Nugroho Prasetyo

OLEH Nugroho Prasetyo
Panglima Front Pembela Rakyat (FPR)

1). Bank Indonesia menyatakan, bahwa total utang luar negeri Indonesia sampai Nopember 2017 tercatat sebesar 347,3 milyar US $ atau sekitar Rp 4.636,455 trilyun dengan kurs Rp 13.350 per US $.

(2). Debt service ratio Indonesia 39,6% (2017), melebihi Debt Services Framework (DSF) IMF dan Bank Dunia yang menetapkan ambang batas (threshold) atas yang aman untuk debt services ratio terhadap ekspor sebesar 25%. Di antara sesama negara berkembang (developing countries) di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki debt services ratio tertinggi dan sudah masuk kategori “lampu merah”, sedangkan tujuh negara lainnya (Kamboja, Myanmar, Thailand, Philiphina, Laos, Malaysia dan Vietnam) masih sangat aman alias “lampu hijau”.

(3). Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi pemerataan kue pembangunan. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir kaum kaya negeri ini, tidak menyentuh lapis bawah, sehingga menimbulkan disparitas sosial yang cukup lebar. Hal ini tergambar dari rasio Gini 0,393 (2017).

(4). Bila menggunakan standart ambang batas kemiskinan versi Bank Dunia, yakni $US 2 per kapita/hari, maka jumlah penduduk miskin Indonesia menembus 100 juta jiwa atau 42% (Enny Sri Hartati, 2012). Di sisi lain, faktor determinan utama untuk menurunkan tingkat kemiskinan adalah tersedianya lapangan kerja. Saat ini jumlah angkatan kerja Indonesia adalah 128,06 juta, dengan 121,02 juta orang yang bekerja (2017). Mengacu data BPS, sampai Agustus 2017 masih ada 7,04 juta penganggur. Sementara itu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya dirilis (22/3/2018) menyebutkan pertumbuhan ekonomi kwartal pertama sampai kedua 2018 hanya mencapai 5,1-5,5%. Dengan jumlah populasi di atas 250 juta jiwa, size pertumbuhan ekonomi per 1% hanya mampu menyerap -+ 200.000 lapangan kerja, padahal pertumbuhan angkatan kerja sudah mencapai 2 juta per tahun.

(5). Badan Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP) dalam laporan Human Development Report 2016 mencatat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113 (dengan skor 0,689) dari 188 negara, turun dari posisi 110 pada 2014.

(6). TI melabeli index persepsi korupsi Indonesia di peringkat 133 (2004), 143 (2007), 111 (2009) dan di peringkat ke-96 dari 180 negara (2017). Sedang dalam hal kebebasan politik dan sipil, Indonesia mendapat stempel “free” dalam klasifikasi Freedom House. Namun, dalam Democracy Index 2012 yang dirilis The Economist Intelligence Unit, Indonesia masuk kategori “demokrasi cacat”.

(7). Nasionalisasi SDA-SDA strategis yang dikuasai oleh PMA.

(8). Penerapan Otsus sejak 2001 belum membawa perubahan signifikan terhadap kehidupan masyarakat Papua, padahal dana Otsus yang dikucurkan hingga sekarang mencapai Rp 63,8 triliun. Sementara itu, IPM di Papua tergolong terendah di antara 33 propinsi lainnya. Angka kemiskinan di Papua juga masih di kisaran 36%. Selain itu, tata-kelola pemerintahan yang dijalankan birokrat lokal cukup kacau. Akibatnya, arah pembangunan tidak jelas, tidak tahu dimulai dari mana, menuju kemana, dan untuk siapa (KOMPAS, 20/4/2011). Ukuran kinerja tata-kelola pemerintahan tersebut tercermin dari Index Governance Assessment, yakni 0,39. Fakta ini menunjukkan tingginya korupsi. TI juga mengeluarkan IPK pada 9 Nopember 2010 : dari 50 kota di seluruh Indonesia, Jayapura menempati urutan 41 dengan skor 4,33, yang artinya korup. Audit BPK menemukan penyelewengan dana Otsus sebesar Rp 4,2 triliun dari total dana Otsus Rp 28,8 triliun (2002-2010).

Selain problem legitimasi kepemimpinan lokal dan rendahnya kualitas SDM birokrasi, fenomena kegagalan proses pemekaran enam kabupaten di Papua dan Papua Barat semakin memperkaya potret buruk dari kondisi pemerintahan di Papua.

