JAKARTASATU– Sekarang ini ada kebekuan. Dalam berpikir ada stagnasi. Dalam jiwa ada kematian. Pergerakan bangsa meredup. 

Api revolusi kita padam, mengutip Bung Karno yang percaya bahwa revolusi tidak pernah mati. Tak ada lagi dialektika. Jiwa kerdil dan pikiran pendek memimpin kita.

Orang-orang memuja yang dangkal. Pikiran tak lagi dipertimbangkan. Bahkan ada persekusi atas pikiran. 

Kritik dianggap ancaman dan pandangan yang berbeda seolah peperangan. Pemimpin tertinggi tak terdengar berkata-kata jujur. Banyak basa-basi dan tipuan.

Jangan tersinggung, karena anak muda yang bercampur dan menyebut diri Angkatan 98 sedang berkumpul. 

Mereka punya hajat entah apa, tapi ada bau kekuasaan di sana. Ada bau singgasana. 

Selamat rembug aktivis 98, sebagai kelompok, semoga naik kelas dari relawanisme dan pemain figuran, menjadi pelaku dan pemangku kebijakan. 

Dunia politik nasional hari ini memang terlalu sepi dan garing tanpa kehadiran kawan-kawan yang dulu punya cara baca atas realitas.

Banyak pemimpin yang hadir tiba-tiba dari simulacra simulacrum media dan sosial media, tak pernah hadir dalam time line sejarah perubahan, sehingga tak pernah tahu sudah sampai mana kita berjalan dan hendak kemana 

Maka saya menyambut baik kehadiran kawan-kawan 98 yang mulai punya kesadaran secara masif untuk terlibat di dalam sistem, masuklah dari pintu berbeda-beda. Masuklah dari pintu depan. Pintu istana. Di sana ada jamuan. 

Bergabunglah ke dalam partai politik, bekerjalah dengan serius membesarkan dan membangun partai, karena itulah jalan sah dan konstitusional untuk masuk ke dalam sistem. Jadilah caleg kawan. Sebentar lagi pemilu.  

Kehadiran Jokowi dalam rembug aktivis adalah awalan yang baik, agar pemimpin paham time line sejarah perubahan, agar ia punya cara baca atas sejarah, bahwa apa yang kita hasilkan hari ini tidak lahir dari ruang kosong. Ajarlah dia tentang tanda baca rute sejarah.

Namun aktivis dan aktivisme itu beda, aktivis adalah dunianya jiwa muda yang dekat dengan tradisi berpikir kritis dan berada di luar kelaziman, mengubah pikiran menjadi tindakan, pikiran yang bertindak. Ia adalah kesetiaan yang bermula dari pikiran dan dijiwai.

Bertindak menjadi penting agar tidak sekedar ngomong, adagium lama aktivis (diskusi-aksi-refleksi), diskusi itu penting karena tindakan tanpa basis argumen yang jelas, maka salah. Ajari presiden memahami tema-tema dalam dunia

Ciri khas diskusi kaum aktivis adalah kedalaman menilai, apakah sebuah isu itu otentik atau framing, agar tindakan lahir dari kondisi obyektif, bukan bertindak atas dasar trend isu. Tapi politisi bisa membuatnya berkali ganda.

Reformasi 98 adalah upaya besar untuk merombak kondisi negara, tindakan apapun yang mengatasnamakan momen 98 seharusnya menjadi evaluasi atas sejauh mana ide dasar dan cita-cita reformasi tercapai. Ini momen reflektif.

Tapi menjadikan isu radikalisme dan intoleransi sebagai tema utama, adalah afirmasi pengabaian dan telah berjaraknya aktivis dengan dunia pendampingan dan advokasi atas isu-isu sektoral buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan lain-lain.

Target peserta sampai puluhan ribu tak mungkin tercapai, karena pilihan isu yang berjarak dengan basis isu komunitas masyarakat marginal, bukannya mengubah situasi sosial menjadi situasi politik, tapi justru menjadi buzzer isu politik menjadi isu sosial 

Jika menghendaki pluralisme, maka jangan hanya menolak monopoli pemikiran, tapi juga harus menolak monopoli kepemilikan sumberdaya ekonomi yang dialami oleh massa rakyat. 

Jika setuju keberagaman, maka jangan hanya jadikan panggung reuni untuk dukung mendukung calon tunggal, berada di luar kelaziman mestinya berani beralternatif.  

Jika dunia aktivis kehilangan daya pemikiran kritis, maka yang ada hanya kepalsuan.

