Wa Lone (kiri) dan Kyaw Soe Oo (kanan) (Foto: REUTERS/Antoni Slodkowski)

 

JAKARTASATU – 2 Jurnalis Reuters, Wa Lone (32 tahun) dan Kyaw Soe Oo (28 tahun) divonis 7 tahun oleh pengadilan Myanmar. Menurut Majelis Pers Indonesia vonis yang diterima kedua wartawan tersebut dianggap sebagai sebuah ancaman serius bagi kebebasan pers.

Kebebasan Pers merupakan hak yang diberikan oleh konstitusional yang berkaitan dengan sebuah aktifitas media dan bahan bahan yang di publikasikan secara luas untuk kepentingan umat oleh perusahaan penerbit surat kabar atau kantor berita.

Dalam informasi yang diterima tertulis pada, Kamis (6/9/2018), Majelis PERS mengecam atas  vonis ini sekaligus preseden buruk dan kemunduran besar bagi demokrasi Myanmar. Majelis PERS berpendapat penting bagi Myanmar dan negara-negara lain di Asia Tenggara untuk memiliki pers bebas dan kebebasan berbicara, yang akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.

Wa Lone dan Kyaw Soe Oo divonis bersalah oleh pengadilan Myanmar atas tuduhan memiliki dokumen-dokumen resmi secara ilegal. Kedua jurnalis Reuters tersebut ditahan setelah bertemu dengan pejabat kepolisian di luar Kota Yangoon.

Mereka saat itu sedang menulis laporan tentang serangan militer di negara bagian Rakhine. Serangan tersebut mengakibatkan 650 ribuan warga Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh sejak Agustus 2017 silam.

Sejumlah media Myanmar dan puluhan aktivis mengecam keputusan pengadilan untuk memenjarakan dua wartawan Reuters selama tujuh tahun di bawah Undang-Undang Rahasia Negara. Mereka menyebut pemenjaraan ini merupakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan informasi.

Surat kabar 7 Day Daily milik swasta yang banyak dibaca di Myanmar menerbitkan satu edisi pagi tadi di mana di halaman depannya tercetak judul berita besar ‘Hari Menyedihkan Bagi Myanmar’. Isi beritanya merujuk pada pemenjaraan dua wartawan Reuters.

“Ini adalah akhir dari harapan bahwa pemerintah bisa menghargai dan menghormati kebebasan media. Pemerintah telah mendapat reputasi sebagai penindas media, seperti yang dilakukan oleh pemerintahan militer sebelumnya,” demikian kalimat ditulis dalam artikel itu, dikutip dari Reuters, Selasa (4/9/2018).

“Setiap orang harus menyadari demokrasi tidak bisa bertahan dalam era kegelapan informasi,” tambah artikel itu. Surat kabar lain yang mengecam pemenjaraan dua wartawan tersebut adalah Myanmar Times. Surat kabar milik swasta ini memuat foto dua wartawan Reuters berlatar hitam putih yang diborgol saat keluar dari pengadilan. Judul artikel yang diterbitkan ‘Pukulan Bagi Kebebasan Pers’.

“Tidak ada yang salah dengan apa dilakukan keduanya. Sama seperti jurnalis lain, mereka hanya melakukan pekerjaan dan berusaha mengumpulkan informasi sehingga bisa mengungkap sebuah kebenaran,” ungkap editor yang pernah menjadi tahanan politik selama masa pemerintahan militer itu.

Sebagaimana diketahui, pengadilan Myanmar menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada dua wartawan Reuters karena dianggap telah membocorkan rahasia negara.

Wa Lone (32 tahun) dan Kyaw Soe Oo (28 tahun) ditangkap saat hendak menyelidiki fakta tentang pembunuhan massal terhadap warga Muslim Rohingya yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan warga sipil.

Keduanya mengaku tidak bersalah atas tuduhan ditujukan kepada mereka. Sebab mereka hanya berusaha untuk meliput sebuah kejadian untuk diungkapkan dalam berita. Saat keluar dari persidangan lebih dari 100 wartawan dan aktivis untuk mendukung keduanya.

Kantor berita Reuters membeberkan informasi terkait investigasi tentang dugaan pembunuhan massal terhadap Muslim Rohingya oleh tentara dan penduduk desa di Myanmar, yang disebut menjadi alasan penahanan kedua wartawannya.

Dikatakan oleh Reuters bahwa kedua wartawannya, Wa Lone dan Kyaw Seo Oo, menemukan bukti-bukti pembunuhan tanpa alasan yang sah terhadap 10 Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine tahun lalu. Dua di antara 10 pria itu, kata Reuters, dibacok hingga meninggal dunia oleh warga setempat yang beragama Buddha, sedangkan sisanya ditembak oleh tentara.

Atas tindakan pemerintah Myanmar tersebut Majelis PERS mengecam keras dengan menyebutnya tindakan tersebut sebagai bentuk “Kriminalisasi Pers “ di kantor Sekber Majelis PERS Jakarta. Vonis hukuman tujuh tahun penjara yang dijatuhkan pengadilan Myanmar terhadap dua wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo saat ini memicu berbagai reaksi dari dalam negeri Myanmar dan pihak luar negeri.

Pihak Amerika Serikat melalui Duta Besar mereka di Myanmar menganggap keputusan vonis hukuman terhadap pekerja media merupakan sebuah kemunduran yang dilakukan Myanmar ditengah promosi reformasi demokrasi yang tengah digencarkan negara-negara Asia Tenggara.

Ozzy Sudiro saat memimpin rapat pada  beberapa organisasi media di Sekber Majelis PERS Kebon Sirih Jakarta/ Foto : Ist

Sementara itu, di Indonesia, Sekretaris Jenderal Majelis Pers, Ozzy Sudiro menganggap apa yang dilakukan pemerintah Myanmar merupakan bentuk kriminalisasi pers yang seharusnya tidak diberlakukan terhadap karya jurnalistik. “Hal itulah yang saat ini juga tengah kami perjuangkan dan terus sosialisasikan. Kebebasan Pers mutlak dalam negeri demokrasi dan harus menjadi idiom dalam perspektif kehidupan sosial dan pemerintah,” Ujar Ozzy melalui keteranganmelalui keterangan tertulis pada hari Kamis (6/9/2018).

Menurut Ozzy, tindakan pengurungan kebebasan pers dimanapun berada tidak boleh terjadi. Selain itu, dengan adanya vonis tersebut jelas bahwa Myanmar menunjukan sebuah negara otoriter yang sadis dan kejam dengan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. “Peniadaan esensi kemanusiaan bukan hanya terjadi pada etnis Rohingya tetapi juga kepada para jurnalis yang tengah melaporkan peristiwa dan fakta yang terjadi dilapangan,”ujar Ozzy Sudiro, seorang penggiat  kebebasan PERS dan Reformasi Indonesia menegaskan.

Ozzy Sudiro Sekjen Majelis PERS / Foto : Ist

Hal yang menimpa dua jurnalis reuters merupakan cermin otoriterisme dalam membunuh karakter dan kreatifitas jurnalistik, khususnya terkait kebebasan pers yang saat ini sudah bergema diseluruh dunia. (JKST/BA)