(9). Wahid Institute mencatat dalam kurun waktu lima terakhir pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukkan trend yang meningkat : 291 (2009), 286 (2010), 299 (2011), 371 (2012). Dalam studi yang dilakukan Center For Religious Freedom, Hudson Institute, memasukkan Indonesia sebagai negara yang tidak sepenuhnya memiliki kebebasan beragama. Sedang Freedom Institute menunjukkan kondisi mengkhawatirkan dalam konteks kebebasan beragama. Dan penelitian Pew Gopal (2009) memasukkan Indonesia satu kelas dengan Arab Saudi, Iran, Cina, Myanmar, Pakistan, Irak dan Sri Lanka, dalam hal kebebasan beragama.

(10). Data yang dikumpulkan oleh HuMa menguraikan, sejak 2006 hingga Nopember 2012 tercatat 232 kasus konflik agraria dan sumber daya alam, yang berlangsung di 98 kota/kabupaten, di 22 propinsi, di Indonesia, mencakup wilayah seluas lebih dari 20.000 km2 dan memakan korban 91.968 orang.

(11). Indonesia butuh militer yang kuat sebagai instrumen pertahanan negara. Anggaran belanja militer Indonesia (2011) di ruang lingkup ASEAN saja masih kalah dari Singapura, Brunei, Vietnam dan Malaysia. Menurut pemerintah, MEE (Minimum Essential Force) akan dipenuhi dalam 3 renstra : 2010-2014, 2015-2019 dan 2020-2024. Namun Dephan optimis, bahwa MEE berhasil dicapai hanya dalam 2 renstra, karena hingga akhir renstra 2010-2014 MEE sudah tercapai 40%. Padahal, untuk mencapai pemenuhan MEE di akhir 2019, butuh komitmen alokasi anggaran, yakni sebesar $US 20 milyar. Di sisi lain, anggaran militer Indonesia hanya 1% dari PDB, bahkan pada 2001 hanya tercatat 0,60% dari APBN. Menurut data SIPRI (2012), 26 negara rata-rata persentase PDB-nya untuk sektor pertahanan adalah 2,5%, antara lain Inggris, Korea Selatan, India dan semua anggota NATO.

(12). Persepsi publik yang sudah sedemikian parah, membangun wacana lama akan refomasi total institusi kepolisian, bahkan reposisi kepolisian di bawah kendali Depdagri. Citra positif kepolisian terpuruk secara drastis pada tahun 2013 dengan angka 20,8% (KOMPAS, 1/7/2013). Perilaku koruptif dan penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat kepolisian tergambar dalam grafik yang dirilis harian KOMPAS, 27 Juni 2011. Di sana disebutkan, bahwa 60,8% masyarakat meyakini polisi gampang disuap. Bahkan, tingkat kepuasan publik terhadap pengusutan kasus korupsi, pelanggaran HAM, narkoba, kriminalitas, dan lainnya, di bawah 60% (KOMPAS, 27/6/2011).

(13). Sebagai negara kepulauan, Indonesia harus lebih proaktif dalam penyelesaian sengketa batas laut dengan negara tetangga. Untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia, diperlukan penetapan batas-batas maritim secara lengkap, berdasarkan UNCLOS 1982 yang telah diratifikasi melalui UU No. 17/1985.

Kian memanasnya sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan, meningkatnya kapabilitas militer Cina, makin maraknya kejahatan transnasional, sengketa batas laut dengan 10 negara tetangga, harus disikapi Pemerintah RI dengan serius. Selain itu, Indonesia diperkirakan kehilangan pemasukan $US 3 miliar per tahun akibat illegal fishing (The Jakarta Post, 2/3/2004). Untuk itu, kita perlu membangun armada laut dengan postur kekar dan didukung alutsista memadai, guna menjaga kedaulatan wilayah.

Dalam lima tahun ke depan, rivalitas antara negara-negara besar dalam hal penguasaan akses dan supremasi maritim terhadap dua kawasan laut strategis, Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan, akan semakin mengeras.

Dalam lima tahun ke depan pula, Asia Timur akan segera menjadi pasar dan basis produksi tunggal. Dalam situasi demikian, Pemerintah RI dituntut untuk pintar-pintar memaximalkan geopolitical leverage demi kepentingan nasional. Maka dari itu, reposisi strategis Indonesia dari negara yang ‘punching below the weight’ bertransformasi identitas sebagai middle-power, perlu dijadikan kebijakan prioritas Pemerintah RI.