Jika gerakan tak lagi lahir dari refleksi sadar atas realitas eksploitasi kaum buruh tani, maka yang tersisa adalah mengabdi ke elit politik, ketika oportunisme searah dengan aktivisme.

Dan yang nampak tinggallah bahwa Rembug 98 hanyalah semacam bermufakat untuk membentuk Timses.

Aktivisme akan menjadi ironi bagi marwah sejarah gerakan 98, karena tindakannya tercerabut dari akar pemikiran kritis dan keberpihakan kepada rakyat. Ini adalah semacam pengkhianatan kepada asal muasal. 

Isu melawan radikalisme itu sungguh ambigu keluar dari generasi penakluk rezim orba, lupakah kita pada buku-buku sejarah tentang radikalisme pemuda Indonesia, prihatin kalau belum pernah baca 

Aktivis tiba-tiba terjebak dalam penggunaan istilah yang mengikuti situasi kondisi yang dikembangkan rezim, bukan istilah untuk menemu kembali kondisi yang terjadi dan yang menjadi dasar pijak dan tindak 

Misalnya untuk menyebut pelaku kekerasan dengan term agama tertentu, aneka istilah telah dipergunakan dalam rentetan sejarah: ekstrim, sempalan, fundamentalis lalu kini “Radikal”.

Karenanya jika tidak cukup klarifikasi sejarah dan ilmiahnya, istilah bisa dipergunakan sebagai sarana stigmatisasi.

Sayangnya para poltisi muda, justru mengambil bagian dari comat-comot istilah tanpa tradisi kritis, misalnya seperti mereka yang kini mengatasnamakan “Angkatan 98”

Tiba-tiba muncul gerakan angkatan 98 menolak radikalisme. Sebagai bagian yang mengklaim diri sebagai penerus tradisi kaum muda terpelajar, setidaknya tolehlah kembali buku saku kaum pergerakan.

Sampai saya bertemu Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Bagaimana kita memberi makna bagi buku ini dan spritualitas ruh perjuangan tokoh-tokoh pergerakan zaman itu?

Judul aslinya An Age in Motion. Pilihan kata yang manis. Masyarakat melihat dunia yang bergerak lalu membikin pergerakannya. 

Penggambarannya mirip seperti nonton bioskop yang tahun-tahun itu baru muncul di Indonesia dan menjadi budaya kaum muda.

Atau Bahkan Ben Anderson, menyebut perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949 dengan Revolusi Pemuda.

Juga almarhum Kuntowowijoyo, bukunya diberi judul Radikalisasi. Semua tentang bagaimana realitas dibaca oleh pikiran dan menjadi tindakan.

Jangan melakukan klasifikasi serampangan. Seperti apapun pembelahan politik yang terjadi, setidaknya harus tetap kritis terhadap historiograsi cangkokan, jangan korbankan diksi yang telah dicatat sejarah sebagai alat untuk meradikalisasi situasi dan kritisisme massa

Pada masa pergerakan melawan penjajahan kolonialisme, kata “radikal” dipakai untuk mendampingi kata “moderat”, yang merupakan dua cara yang umum dalam pergerakan.

Kata “moderat” dipakai dan “dikenakan” kepada pergerakan yang bersifat “kooperatif (lunak dan kompromistik)”, sedangkan “radikal” dikenakan kepada pergerakan yang bersifat non-kooperatif. 

Pada momen persiapan kemerdekaan Indonesia tahun 45, terjadi perdebatan keras antara Soekarno dan para pemuda, mengenai cara Indonesia meraih kemerdekaannya.

Di antara perdebatannya adalah, untuk mencapai Indonesia merdeka haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Bukan pula hadiah.

Sebaliknya argumen lain yang mengemuka saat itu, untuk mencapai Indonesia merdeka adalah sebagai satu sikap lunak dan kompromistik terhadap kebijakan pemerintah kolonial di Indonesia. 

Karena untuk mencapai Indonesia merdeka tidak dapat lepas dari kerja sama dengan berbagai bangsa yang ada di Indonesia saat itu, tidak terkecuali dengan pemerintah kolonial Belanda.

Intinya, kata “radikal”, kemudian “radikalisme”, dan “radikalis” adalah suatu sifat yang menggambarkan kuatnya memegang pendapat. Dan suatu kata yang menggambarkan keinginan untuk berubah secara menyeluruh dan cepat. 

Tahun 98, pada gerakan mahasiswa, sifat radikal ini muncul kembali (sama halnya seperti gerakan tahun 66, 70an dan 80an). Sebagai suatu sifat keinginan untuk perubahan besar-besaran pada pemerintahan Indonesia yang dipimpin rezim orba.

