Belum lama ini, kisaran bulan April 2018 yang lalu, Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), melalui Ketua Umumnya, Usamah Hisyam ikut bergerak cepat melihat kondisi tokoh/mubaligh dakwah Tanah Air yang diduga “diperlakukan” kurang bersahabat oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam kisahnya ketika temu wartawan di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, yang dapat dikatakan mencuat kala itu adalah kriminalisasi ulama hingga rencana kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) dari Makkah ke Jakarta. Maka kemudian Usamah dan beberapa tokoh pun akhirnya bertemu dengan Jokowi di istana Negara.

Kemungkinan pembahasan kepulangan HRS menjadi pembicaraan utama karena sebagaimana diketahui, HRS diduga menjadi “korban” kriminalisasi ini dan juga karena HRS lebih banyak disorot oleh umat. Tapi tidak dipungkiri ada bahasan lainnya untuk kepentingan bangsa dan Negara.

Atas dasar itu, pertemuan tersebut (sebetulnya) dimaksudkan untuk mengetahui, bagaimana sebenarnya sikap atau laku pemerintahan Jokowi-JK ke mubaligh secara khusus dan ke umat Islam secara umum. Pasalnya, menurut beliau saat itu terlihat ada miskomunikasi antara pemerintah dengan para tokoh umat Islam. Sehingga tidak jarang yang menganggap bahwa pemerintahan Jokowi-JK tidak pro umat Islam. Ini yang menjadi dasar sekali adanya pertemuan itu. Sehingga pertemuan ketika itu menjadi penting agar miskomunikasi yang terjadi antara Presiden dengan ulama selama ini diharapkan oleh Usamah bisa cair. Juga menjadi sangat penting bagi upaya untuk menuntaskan kriminalisasi, karena bagaimanapun juga penanggungjawab tertinggi di negara ini menurut dia adalah Presiden RI.

Oleh sebab itu, ia menyampaikan ketika itu harus ada politicalweel terhadap permasalahan ulama ini, karena kriminalisasi dianggapnya masih banyak, pun dengan aktivis yang masih terbelenggu dengan kriminalisasi termasuk ustaz al-Khaththath.

Namun, dari cerita di atas, siapa sangka pada akhirnya ada saja yang meragukan langkah Ketua Umum Parmusi.

Bahkan Parmusi, melalui Usamah sempat dituding melakukan politik praktis. Padahal, Parmusi, yang di mana kepemimpinan dijabat oleh Usamah, menegaskan akan konsentrasi ke dakwah lebih dalam. Sehingga apa yang dilakukan oleh Parmusi demi “mendamaikan”, rasanya agak kurang elegan jika dituding seperti itu.

Parmusi menurut penulis hanya untuk menjalankan fungsinya dan berupaya sebagai salah satu jawaban atas respon umat Islam. Parmusi tentu memiliki kepentingan atau pakem yang sama dengan ormas dakwah lainnya, yakni sama-sama ingin menjadikan bangsa dan Negara Indonesia dirahmati oleh Allah subahana wa ta’ala.

Parmusi sebetulnya bisa saja “melawan” tudingan tersebut. Sebab, apa yang disangkakan itu tidak nampak jelas posisinya. Namun ormas Islam ini lebih memilih mempertegas posisi dakwahnya untuk Islam, umat, dan Negara.

Pertegas Posisi Parmusi

Jelas sudah posisi Parmusi. Untuk berdakwah. Di antaranya dapat dilihat dari rencana atau jadwal Parmusi mengadakan acara di bulan September nanti.

Parmusi akan mengadakan acara, sekaligus Milad-nya melalui Jambore di Bogor, Jawa Barat.

Acara ini juga untuk menegaskan bahwa Parmusi konsen dalam dakwah. Tidak berpolitik praktis. Penegasan itu juga ditambahkan oleh Usamah sebagai Ketum bahwa Parmusi akan mengundang ribuan dai dari pelosok negeri demi kepentingan dakwah Islam sebagaimana visi dan misi ormas Islam tersebut.

“Sekarang ini Parmusi kita ubah dari politic oriented menjadi dakwah oriented. Kenapa begitu? Karena dalam perjalanan saya ke berbagai pelosok Tanah Air, saya menyaksikan bahwa umat kita masih banyak yang belum paham Iman, Islam, dan Ihsan. Pemimpin hari ini cermin umat kita yang lemah tersebut,” demikian katanya di kesempatan lalu.

Parmusi dalam kancahnya memang telah mengalami metamorfosis. Dahulu Parmusi dikenal, sebut saja sebagai “sayap” partai politik. Juga memiliki darah Masyumi. Dan menurut penulis, apa pun konsentrasi Parmusi, misal ingin memperdalam bidang dakwahnya, itu bagus tapi rasanya bidang atau ilmu perpolitikam untuk umat tidak begitu saja harus ditinggalkan.

Umat Islam harus tetap melek politik. Bahkan menurut saya tugas Parmusi-lah sebagai ormas Islam yang memberikan ilmu politik serta mengawal umat demi mewujudkan kesantunan politik.

Selain dakwah, Parmusi juga di antaranya harus menjelaskan bahwa politik untuk bangsa dan negara, demi keberkahan negeri harus tetap diikutsertakan umat Islam. Sebab menurut saya, bagaimanapun Parmusi masih akan tetap diingat bahwa pernah berpolitik.

Parmusi juga dapat dikatakan harapan bangsa dan Negara. Menjadi tombak untuk mengejewantahkan setiap isu-isu tidak benar yang lahir dari oknum tidak bertanggungjawab serta mempertegas keislaman yang rahmatan lil a’lamin di Indonesia sebagai kelahiran Parmusi ketika itu, yakni sebagai ormas dan merupakan jawaban untuk memacu  secara kualitatif dan kuantitatif seluruh anggotanya dalam berbagai posisi di seluruh lapisan kemasyarakatan. Apalagi, seperti yang di atas, Ketum Parmusi, Usamah Hisyam sudah nampak menunjukkan kualitasnya sebagai salah satu juru damai dalam menyikapi kriminalisasi ulama dan para aktivis (dakwah) dengan pemerintahan. Juga, Parmusi dapat memanfaatkan momentum era reformasi dengan membuka peluang-peluang lainnya seperti ekonomi keumatan.

*Robigusta Suryanto, Jurnalis dan Pemerhati Politik