JAKARTASATU– Dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia/World Press Freedom Day, Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Indonesia merilis berbagai temuan atau kasus yang masih saja menimpa para awak media dalam menunaikkan tugasnya (peliputan). Cukup banyak oknum (dalam instansi) yang disebutkan AJI Indonesia yang “berperan” melakukan “gangguan” atas kinerja awak media, di antaranya posisi yang teratas dalam hal tersebut diduduki oleh Polisi Republik Indonesia (Polri).

“Siapa Musuh Kebebasan Pers tahun ini? Berikut data lengkap Musuh Kebebasan Pers tahun-tahun sebelumnya:

Sejak tahun 2000, Musuh Kebebasan Pers antara lain telah diberikan kepada Polri (2000, 2003, 2004, 2005, 2006, 2008, 2012, 2015, 2016, 2017), TNI (2013),” demikian AJI Indonesia merilis, Kamis, 3 Mei 2018, di akun media sosial, Twitter resmi miliknya, @AJIIndonesia, dengan (tagar) #WPFD2018.

Selain Polri, AJI Indonesia menyebutkan ada Pegawai pemerintah (2006, 2007, 2008), dan politisi dan organ partai (2000, 2005), organisasi kemasyarakatan (2000, 2010), otak pembunuhan Anak Agung Gde Prabangsa (2009), majelis hakim yang memvonis bebas tiga terdakwa pembunuh jurnalis Ridwan Salamun (2011), dan penanggung jawab media lembaga penyiaran RCTI, MetroTV, TVOne, Global TV dan MNC (2014).

“Ketua AJI Indonesia @abdulmanan dan Sekjend @revozone memaparkan situasi terkini kebebasan pers di Indonesia: Reporters Without Borders mencatat tren Kemerdekaan Pers Dunia 2018 sebagai ‘Hatred of Journalism threatens democracies.’ 

Hal itu disebabkan makin maraknya pernyataan permusuhan terhadap media, termasuk oleh pemimpin pemerintahan yanh terpilih secara demokratis.”

Menurut AJI Indonesia, peringkat Indonesia di RSF pada 2018 juga stagnan, yaitu di angka 124. Peringkat ini sama dengan peringkat Indonesia pada tahun 2017 lalu.

“Faktor penting yang patut diduga sebagai penyebab stagnannya peringkat Indonesia adalah karena iklim hukum, politik dan ekonomi yang kurang mendukung bagi kebebasan pers. Iklim hukum antara lain karena masih adanya sejumlah regulasi yang mengancam kemerdekaan pers seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elekktronik.”

Salah satu faktor penting dalam iklim politik yang mempengaruhi situasi kemerdekaan pers Indonesia adalah masih tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis. “AJI mencatat, baik dari laporan AJI Kota dan pemberitaan media massa, terdapat 75 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama Mei 2017 hingga awal Mei 2018. Kasus ini terjadi di 56 daerah kota/kabupaten di 25 provinsi.

Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di periode yang sama, yakni 72 kasus kekerasan. Kasus kekerasan fisik masih mendominasi statistik kekerasan terhadap jurnalis, yakni sebanyak 24 kasus.

“Jenis kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis beragam, mulai dari penyeretan, pemukulan—baik dengan tangan maupun dengan benda tajam atau tumpul, hingga pengeroyokan oleh oknum.”

Kasus kekerasan kedua terbanyak adalah pengusiran. Pengusiran dilakukan baik oleh aparatur negara ataupun anggota security atau satpam. “Pada periode ini, pelaku kekerasan terbanyak, 24 kasus, masih didominasi polisi. Disusul oleh pejabat pemerintah atau eksekutif dengan 16 kasus.”

Menurut AJI Indonesia, sudah bertahun-tahun polisi menjadi pelaku terbanyak kekerasan terhadap jurnalis, khususnya di luar Jakarta. Selain peningkatan kasus kekerasan terhadap jurnalis, masih terdapat sejumlah kasus dari periode sebelumnya yang telah dilaporkan ke aparat penegak hukum, tapi hingga saat ini tak kunjung jelas ujungnya. RI