Tapi gerakan mahasiswa yang radikal ini akhirnya “tergerus sendiri” oleh penamaan gerakan dengan nama “reformasi total”. Terjadi perdebatan panjang antara mahasiswa yang radikal dengan yang punya “sifat” moderat dalam pemilihan kata yang tepat untuk gerakan mereka.

Ada kalangan atau faksi gerakan mahasiswa yang enggan menggunakan kata “revolusi”, karena mempunyai konotasi “radikal”, merasa nyaman dengan istilah reformasi karena imajinasinya perubahan akan terjadi secara konstitusional.

Ada juga juga kalangan yang tetap dengan slogan revolusi sampai mati, karena perubahan yang dicapai harus radikal bahkan dengan memotong satu generasi, mereka setia digaris massa dan berada diluar sistem hingga bertahun-tahun pasca 98.

Hari ini, dua kelompok beda cara pandang dalam melihat perubahan itu tak lagi bisa dimaknai secara dikotomik, mengalami ‘swing’ dan ‘switching’ secara dramatis di-drive oleh situasi politik sumbu pendek dan iming-iming jangka pendek.  

Pada masa kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI, kata “radikal” ini kembali muncul. Ketika kelompok besar yang mengatasnamakan “umat Islam” mulai menyatakan kesadarannya dalam konstelasi politik nasional.

Aktualisasi kesadaran tersebut lahir bersamaan dengan ketidakpuasan atas berbagai keputusan, pendapat, maupun pola kerja yang dilakukan oleh pemerintahan, yang dalam hal ini Jokowi sebagai Presiden mengelola politik secara serampangan.

Kelompok besar “Umat Islam” ini sebagai basis identitas dan ruh perjuangan, sehingga mendapat sambutan masif, terbukti dalam berbagai aksinya melahirkan rekor dalam sejarah aksi turun jalan di Indonesia dipandang sebagai tindakan radikal.

Pergerakan dan manifestasi kesadaran yang mendasarkan diri pada ruh spritualitas yang ada pada agama sebagai basis argumen, mengemuka dalam periode pemerintahan Jokowi, masifnya gerakan tersebut membuat pemerintahan merasa terganggu.

Disinilah stigmatisasi “radikal” muncul kembali dan dengan dilabeli pada gerakan yang berseberangan dengan pemerintah.

Dan seiring dengan perkembangan politik yang terjadi, kata radikal “bergeser” kembali mengalami pergeseran makna 

Kata “radikal” ini kemudian menjadi melekat erat pada kata “Islam” hingga membentuk kosa kata baru dengan istilah “Islam radikal” yang merujuk pada sifat-sifat yang tergambar pada kelompok besar ini. 

Dan secara “otomatis”, umat Islam lain yang tidak tergabung dengan kelompok besar ini, menjadi “Islam moderat”, sebuah istilah yang melahirkan dikotomi dan pembelahan berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Sebuah tindakan pecah-belah. 

Definisi “radikal” dan “moderat”, menjadi berubah dari akar sejarahnya, “Islam radikal” akhirnya mempunyai arti sebagai gerakan yang mengatasnamakan Islam, bersifat fundamental, sistematis, masif dan dekat dengan teroris. Begitulah stigma dibuat.

Siapa pun yang tidak pro-pemerintah dengan mudah mendapat stigma radikal, intoleran, anti kebhinekaan dan yang pro pemerintah menjadi moderat, toleran. pancasilais dan paling Indonesia. 

Pergeseran makna kata “radikal” akhirnya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam konteks sosial dan sosiologi, juga hukum. Dan pemerintah telah menjalankan agenda politik pecah-belah ini secara massif. 

Pengaruhnya begitu tendensius, karena siapapun yang memegang kuat prinsip dan pendapatnya dalam memandang realitas dan bertentangan dengan sikap pemerintahan langsung mendapat “cap” sebagai radikal.

Itulah yang kita sedihkan. Aktivisme menjadi alat bagi kekerasan negara kepada warganya. Angkatan 98 tiba-tiba menjadi pendukung rezim yang menciptakan permusuhan dalam masyarakat. Menciptakan ketegangan yang sebelumnya tidak ada.

Demikian sekedar catatan untuk pertimbangan. Karena saya sebagai generasi baru dan Angkatan 98 sekaligus ingin setia di jalan aktivisme melihat satu generasi linglung dalam tarikan kekuasaan. 

Tapi kita tidak bisa melarang. Selamat berjuang kawan! RI

*Aktivis 98, Fahri Hamzah