Mengurai Benang Kusut Koalisi

1021

OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Keinginan ganti presiden makin kuat. Tentu di 2019. Kenapa? Pertama, rakyat kecewa. Soal apa? Ketidakadilan hukum, ketimpangan dan kesulitan ekonomi, pencabutan berbagai subsidi, pengangguran dan serbuan tenaga Aseng, dan janji-janji yang tak ditepati. Begitulah isu yang muncul.

Kedua, serasa tak ada harapan bagi Indonesia masa depan. Penguasa defensif dengan nalar dan argumentasinya. Seolah semua benar dan tak ada yang perlu dibenahi. Kritik dibungkam dan dialog tak punya ruang. Media dikendalikan, dan hanya boleh bersuara yang tak berseberangan dengan kepentingannya. Rakyat terbelah dan partisipasinya seolah terabaikan. Begitulah penilaian rakyat kebanyakan.

Rakyat yang mana? Median merilis, 46,4% yang menginginkan presiden baru. Cukup besar, kalau tidak dikatakan terlalu besar. Sebab, hanya 45,2% yang tetap memilih stok lama.

Siapa yang diinginkan rakyat untuk mengganti Jokowi? Suara belum bulat. Sejumlah nama yang dimunculkan baru sebatas penjajagan.

Ditengah gelombang “Ganti Presiden” yang semakin membesar, Gerindra ambil momentum. Menyambut gelombang yang sedang deras. Prabowo deklarasi. Setelah berhasil keluar dari keraguan dan kegalauannya, Prabowo akhirnya memutuskan terima mandat partai. Deklarasi digelar di Hambalang. Resmi sebagai utusan partai. Tapi, belum resmi di KPU. Sebab, pertama, belum waktunya pendaftaran. Kedua, belum ada pasangan cawapresnya. Ketiga, suara partainya belum cukup. Hanya 73 kursi. Kurang 39 kursi. Berarti masih bisa berubah? Sangat mungkin.

Deklarasi Prabowo dihadiri sejumlah tokoh dan ketua partai. Diantara yang hadir, Presiden PKS Sohibul Iman dan Ketua PAN Zulkifli Hasan. Apakah mereka mendukung? Eits, nanti dulu

PKS mendukung jika cawapresnya dari PKS. Begitu juga PAN, dukung kalau cawapresnya dari PAN. Masing-masing ingin tampil. Kenapa? Pertama, Elektoral effeck. Majunya kader partai akan mendongkrak suara partai. Kedua, mereka tak yakin, alias ragu kalau Prabowo bisa menang. Maka, dorongan untuk mencalonkan kader partai bisa jadi kompensasi. Tanpa pasang kader, partai menganggap kerja sia-sia jika Prabowo kalah. Menang kagak, suara partai dikorbankan. Jatuh tertimpa tangga pula. Begitulah kira-kira logikanya.

Negosiasi mentok. Bagaimana dengan Demokrat? Siap berkoalisi dengan Gerindra, dengan satu syarat: calonnya bukan Prabowo. Nah, makin mentok.

Pernyataan Demokrat seolah mengkonfirmasi keraguan PKS dan PAN terhadap Prabowo. Meski demikian, Gerindra nampaknya ngotot mengajukan Prabowo sebagai capres. Prabowo harga mati. Begitulah politik gaya “es batu” Gerindra. Kaku.

Nego tak berhasil, kini hanya tinggal Gerindra sendirian dengan Prabowo sebagai capres. Tak akan bisa maju tanpa berkoalisi. PKS, PAN dan Demokrat punya syarat yang tak mudah dipenuhi Gerindra. Dilematis!

Gerindra, PKS, PAN (plus Demokrat jika memungkinkan) adalah partai yang diharapkan bisa menjadi kendaraan bagi rakyat yang kecewa dan ingin ganti presiden 2019. Namun, masih ada masalah dalam formasi koalisi.

Jika diurai kekusutan koalisi itu ada pada tokoh yang diajukan jadi capres. Munculnya Prabowo dianggap tidak representatif bagi kepentingan partai-partai oposisi dan para pendukungnya. Karena itu, PKS dan PAN mengajukan kadernya. Dan Demokrat lebih tegas lagi, tak mau jika Prabowo yang maju. Ragu bisa menang. Kira-kira itu alasannya. Buat apa dukung yang kalah?

Keraguan PKS, PAN dan Demokrat masuk akal. Pertama, elektabilitas Prabowo stag, alias tak bergerak. Meski sudah deklarasi. Sementara, elektabilitas Jokowi malah naik jika penantangnya adalah Prabowo. Kedua, kemampuan bernarasi dan berkomunikasi Prabowo sering tak satu frekuensi dengan rakyat pada umumnya. Bergaya militer, monoton dan selalu bernada keras/tegas. Orang Jawa bilang: nggak Jawani. Sehingga, tak mampu menyentuh gelombang empati dan simpati mayoritas rakyat. Ketiga, sulitnya branding track record Prabowo. Identifikasi pelanggaran HAM yang justru dominan dalam opini publik.

Pilihan di pilpres bukan semata-mata soal integritas dan kapasitas. Bukan juga hanya soal komitmen kebangsaan dan nasionalisme. Kalau soal ini, banyak pihak tak meragukan mantan danjen Kopassus ini. Tapi, urusan pilpres lebih pada soal memenangkan opini rakyat. Di titik ini, Prabowo sangat lemah. Kalah jauh dari pola branding ala Jokowi.

Dalam situasi demikian, sejumlah ulama dan ormas Islam di seberang istana kabarnya mulai bergerak. Mendesak partai-partai oposisi mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih luas. Mengesampingkan sementara ego kepartaian yang menjadi kendala koalisi bersama dibentuk. Apakah ikhtiar ulama dan ormas ini berhasil?

Akhir-akhir ini muncul pertanyaan: sebenarnya partai-partai itu ingin memenangkan partainya, atau memenangkan rakyat dan bangsa ini? Itulah kira-kira suara publik yang mulai mengemuka. Sebuah kritik keras dan pedas terhadap partai-partai, termasuk partai oposisi. Cepat atau lambat, jika partai-partai tersebut tidak mendengar aspirasi publik, terutama umat Islam, ormas dan ulama yang kecewa terhadap kepemimpinan Jokowi, maka mereka bisa balik menghukum partai-partai itu.

Benang kusut koalisi ini bisa diurai dengan menghadirkan “tokoh non partai” yang bisa diterima oleh partai-partai tersebut. Kriterianya, pertama, tak punya masalah dengan -dan tak resisten terhadap- partai. Kedua, diterima oleh rakyat, terutama yang menjadi basis pendukung partai-partai tersebut. Ketiga, punya potensi kemenangan. Empat, bisa membawa kepentingan partai dan aspirasi rakyat, terutama yang berada di gerbong para pendukung.

Kehadiran “tokoh non partai” ini bisa menjadi cara yang tepat dan efektif untuk mengurai kebuntuan koalisi Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat. Jika ini dilakukan “2019 Ganti Presiden” akan dipahami publik sebagai narasi yang tidak saja positif, tapi juga prigresif. Langkah tersebut akan diapresiasi publik sebagai langkah kebangsaan dan kenegarawanan partai-partai oposisi. Dengan begitu, mereka akan dinilai mampu mengedepankan kepentingan bangsa di atas kebutuhan subyektif partai. Ini hanya bisa terjadi jika Gerindra legowo menjadikan Prabowo sebagai King Maker dan bapak bangsa.

Jakarta, 26/5/2018