JAKARTASATU– Kita mengetahui bahwa telah terjadi pengajuan pinjaman 300 juta dolar Amerika Serikat untuk Indonesia oleh Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia. Pemerintah Jokowi beralasan bahwa pinjman tersebut untuk meningkatkan prasarana dan pelayanan dasar yang relevan dengan pariwisata, memperkuat hubungan ekonomi lokal dengan kepariwisataan dan menarik investasi swasta ke Indonesia.

Tapi kita semua juga harus sadar, bahwa pemimpin yang hebat itu harus satu kata dengan perbuatannya. Pada saat kampanye Pilpres 2014 salah satu janji Jokowi adalah menolak hutang luar negeri. Rekam digital soal menolak hutang luar negeri masih bisa dibaca hingga kini. Tapi Jokowi terus melanggar janjinya sendiri.

Jokowi selalu mengatakan ‘duitnya ada, anggarannya ada, apa lagi hanya 40 Triliun, bisa dicari, gampang sekali’. Ternyata? Utang luar negeri selama ini bukanlah untuk memperbaiki ekonomi bangsa. Yang ada, ekonomi rakyat malah semakin susah karena harus membayar pajak yang besar agar pemerintah mampu mencicil utang.

Jokowi seharusnya hati-hati dalam mengambil opsi pinjaman luar ngeri. Sebab, keuangan negara ini masih dibayang-bayangi oleh beban pembayaran jatuh tempo utang yang terbilang besar. Pada 2018 ini saja sebesar Rp390 triliun, di 2019 mencapai sekitar Rp420 triliun. Bagaimana dengan tenangnya bisa terus mengambil opsi untuk utang lagi? 

Kondisi saat ini terlihat bahwa Jokowi tidak mampu mengelola utang luar ngeri dengan baik, seharusnya utang yang didapat bisa lebih produktif. Konkretnya yakni perekonomian bangsa lebih menggeliat karena adanya pembukaan lapangan kerja baru. Kita akui, sektor pariwisata kalau meminjam ke perbankan, ekuitasnya mesti tinggi karena cashflow untuk membayar bunga itu terbatas sekali dan dalam jangka pendek.

Biasanya ekuitas yang diminta di atas 40 persen karena memang kemampuan membayar dari pembayaran khususnya kamar hotel, akan dibandingkan dengan biaya konstruksi. Pada pelaksanaannya, sektor pariwisata sangat terkait dengan banyak sektor lainnya. Sebab itu koordinasi menjadi langkah yang sangat penting untuk dijalankan sebagai sebuah sistem.

Jika koordinasi tidak dilakukan dengan baik, maka birokrasi rumit yang menjadi salah satu kelemahan dari pariwisata Indonesia bakalan sulit dihilangkan. Adapun kelemahan lain dari sektor pariwisata Indonesia adalah perencanaan dan implementasinya di lapangan yang minim. 

Jika Jokowi memang tidak ada opsi lagi selain berutang, opsi pinjaman itu tak terhindarkan lagi, maka pemerintah harus memastikan master plan atau road map pengelolaan utang yang bagus, termasuk di dalamnya terkait reformasi birokrasi. Master plan harus memuat dampaknya terhadap tenaga kerja lokal, peningkatan SDM yang lebih profesional, pembukaan lapangan kerja baru, hingga proyeksi pemasukan sumber devisa yang lebih besar dan kontribusi dalam neraca pembayaran. RI

*DPP Gerindra