ilustrasi

JAKARTASATU – Polri kini memiliki senjata baru untuk memberantas aksi terorisme yang marak terjadi di Indonesia sejak reformasi. Senjata baru itu adalah hasil revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana terorisme yang disahkan DPR dan Pemerintah Jumat (25/5/2018). Senjata baru ini tidak saja memberikan payung hukum terhadap Polri untuk mengejar dan menangkap pelaku aksi teror sesudah beraksi, sebagaimana sudah diakomodir dalam UU  No 15/2003, tetapi payung hukum baru di karena poin-poin revisi UU  No 15/2003 memberikan kewenangan bagi Polri untuk menangkap teroris sebelum melancarkan aksi teror.

Senjata Baru

Klausul yang memberikan kewenangan bagi Polri  untuk melakukan penangkapan terhadap terduga teroris merupakan intisari dari revisi UU  No 15/2003 tentang Terorisme.

Pembahasan revisi UU Terorisme yang diajukan pemerintah ke DPR memang cukup lama dibahas di DPR. Diajukan sekitar Januari 2016, baru disepakati oleh DPR dan pemerintan untuk disahkan menjadi undang-undang pada  25 mei 2018. Ini berarti masa pembahasa di DPR mencapai sekitar 28 bulan.

Namun demikian draft yang diajukan pemerintah tidak banyak yang mengalami perubahan. Dalam hal pasal, nyaris hanya satu pasal saja yang dianulir oleh DPR. Yakni pasal yang disebut oleh kalangan DPR sebagai pasal “Guantanamo.” Pasal itu adalah Pasal 43A (1), berbunyi, Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal ini disebut pasal Guantanamo karena ada frasa tempat tertentu. Tempat tertentu ini sudah tentu sebuah penjara, yang kemudian diplesetkan sebagai penjara Guantanamo. Guantanamo dikenal sebagai kompleks penjara militer yang menempati sebagian pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Guantanamo,Kuba. Penjara militer ini dijadikan sebagai tempat penahanan teroris Al-Qaeda yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) di New York, 11 September 2011 lalu.

Pasal-pasal lainnya cenderung tidak mengalami perubahan mendasar. Artinya, semua yang pemikiran yang dimasukkan dalam draft revisi UU 15/2003 tentang Trorisme, diakomodir oleh DPR.

Intisari pasal-pasal yang diajukan pemerintah pada dasarnya semua mengarakan ke upaya pencegahan. Melalui pasal-pasal pencegahan ini, Polri sebagai ujung tombak pemberantasan terorisme, tidak lagi sekadar memioliki payung hukum untuk mengejar dan menangkap teroris setelah melakukan aksi teror, tetapi juga sudah memiliki kewenangan untuk mengejar dan menangkap teroris sebelum melakukan aksi teror. Inilah yang disebut senjata baru Polri.

Ampuhkah senjata baru itu? Di atas kertas ampuh, bahkan dapat dikatakan sangat ampuh. Mengapa, banyak hal yang bisa dilakukan Polri terhadap terduga teroris atau terhadap setiap orang yang terindikasi melakukan aksi teror atau setiap orang yang terkait dengan aksi terorisme.

Revisi UU Teroriem itu sendiri diberi judul, Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Dalam pasal 1 disebutkan, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang ini.Definisi teroris yang disepakati secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah berbunyti sebagai berikut: Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.

Dalam pasal-pasal selanjutnya diatur upaya mencegah keluar masuknya aneka rupa senjata dari dan ke Indonesia.

Dalam pasal Pasal 10A (1) disebutkan, Setiap Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari Indonesia Bahan Peledak, senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

Pasal 10A  ini  terdiri 4 ayat, semuanya terkait dengan kelaur masuk senjata dan dan keluar Indonesia.

Pasal ini mengarah ke upaya mencegah langkah teroris menjadikan Indonesia sebagai medan perang sebagaimana ISIS menjadikan Irak dan Suriah sebagai medan perang dengan senjata pembunuh cukup canggih yang katanya dirampas dari tentara Irak dan Suriah tetapi di sisi lain sejumlah pengamatan mengatakan senjata itu dibeli oleh teroris di pasar gelap Eropa.

Dengan Pasal 10A, maka Plolri bisa menangkap setiap orang yang coba bermain-main dengan perdagangan senjata gelap di Indonesia.

Kemudian Pasal 12A. Pasal ini terdiri dari 3 ayat. Ketiga ayat dalam Pasal 12A ini mengatur tentang komunikasi orang Indonesia atau orang asing dari dan keluar Indonesia terkait terorisme.

Pada ayat 1 disebutkan, Setiap Orang yang dengan maksud dan melawan hukum mengadakan hubungan dengan Setiap Orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing akan melakukan atau melakukan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia atau di negara lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Melalui pasal ini, Polri menjadi memiliki payung hukum untuk menangkap seluruh anggota ISIS yang pernah berangkat ke Irak atau Suriah untuk berperang. Jumlah orang Indonesia yang dikhabarkan ikut berperang di Suriah dan Irak mencapai 500 orang. Sebagian mungkin sudah tewas, sementara yang tersisa sebagian pulang ke Indonesia. Dengan Pasal 12A ini Polri menjadi memiliki payung hukum untuk melakukan penangkapan.

Menhan Ryamizard Ryacudu mengemukakan bahwa jumlah anggota ISIS di Indonesia mencapai sekitar 700 orang. Dengan disahkannya revisi UU Terorisme, maka 700  anggota ISIS ini masuk dalam radar Polri.

Lalu ada Pasal 12B. Pasal ini terdiri dari 6 ayat. Semuanya terkait dengan aktivitas teroris di dalam negeri. Padaayat (1) disebutkan, Setiap Orang yang menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, atau merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Dalam pasal (2) disebutkan, Setiap Orang yang membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik tertulis maupun digital yang diketahui atau patut diketahuinya digunakan atau yang akan digunakan untuk pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Dalam pasal (6) disebutkan, Setiap warga negara Indonesia yang melakukan pelatihan militer, pelatihan paramiliter, pelatihan lainnya, dan/atau ikut perang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme, pejabat yang berwenang dapat mencabut paspor dan mencabut kewarganegaraan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13A, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16 A, diberikan kewenangan kepada Polri untuk mengusut kegiatan-kegaatan yang terkait dengan teroris, mulai dari permufakatan jahat, pelibatan anak dan lainnya.

Revisi UU Terorisme juga memberikan keleluasaan kepada Polri untuk melakukan penyidikan. Pada Pasal 28 misalnya, penyidik diberian kewenangan untuk melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga keras melakukan Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Revisi Undang-Undang terorisme tersebut sudah disahkan oleh DPR dan pemerintah. Dalam waktu dekat akan ditempatkan di lembaga negara untuk selanjutnya sah diberlakukan.

Ini berarti, dalam waktu dekat ini juga, Polri sudah memiliki senjata baru untuk memberantas terorisme di Indonesia.

Apakah dengan demikian teroris yang masih banyak yang bebas berkeliaran dan tak kunjung berhenti melakukan aksi teror di Indonesia sejak reformasi, akan masuk penjara? Kita lihat bagaimana Polri menggunakan senjata baru yang diberikan kepadanya. |NST/JKST