Pohon Imitasi 8 Milyar: Fenomena Post-truth?
Oleh Ismail Fahmi
Dalam sebuah artikel tertanggal 28 November 2017 di situs resmi Kantor Staf Presiden (KSP) yang berjudul “Media Sosial dan Fenomena Post-truth” dijelaskan bahwa: Post-Truth menunjukkan suatu keadaan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding dengan emosi dan keyakinan pribadi. Singkatnya, orang lebih mengikuti “emosi” dan “keyakinan” pribadinya dibanding mencari “fakta sesungguhnya.”
LATAR BELAKANG
Dua hari ini, media sosial diramaikan oleh berita dan opini tentang “pohon imitasi seharga 8M” yang dipasang di trotoar ibu kota. Ada dua narasi dalam percakapan warganet ini: (1) pemasangan pohon imitasi sangat mengganggu pejalan kaki, dan (2) harga pengadaan pohon imitasi ini sangat mahal, yaitu 8 Milyar rupiah.
Fakta: pemasangan pohon imitasi ini memang mengganggu pejalan kaki. Trotoar yang sudah sempit membuat pejalan kaki tidak bisa melewati pohon dengan mudah. Tentunya ini merupakan masukan penting bagi Suku Dinas DKI terkait.
Fakta atau Misinformasi: harga pohon imitasi adalah 8 M. Berita dari Viva yang menyatakan soal harga ini menjadi referensi atau pembenaran bagi warganet yang berujung pada bullying pada Gubernur dan Wagubnya.
Pada akhirnya terungkap bahwa pohon yang dipasang itu adalah pohon imitasi bekas pengadaan tahun 2017, dan sudah pernah dipasang sebelumnya untuk hiasan tahun baru (Tempo, Kompas). Saat itu tidak ada keluhan sama sekali.
PERTANYAAN
Apakah kesalahan tudingan soal harga pohon imitasi sebesar 8M, yang dilakukan secara masif oleh warganet di media sosial ini, merupakan salah satu contoh dari fenomena post-truth?
Kita akan lihat data dari Drone Emprit. Jika tudingan itu dilakukan oleh sekelompok warganet secara masif dan bersama-sama dimana mereka memiliki “emosi” dan “perasaan/keyakinan” yang negatif terhadap target narasi, maka “very likely” ini adalah contoh dari “post-truth.” Mengapa demikian? Karena harga pohon imitasi sebesar 8M itu jelas tidak masuk akal, sehingga otomatis akan cocok dengan emosi dan keyakinan mereka, bahwa Gubernur DKI memang “gabener.”
DATA
Kita gunakan kata kunci “pohon plastik” dan “pohon imitasi” untuk menangkap percakapan sejak kemaren hingga hari ini (31 Mei – 1 Juni).
Terdapat total 12K mention di twitter dan 535 mention di media online. Dari sisi trend, percakapan ini mulai muncul kemaren (31 Mei) dan hari ini (1 Juni) masih sangat tinggi. Kita lihat apakah besok masih tinggi setelah ada klarifikasi.
SNA DAN NARASI
Langsung kita buka peta SNA untuk melihat cluster atau kelompok warganet mana yang banyak membahas isu ini. Kita bagi SNA dalam 3 bagian:
(1) Sebelum ada klarifikasi: 31 Mei – 1 Juni jam 12.00;
(2) Setelah ada klarifikasi: 31 Mei – 1 Juni jam 23:00;
(3) Setelah klarifikasi: 1 Juni jam 17.00 – 23.00.
Dari peta SNA (1), kita lihat hanya ada satu cluster besar yang membahas soal pohon imitasi ini. Narasi besar yang mereka bawa adalah “pohon imitasi mengganggu pejalan kaki” dan “pohon imitasi harganya 8M.” Dilihat dari profile warganet di sana, secara “emosi” dan “perasaan/keyakinan” selama ini dikenal berseberangan dengan Gub-Wagub DKI sekarang. Kelompok warganet yang mendukung Gub-Wagub tidak tampak dalam SNA ini.
Setelah ada klarifikasi soal asal-usul pohon imitasi sekitar jam 12.00 (1 Juni), peta SNA (2) memperlihatkan adanya cluster baru. Dari profile warganet cluster ini, mereka yang secara “emosi” dan “perasaan/keyakinan” dikenal mendukung Gub-Wagub, ramai-ramai mengamplifikasi klarifikasi dari Pemprov DKI bahwa “pohon imitasi itu bekas tahun 2017” seperti yang diberitakan oleh Tempo dan Kompas.
Yang menarik, di antara kedua cluster tersebut, terdapat media-media online yang banyak dijadikan referensi oleh kedua cluster. Media ini menjadi “information arbitrage” atau juru penengah. Apa yang mereka tulis sangat menentukan narasi dan opini warganet. Jadi mereka punya tanggung jawab besar dalam meluruskan hoax dan memberitakan fakta yang benar.
Sekarang kita lihat SNA (3), khusus 1 juni setelah pukul 17.00. Kita asumsikan setelah klarifikasi ini harusnya tidak ada lagi warganet yang menyebarkan opini salah soal harga pohon imitasi tersebut. Dari peta SNA ini ternyata kita masih lihat ada 2 cluster. Warganget dalam cluster yang secara “emosi” berseberangan dengan Gub-Wagub DKI ternyata masih meretweet status dari key opinion leader mereka yang dibuat pada saat-saat sebelum klarifikasi. Ukuran cluster mereka sudah lebih kecil. Sedangkan cluster yang mendukung Gub-Wagub jadi lebih besar ukurannya, dan terus mengamplifikasi klarifikasi yang diberitakan oleh media online.
Detail narasi, siapa influencer masing-masing cluster, silahkan dilihat dalam slide terlampir.
FENOMENA POST-TRUTH?
Dari data berupa pola clustering, emosi warganet dalam cluster yang aktif dalam perdakapan, dan narasi yang berkembang di atas, kita bisa simpulkan kalau ramainya pembahasan isu “pohon imitasi 8M” merupakan sebuah fenomena post-truth. Informasi ini tidak benar, namun secara berulang-ulang dan berjejaring diperbincangkan secara masif.
Memang ada “bukti” screenshot yang mereka buat, namun bukti yang salah itu dipercaya oleh hampir semua warganet. Bahkan pembicaraan ini sudah melebar pada isu-isu lain yang tak berhubungan misal “air minum dari tinja,” dan “kunjungan gubernur ke luar negeri.”
Fenomena post-truth ini dikuatkan oleh pola retweet status lama yang terbukti tidak benar, yang masih terus dilakukan oleh para follower dalam cluster pertama, meski sudah ada klarifikasi. Hal ini menunjukkan, informasi yang salah masih diamplifikasi karena cocok dengan “emosi” dan “perasaan/keyakinan” mereka bahwa Gubernur memang “gabener.” Adanya klarifikasi tidak mengurangi keyakinan mereka ini.
CLOSING
Tampaknya upaya untuk menghindari post-truth, dimana publik lebih cenderung mengikuti perasaan mereka dari pada kebenaran, akan tetap menjadi PR besar kita semua, bangsa Indonesia.
Yang bisa dilakukan ketika sebuah informasi yang salah sudah terlanjut menyebar luas adalah: segera buat dan sebarkan klarifikasi atau kontra narasi positif yang benar. Hal ini harus dilakukan oleh pihak yang punya otoritas, sesuai dengan isu yang menyebar.
Semakin cepat kontra narasi berdasarkan fakta yang sebenarya dibuat dan disebarkan, maka semakin cepat pula misinformasi bisa diredam. Bukti-bukti kuat sebagai pendukung diperlukan untuk meyakinkan publik. Jika dibiarkan, atau dihalau dengan “disinformasi” baru, maka yang terjadi adalah noise lawan noise yang tiada henti.
Dari data Drone Emprit di atas, tampak bahwa media mainstream online ternyata masih memegang peranan penting dalam menyebarkan klarifikasi atau kontra narasi positif. Otoritas bisa memilih media yang sering menjadi “information arbitrage,” sebagai penengah kedua cluster. Media-media ini cenderung bisa dipercaya oleh keduanya.
Sekadar pemikiran saja, mungkin ada baiknya teman-teman “turnback hoax” juga aktif muncul di Twitter, selain menggunakan Facebook Forum sebagai media utama, untuk menjadi “information arbitrage” bersama media mainstream.