JAKARTASATU– Kenaikan harga BBM non-subsidi per 1 Juli 2018 kemarin menunjukkan pemerintahan Presiden Joko Widodo memang tak memiliki pola dalam menyusun kebijakan harga BBM. Dalam enam bulan terakhir saya mencatat sudah lima kali harga BBM dinaikkan. Tapi kenaikan itu tak ada polanya.

Dulu pemerintah menyatakan akan meninjau harga jual BBM setiap tiga bulan sekali. Sekarang yanh terjadi tiap bulan bisa terjadi kenaikan harga BBM. Bahkan, pada rentang 13 Januari hingga 24 Februari lalu, tiap minggu ada kenaikan harga BBM. Kini kita memang sudah menjadi importir minyak. Jumlah lifting minyak pada 2018 menurut SKK Migas diperkirakan sekitar 769.795 barel per hari (bph), sementara jumlah konsumsi BBM sekitar 1,6 juta bph.

Namun itu bukan alasan untuk melepas harga BBM pada fluktuasi harga pasar. Fluktuasi bisa memunculkan ketidakpastian. Nah, pemerintah harusnya mengintervensi ketidakpastian tersebut. Jangan lepas tangan. 

Dulu, ketika harga minyak anjlok, pemerintah menurunkan harga BBM. Namun besarannya sangat kecil. Kini, giliran harga minyak naik, masyarakat dibiarkan menghadapi fluktuasi harga yang terus berubah tiap bulan. Ini kan tidak fair.

Sejak lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 191/2014, fungsi kontrol DPR RI atas kebijakan harga BBM juga sudah diamputasi oleh pemerintah. DPR RI hanya dibutuhkan persetujuannya jika terkait penetapan harga Premium saja, sementara untuk penetapan harga BBM jenis lain semuanya kini diputuskan sepihak oleh pemerintah.

Khusus BBM non-subsidi, penetapan harganya bahkan langsung diserahkan ke Pertamina, seolah tak lagi diatur oleh pemerintah. Coba baca Peraturan Menteri ESDM No. 34/2018, yang menyebutkan jika badan usaha, tak terkecuali Pertamina, kini tak perlu mendapatkan persetujuan pemerintah untuk menentukan harga BBM kategori umum, termasuk kenaikannya.

Badan usaha hanya perlu melaporkan harga itu kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Migas. Ini adalah bentuk lepasnya campur tangan pemerintah. Padahal, merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUU/1/2003, yang membatalkan Pasal 28 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, cukup jelas jika penetapan harga BBM tak boleh diserahkan pada mekanisme pasar.

Sebagai komoditas strategis, harga BBM harus diatur oleh pemerintah. Sehingga, membiarkan harga BBM diombang-ambingkan fluktuasi pasar tidaklah dibenarkan. Menurut saya biang masalahnya adalah  Perpres No. 191/2014 tadi. Sesudah Perpres itu lahir, seolah-olah yg disebut BBM hanya tinggal minyak tanah, premium dan solar saja.

Sementara Pertamax, Pertamax Turbo, Pertalite, Pertamina Dex, atau Dexlite, bukan lagi dianggap ‘BBM’. Persepsi itu tentu saja keliru. Saya menilai, kebijakan pemerintah terkait BBM ini memang tak ada polanya. Serabutan. 

Dengan Perpres No. 191/2014, pemerintah sebenarnya ingin melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar. Itu sebabnya distribusi premium kemudian dibatasi dan dibuat langka, khususnya di Jawa, Madura dan Bali. Buntutnya, menurut data BPH Migas, ada sekitar 1.926 SPBU di Pulau Jawa, Madura dan Bali yang tidak lagi menjual Premium. Bukan hanya membuat langka Premium, pemerintah bahkan sempat mewacanakan menghapus Premium dan menggantinya dengan Pertalite, jenis BBM yg hingga kini tak pernah jelas formulasi harganya.

Namun akhirnya, baik Premium maupun Pertalite masih sama-sama dibiarkan eksis. Anehnya, menjelang mudik kemarin, aturan pembatasan distribusi Premium tadi diubah lagi oleh Perpres No. 43/2018. Kini SPBU di Jawa, Madura, dan Bali boleh kembali menjual Premium.

Jadi, sekali lagi kebijakan pemerintah terkait BBM ini tak jelas, tak konsisten dan tak terencana dengan baik. Tak ada ucapan pemerintah yang bisa dipegang oleh kita hari ini. Pemerintah seharusnya tidak membiarkan masyarakat diombang-ambingkan fluktuasi harga pasar. Jangan biarkan masyarakat dipaksa menanggung sendiri risiko perekonomian global.

Jangan sampai orang kemudian bertanya: apa gunanya negara jika kebijakan tergantung mekanisme pasar internasional? Artinya, harus ada intervensi pemerintah terhadap semua jenis BBM, bukan hanya solar, Premium, dan minyak tanah saja.

Sebab, keliru besar jika soal harga BBM ini hanya didudukkan dlm kacamata kelas sosial, seolah ada BBM khusus bagi orang miskin, dan ada BBM untuk orang mampu. Pandangan semacam itu, selain menyesatkan juga bisa blunder, karena harga BBM secara umum merupakan komponen inflasi yang punya daya tekan kuat terhadap daya beli masyarakat. Efek dominonya sangat luas. 

Harga BBM berimplikasi langsung terhadap harga transportasi, harga listrik, harga gas, biaya logistik, dan pada akhirnya berimplikasi terhadap kantong masyarakat secara umum. Ini bukan masalah kelas, ini adalah masalah publik di mana pemerintah tak boleh lepas tangan atau pura-pura tidak paham. RI

*Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon