JAKARTASATU– Meneruskan dan membersamai teman-teman yang akan bersidang di MK besok. Mari kita ambil perhatian.

Teman-teman, ada kabar baik yang harus kita bantu. Saya tidak tahu apakah kita harus berbeda pendapat soal ini, sebab ini adalah persoalan bersama kita tanpa partisan. Ini tentang keterlibatan rakyat dalam pesta demokrasi yang diselenggarakan 5 tahun sekali.

Tahun depan, pesta demokrasi kita akan diselenggarakan secara bersama-sama untuk pertama kalinya dalam sejarah kita. Kita akan memilih anggota legislatif dan eksekutif sekaligus. Ya, tahun 2019 adalah momentum bersejarah.

Tetapi, ada kesedihan dalam  momentum itu. Kesedihan akibat dibatasinya jumlah calon presiden dengan cara yang aneh. Hasil pemilihan legislatif 5 tahun sebelumnya hendak dipakai untuk menyaring calon presiden tahun 2019. 

Maka, muncullah berbagai gugatan. Salah satunya adalah yang diajukan oleh sejumlah dosen UI. Pokok gugatannya sederhana yang itu prinsip kejujuran dalam pemilu. Ada semacam  pekik protes yang datang dari jiwa yang tulus.

“Wajarkah hasil sebuah pemilu legislatif tahun sebelumnya (2014) dipakai untuk membatasi jumlah capres pada pemilu berikutnya (2019)  tanpa memberitahukan pemilih pada saat mencoblos”.

Prinsip ini tentu mendasar karena dikaitkan dengan kedaulatan rakyat. Rakyat yang punya suara akhirnya tak berdaya sebab elit telah bersekongkol untuk menyalahgunakan hasil pemilu 2014 lalu. Menyalahgunakan suara mereka.

Berbeda halnya jika peraturan itu baru akan dipakai 2024 sehingga pada pemilu 2019 pemilih bisa bersiap-siap. Bahwa suara mereka tidak saja akan dipakai untuk memilih anggota @DPR_RI tapi juga sebagai tiket Pilpres tahun berikutnya. Itu fair.

Maka Hari SENIN 9 JULI 2018 besok mulai sidang JUdicial Review (JR)  meminta Presidential Threshold ditiadakan, teman-teman akan berkumpul jam 10 PAGI di Mahkamah Konstitusi, yang berminta dimohon hadir jam 9:30 WIB. 

Para Pengaju JR antara lain: Effendi Gazali, Reza Indragiri, Khoe Seng Seng, dan beberapa Ketua BEM. Tuntutan: Warga Negara tidak boleh DIBOHONGI, karena pada Pemilu DPR 2014 tidak pernah diberi informasi (bahwa): kalau memilih anggota DPR sekaligus dihitung sebagai PT 2019.

Teman-teman, sekali lagi sungguh ini adalah perjuangan Non-partisan sebab semua kota berkepentingan agar hasil pemilu lalu tidak disalahgunakan. (Padahal KPU menghabiskan biaya lebih dari Rp. 6 T, termasuk biaya sosialisasi untuk Pemilu 2014).

Tindakan mendustai warga negara bertentangan dengan NILAI-NILAI PANCASILA yang tak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945. Maka gugatan ini lebih dari sekedar menguji norma UU terhadap Konstitusi UUD1945 tetapi terhadap Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara.

Tidak pernah terjadi sekalipun di DUNIA, di mana MK boleh menghalalkan HASIL SUARA SEBUAH PEMILU DIGUNAKAN UNTUK TUJUAN LAIN YANG TIDAK DIBERITAHUKAN SEBELUM PEMILU tersebut PADA RAKYAT. Ini adalah pelembagaan dusta.

Lagipula apakah kita  mau dibohongi terus? Saat UU ini disahkan kami telah mengingatkan. Bahwa pengesahan PT 20 persen berpotensi menghadapi tuntutan masyarakat dan sekarang tuntutan itu terjadi. Ini kesempatan terakhir menunjukkan bahwa RAKYAT SUDAH BOSAN DIBOHONGI!

Jika tuntutan ini tidak dipenuhi jangan salahkan rakyat, kalau rakyat menolak Hasil Pilpres 2019 karena prosesnya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Kita berharap hakim akan bersikap adil kepada semua ini sehingga tenangkah kota menghadapi pemilu serentak 2019. Semoga. #MenolakDusta2019

#SelamatkanSuaraRakyat

#KembalikanPT0%. RI

*Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah