OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Salah seorang kawan, anggota DPR, suatu hari telp saya. Menanyakan gerakan 212. Ada indikasi Indonesia mau dirubah modelnya jadi negara Arab. Pancasila diganti dengan khilafah. Lalu, terjadilah Arab Spring, katanya. Dia mau bilang ISIS, tapi takut salah.

Kawan saya ini mewakili pikiran banyak orang di Indonesia. Terutama dari kalangan Nahdliyyin dan PDIP yang Phobia terhadap istilah khilafah. Mereka berpikir bahwa 212 itu gerakan politik HTI. Atau setidaknya ditunggangi oleh HTI. Hebat kali HTI ini, sampai bisa menunggangi 212.

Dalam dialog Rosy di Kompas TV (30/8) saya lihat ekspresi ketua Ansor dan Maruar Sirait begitu antusias. Siap-siap gebukin orang yang mau merubah Pancasila. Tanya Ahmad Dhani: sopo sing Arep ngerubah Pancasila? Dan bagaimana mereka bisa merubah? Bulsheet, kata Ahmad Dhani.

Di sisi lain, ada dari kelompok pendukung oposisi menyerang Jokowi dan PDIP dengan tuduhan PKI. Setidaknya disusupi oleh orang-orang komunis. Sejumlah orang yang mengaku anak-anak PKI yang aktif di PDIP dianggap membahayakan terhadap NKRI. Dimana bahayanya?

Kedua belah pihak punya narasi yang sama: bela NKRI. NKRI harga mati. Sayangnya, mereka melegitimasi dirinya sebagai pembela NKRI dengan cara “mengimajinasikan” lawan politiknya sebagai anti NKRI. Lucu bukan?

Mereka bengak-bengok: Aku NKRI, kamu PKI. Aku Pancasila, kamu khilafah yang mau ganti Pancasila. Aku mempertahankan Kebhinekaan, kamu tidak toleran. Makin ngawur!

Yang satu nuduh bahwa khilafah ini dijadikan gerbong perjuangan politik oposisi untuk mengganti Pancasila. Semua kelompok oposisi dianggap pro-khilafah dan jadi ancaman NKRI. Satunya lagi menggunakan diksi PKI dan memasukkan partai pro pemerintah sebagai pro PKI. Benar-benar lelucon yang menggelikan.

Keduanya mengidap penyakit Orbaisme. Semua yang jadi lawan Orde Baru dari kalangan nasionalis dituduh PKI, dan dari kalangan Islam dilabeli DI/TII. Pewaris Kartosuwiryo.

Di era Jokowi, istilah DI/TII sudah usang. Muncul istilah baru sebagai obyek permusuhan yaitu HTI. Ormas yang selalu dijadikan icon oleh kelompok pro-penguasa sebagai anti NKRI. Betul-betul klasik dari aspek cara memainkan diksinya.

Dengan tuduhan itu mereka bisa pertama, meciptakan opini bahwa gerakan lawan politik itu membahayakan NKRI. Kedua, menumbuhkan militansi perlawanan secara massal kepada gerakan itu. Sangat klasik. Meski klasik, terus dihidupkan sampai sekarang karena terbukti efektif. Munculnya gerakan persekusi adalah bukti riil efektifnya diksi anti NKRI ini.

Kedua belah pihak, pendukung penguasa dan oposisi bertempur di lokasi imaginasi. Rakyat dihadirkan di dunia tak nyata. Mengadu dua kelompok massa di dunia yang tak memiliki realitas. Ini sebuah bentuk pembodohan sistemik.

Awas khilafah! Awas PKI!Awas Anti NKRI! Narasi ini tumbuh subur di ruang publik. Dampaknya secara sistematis merusak rasionalitas publik. Akibatnya, pertama, rakyat makin bodoh. Kedua, rakyat makin emosional. Gampang marah dan menabrak aturan. Ketiga, negara ini jadi gaduh. Kegaduhan yang tak dibutuhkan, kecuali untuk kepentingan pragmatis sejumlah elit. Keempat, rakyat selalu dikorbankan dan jadi tumbal.

Persekusi terhadap deklarasi #2019GantiPresiden, Rocky Gerung dan Ustaz Abdul Somad (UAS) juga menggunakan narasi yang sama. Ruang kebebasan publik dirusak oleh irasionalitas opini imajinatif. Muncul pasukan persekusi yang bernafsu gebuk mereka yang “diimajinasikan” anti NKRI. Aksi ini makin ngawur. Lebih ngawur lagi jika negara diam dan membiarkannya.

Stop! Rakyat berhak untuk mengkonsumsi informasi, diskusi dan diksi yang mencerdaskan. Debat dengan otak yang waras. Bukan jadi alat permainan para politisi.

Segelintir elit berkepentingan mendesign dan merawat dunia imajiner ini. Rakyat secara massal diadu dan dihadap-hadapkan secara fisik dan non fisik. Terus berulang dan dijadikan ritual politik

Teringat ungkapan J.J Rousseau. Bahwa manusia ideal adalah manusia yang asli dan lugu. Orang-orang pintar seringkali membuat rakyat yang lugu itu keluar dari habitat idealnya. Mereka yang mestinya berbudaya dan bermoral dirusak oleh kepentingan politik pragmatis. Terutama ketika masuk masa pileg. pilkada dan pilpres. Saling hujat dan fitnah dihadirkan oleh kelompok kecil elit untuk berebut suara. Kaum elitlah sesungguhnya yang seringkali jadi sumber petaka dalam dunia inter-relasi rakyat.

Rousseau benar, rakyat yang lugu, polos, dan tak banyak tahu soal permainan politik, secara musiman terus diadu domba satu dengan yang lain. Mereka dibenturkan dengan imajinasi PKI dan bahaya khilafah. Sudah saatnya negara hadir untuk menghentikan pertempuran imajinasi ini. Bukan malah ikut bermain dan menyuburkannya.

Jakarta, 9/9/2018