JAKARTASATU– Ada pemahaman, terorisme sebagai jalan perjuangan. Bagi saya itulah asal muasal terorisme, itulah akar masalahnya. Tentu saya tidak sedang berbicara terorisme yang dilakukan oleh negara. Semisal Zionis Israel kepada rakyat Palestina. Atau terorisme negara dengan korban rakyat kecil di negara-negara Islam Timur Tengah. Saya sedang berbicara terorisme di Indonesia, yang dilakukan, apa boleh buat, saya sebut dilakukan oleh beberapa orang Islam (muslim).
Ketika diberitakan oleh media, seorang muslim mengebom gereja yang mengakibatkan tewasnya banyak orang plus luka-luka, hati ini terasa teriris. Sedih. Rasanya tak ada gunanya berbasa-basi turut berempati atas tewasnya orang-orang yang sedang beribadah itu. Seperti banyak empati yang dilakukan oleh seorang muslim di sosial media. Atau ikut-ikutan “bermain” tagar “Kamitidaktakut. Sebab pada dasarnya, dalam hati kecil, tentu saja kita sangat takut sama yang namanya teroris. Bagaimana mungkin kita tak takut oleh para pengebom yang bahkan rela melakukan bom bunuh diri itu?
Bagi seorang muslim, tentu saja paham bahwa menjadi muslim artinya memang harus berjuang. Menaburkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan selalu terus berjalan dengan mengingat Allah SWT, agar selalu dekat. Sebab itulah tujuan akhirnya. Kita akan kembali kepadaNya. Bagaimana mungkin kita akan bisa kembali, diterimaNya, tanpa ada perjuangan yang kita lakukan di dunia? Itu sebabnya, perjuangan menjadi penting. Hanya persoalannya, kenapa perjuangan dalam negara yang damai mesti dilakukan dengan kekerasan, dengan pengeboman?
Baik. Mungkin banyak yang tak sependapat dengan pemikiran saya di atas. Para teroris itu bukan berjuang, para teroris itu tidak beragama, tidak punya agama, para teroris itu hanya menodai Islam, merusak citra Islam. Siapapun memang boleh saja menghakimi demikian, tapi saya kira tidak bakal menyelesaikan persoalan. Selain hanya bisa meluahkan amarah sesaat saja. Dan kemudian terorisme terjadi lagi, dan kita mengutuk lagi. Penghakiman tidak pernah menghasilkan apa-apa.
Solusi melawan terorisme bagi saya dengan edukasi, memahamkan bagaimana perjuangan Islam yang benar, bagaimana cara berjihad yang benar. Bukan dengan mengolok-olok jihad, bukan menjauhkan umat dari jihad. Kenapa? Karena Islam dan jihad tak bisa dipisahkan. Keduanya melekat. Pemahaman demikian tentu saja dengan proses, bukan datang secara instan. Sementara, bagi saya, strategi kontra terorisme ala polisi yang diantaranya membunuh banyak orang (hampir semuanya muslim), yang masih sebatas terduga teroris perlu dievaluasi. Sebab cara itu hanya menimbulkan dendam tak berkesudahan.
Kini saatnya, alih-alih sok kampanye #kamitidaktakut, lebih baik memang bersama-sama untuk terus menyerukan suara lantang #bersatulawanteroris. Ya, benar, teroris harus dilawan. Kenapa? Sebab menyusahkan banyak orang. Hanya saja, tentu saja kita tak bisa apolitis membaca gerak isu terorisme ini. Apa boleh buat, menjelang pemilu kadang memang banyak kejadian aneh-aneh.
Yang perlu dilakukan sekarang, jangan sampai isu terorisme ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh yang memang tidak senang dengan Islam, tidak senang dengan tokoh-tokoh politik muslim yang konsisten berjuang memperjuangkan umat baik di level kepemimpinan ekskutif (walikota/bupati/gubernur/presiden) maupun level legislatif (DPR/DPRD). Jangan sampai Isu terorisme digunakan untuk menyudutkan mereka. Kalau seorang muslim terjebak dan malah ikut-ikutan menyudutkan aktivis atau calon-calon pemimpin muslim yang konsisten berjuang untuk umat, agama dan negaranya, maka Anda adalah korban “cuci-otak” isu terorisme. Waspadalah. RI
*Pengamat Media, Yons Achmad