknya kondisi kerja dan ketiadaan jaminan sosial. Hal ini, melahirkan perlawanan massif dari seluruh buruh se-dunia diawali oleh kaum buruh di Amerika pada tanggal 1 Mei 1886 sekitar 400.000 buruh menggelar aksi untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Perjalanan panjang dari proses perjuangan pendahulu buruh tersebut sudah di nikmati oleh Buruh di Indonesia, namun dalam konteks kesejahteraan dan jam panjang buruh secara terselubung masih banyak terjadi. Jam kerja yang panjang, upah buruh yang selalu minimum (UMP), kondisi kerja yang buruk dan ketiadaan jaminan social buruh, serta kelangsungan kerja yang tidak pernah ada, buruh kontrak terus menerus serta outsorcing yang semakin merajalela. Masih dirasakan oleh hamper seluruh buruh di Indonesia.

Di Indonesia dalam kepemimpinan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik Indonesia saat itu Bapak Drs.H. Muhaimin Iskandar,Msi. Memperjuangkan libur mayday yang sejak 51 Tahun lalu tidak menjadi hari yang bersejarah dan diakui oleh segenap warga Negara bangsa Indonesia, dengan keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013, inilah momentum Mayday yang kita kenal sebagai Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap tanggal 1 Mei menjadi Libur Nasional. Hari libur Mayday menjadi titik tonggak sejarah bahwa Mayday menjadi bagian yang harus kita patut syukuri dan patu kita teladi seluruh eksponen aktivis buruh, perjuangan panjang yang tak kenal lelah walaupun saat ini masih banyak carut marut hubungan industrial yang belum selesai. Akan tetapi kita warga Negara bangsa Indonesia harus menatap dengan baik masa depan buruh Indonesia menghadapi tidak hanya persaingan nasional akan tetapi persaingan global yang semakin ketat.

Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia melihat hubungan industrial secara makro belum menemui titik temu yang baik bagi semua pihak, baik serikat buruh dan pengusaha, hal ini karena masih massif nya dan terus berlangsung Pemberangusan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan-perusahaan yang semakin sering terjadi, terutama perusahan-perusahan asing yang mendapatkan tekanan dari pemilik modal dinegara asalnya, seringkali kebijakan CEO tingkat Internasional memaksakan kehendaknya di Wilayah Hukum Indonesia dan tidak pernah mentaati Hukum yang berlaku di Indonesia. Perusahaan- perusahan asing dan penanaman modal a sing dengan tanpa takut melakukan kriminalisasi, PHK dan kebijakan sewenang-wenang terhadap Pengurus dan keberadaan serikat buruh di Indonesia. Pasal 28 UU.21/2000 dengan tegas mengatakan “siapapun dilarang untuk menghalang-halangi atau memaksa buruh untuk membentuk/tidak membentuk, menjadi pengurus/tidak menjadi pengurus, menjadi anggota/tidak menjadi anggota, menjalankan/tidak menjalankan kegiatan serikat buruh dengan cara; melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan/mutasi, tidak membayar/mengurangi upah, melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, melakukan kampanye anti pembentukan serikat buruh” dengan tegas juga larangan dan perlindungan terhadap hak berorganisasi dikatagorikan tindak pidana kejahatan sebagaimana sanksi pasal 43 UU.21/2000 “Barang siapa menghalang-halangi/memaksa buruh sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 Tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000.000 (seratus juta) dan paling banyak Rp.500.000.000 (Lima ratus juta). Akan tetapi dengan kejelasan dan sanksi yang sudah terang benderang sebagaimana aturan perburuhan yang ada, pengusaha semakin banyak melakukan tindakan kriminalisasi (union busting) terhadap pengurus dan keberadaan serikat. Hal ini terjadi karena sangat lemahnya pengawasan dan banyaknya pengawas yang dapat dibeli dan berkolaborasi dengan pengusaha untuk melakukan union busting terhadap pengurus dan keberadaan serikat buruh. Selain itu ketiadaan pemahaman kepolisian sebagai elemen pemerintah dalam menegakkan keadilann, tidak mempunyai pemahaman dan kepedulian terhadapa buruh tidak jarang kasus- kasus kriminalisasi yang sudah masuk ke kepolisian dikembalikan dan dipimpong ke perselisihan hubungan industrial. Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara termasuk hak bagi buruh. Akan tetapi jaminan atas kebebasan berserikat bagi buruh telah lama di injak-injak oleh pengusaha dan dibiarkan oleh pemerintah, meskipun pemerintah telah ada regulasi Undang-undang No 21 Tahun 2000, akan tetapi faktanya pemerintah tidak pernah serius memberikan jaminan kebebasan berserikat bagi buruh sebagaimana di atur dalam UU 21/2000, banyak sekali kasus pelanggaran kebebasan berserikat yang dilakukan oleh pengusaha akan tetapi sangat jarang sekali pengusaha yang terbukti melakukan pelanggaran diberikan sanksi/hukuman yang tegas oleh pemerintah lagi-lagi pengawasan yang sangat lemah dan perselingkuhan pemerintah dengan pengusaha yang menjadikan ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus buruh.

Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-SARBUMUSI) sejak Mayday Tahun 2017 dan sekarang Mayday 2018 Menilai Nomenklatur kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia sebagai salah satu kementerian yang diotonomi daerahkan menjadi semakin menggurita persoalan-persoalan tenaga kerja menjadi terpecah-pecah dan sulit diselesaikan, Undang-Undang Pemerintahan daerah dalam persoalan Urusan Pemerintahan, Ketenagakerjaan digolongkan dalam Urusan pemerintahan konkuren dikatagorikan sebagai urusan pemerintahan pilihan. Regulasi terkait ini menurut kami Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-SARBUMUSI) merupakan salah fatal atas cara pandang penyelesaian ketenagakerjaan di Indonesia, seharusnya urusan Ketenagakerjaan menjadi bagian yang di desentralisasi menjadi urusan pemerintahan absolut dari pusat sampai daerah, Ketenagakerjaan menjadi jantungnya penggerak perekonomin bangsa dan bagaimana mewujudkan Negara kesejahteraan bagi warga Negara bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk menyelesaikan sengkarut dan carut marut persoalan perburuhan di Indonesia harus memperkuat keberadaan kementerian ketenagakerjaan tidak dikotak-kotakan dalam objek otonomi daerah, hal ini penting untuk menyelesaikan semua persoalan ketenagakerjaan dalam pemikiran yang sama, kebijakan yang sama dan tidak ada ketidakprofesionalisme atas kebijakan ketenagakerjaan.

Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-SARBUMUSI) Memandang ide dan gagasan tentang Unemployes Benefit dan Skil Develovment Fun, merupakan ide yang brilian dan sangat baik untuk menyelesaikan persolan-persoalan Tenaga Kerja yang ter-PHK dengan tidak memiliki keberlanjutan hidup yang jelas serta tidak memiliki keahlian lain selain pekerjaan sebelumnya, akan tetapi bagaimana ide dan gagasan ini berjalan dan diterima oleh semua pihak terutama kalangan serikat pekerja/serikat buruh. Kalangan serikat pekerja/serikat buru dan pengusaha tidak mau dibebani dengan iuran kembali yang beban iuran saat ini sudah cukup banyak dan restrukturisasi presentasi iuran menjadi sangat tidak mungkin ditambah lagi dengan sebentar lagi iuran Tapera. Pilihan memotong kisaran besaran pesangon yang menjadi ide dan gagasan pemerintah bagi kami Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K-SARBUMUSI) menjadi kurang tepat dan memontumnya akan menjadi bola liar bagi serikat pekerja/serikat buruh, karena ujungnya adalah revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ini akan membenarkan persepsi bahwa Revisi Undang-Undang ketenagakerjaan hanya berpihak pada pemilik modal, kemudahan berusaha dan kalangan pengusaha. Kisaran Pesangon yang maksimal sampai dengan 9 kali yang secara normative ada tertulis dalam undang-undang Ketenagakerjaan saat ini masih banyak dilanggar oleh pengusaha dengan memberikan pesangon sekedarnya, bagaimana bila pesangon ini dipotong dan maksimal menjadi 6 kali, sungguh sebuah kemunduran dan membenarkan persepsi tentang Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya untuk membuka jalan pemilik modal dan pengusaha. Kami memandang kita harus keluar dari zona berfikir tidak hanya persepsi merestrukturisasi iuran atau memotong pesangon, harus mecari solusi-solusi alternative yang menguntungkan semua pihak dan sesuai dengan perkembangan zaman dan tentunya jangan sampai merugikan pekerja/buruh yang ntabenenya merupakan kalangan yang lemah dan selalu dilemahkan oleh rezim siapapun yang berkuasa di republic ini.

Atas dasar Pandangan tersebut maka dalam memperingati Hari Buruh Se Dunia/Mayday pada Tahun 2018 ini Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (DPP K-SARBUMUSI) Nahdlatul Ulama beserta seluruh Pimpinan Pusat Federasi-Federasi Sarbumusi menyatakan Sikap sebagai berikut :

Meminta Kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk segera Melakukan Sentralisasi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia dari Pusat sampai daerah. Menjadi Urusan Pemerintahan Absolut.

2. Menolak Revisi Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam Tahun politik (Tahun 2018-2019) dan segera Lakukan Revisi Terbatas UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan memasukan seluruh Pasal-Pasal yang telah di Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.

3. Tolak dan Lawan segala bentuk Kriminalisasi Buruh dan Aktifis Buruh (Union Busting)

4. Tolak dan Lawan Politik Upah murah bagi Buruh di Indonesia.

5. Meminta kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera

membentuk Desk Pidana Ketenagakerjaan di Kepolisian.

6. Mendukung Perpres No.20/2018 dan Stop serta Lawan TKA Unskill yang masuk ke Indonesia dan menuntut pemerintah untuk tegas dan

mengambil tindakan atas TKA unskill tersebut.

7. Hapus System Kerja Outsorcing dan Kerja Kontrak

8. Meminta Kepada Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia untuk

memperkuat Pengawasan Ketenagakerjaan.

Demikian pernyataan sikap dalam rangka peringatan hari buruh Sedunia Tahun 2018 ini disampaikan, dan kami menyerukan kepada seluruh buruh Indonesia untuk terus berjuang melawan segala bentuk Regulasi politik upah murah, Union Busting dan berbagai bentuk penindasan buruh, dengan cara memperkuat persatuan dan solidaritas diantara sesama buruh dan rakyat Indonesia. RI

*Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia, M.Syaiful Bahri Anshori