JAKARTASATU.COM – Pahamkan sekarang mengapa Petronas bisa meroket labanya 94 % di semester I tahun 2018, dan mengapa Pertamina malah anjlok 73 % pada semester I thn 2018, semua itu penyebabnya akibat sikap pemerintah yang ambigu, yaitu hanya demi menjaga citra Jkw agar tetap populer di pilpres 2019, maka Pertamina dipaksa menjadi korbannya , dengan jalan Pertamina diharuskan menambah volume BBM Premium dari 7,5 juta KL menjadi 12,5 juta KL untuk kebutuhan Jawa Madura dan Bali wajib disediakan lagi oleh Pertamina sesuai isi Perpres 43 tahun 2018 yg merupakan revisi dari Perpres 191 tahun 2014 yang ditanda tangani oleh Jokowi, dan anehnya harga yang tidak boleh disesuaikan harga ke ekonomiannya, sementara nilai tukar rupiah saat ini rata rata Rp 14.800,- dan harga minyak dunia berkisar diatas USD 70 perbarel.
Sementara nilai subsidi yang disepakati didalam APBN 2018 untuk solar Rp 500 perliter dan patokan harga BBM USD 48 perbarel dan nilai tukar Rp.13.400,- , sehingga kerugian dari selisih harga ke ekonomian itulah yang harus ditanggung Pertamina selama ini.
Disisi lain Pemerintah baru pada awal bulan Agustus 2018 menerima usulan perubahan subsidi solar dari Pertamina dari subsidi tetap Rp 500 perliter menjadi Rp 2000 perliter, padahal melihat perkembangan nilai tukar dan harga minyak saat ini , maka sewajarnya Pertamina mengharapkan nilai subsidi paling aman adalah Rp 2500 ,- perliternya , begitu juga dgn Premium sebagai BBM Penugasan telah tekor sekitar Rp.2500,- perliternya.
Jadi wajar kalau untuk tahun 2017 Pertamina telah tergerus labanya sekitar Rp 24 triliun dan diperkirakan pada akhir tahun 2018 laba Pertamina akan tergerus lebih diatas Rp 32 triliun, alias Pertamina tidak bisa mencetak laba dan bahkan bisa minus kalau harga minyak dan dolar amerika semakin meroket .
Anehnya lagi saat ini Pertamina harus pasang badan mengatakan tidak akan menaikan harga BBM solar dan Premium disaat bersamaan keuangannya yg lagi sekarat.
Selain itu terdengar kabarnya Pertamina juga telah diberikan beban penugasan diluar lingkup usahanya seperti dimaksud dalam UU BUMN dan UU Perseroan terbatas , yaitu diharuskan akan membeli 2 pesawat Airbus tipe 400 dengan spesifikasi militer dgn nilai sekitar USD 500 juta, inilah katanya yang mendorong salah satu anggota direksinya sdh lama mengajukan untuk mengundurkan diri kerena pusing tujuh keliling , mungkin saja beberapa hari kedepan akan terjadi pergantian direksi itu.
Sehingga wajar posisi Pertamina saat ini ibarat “kapal induk setengah karam” ditengah ketidak pastian sikap pemerintah terhadap masa depan Pertamina yang dalam tempo 4 tahun telah terjadi 3 kali ganti Dirut dan bongkar pasang struktur dan direksi sudah 4 kali.
Oleh karena itu , maka tak heran hampir semua proyek infrastruktur migas Pertamina bergerak seperti tari “poco poco” , contohnya proyek RDMP / Refinery Develoment Masterplane Project, GRR / Grass Root Refinery ( kilang baru ) dan Terminal LPG Refrigerated Tuban dan lainnya.
Padahal menurut ketentuan pasal 66 UU BUMN nmr 19 thn 2003 jelas dikatakan bahwa pada keadaan tertentu Pertamina bisa mendapat penugasan dari pemerintah dan apabila penugasan tersebut menurut kajian dan realitasnya secara finansial merugikan , maka pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh Pertamina ditambah keuntungan yang diharapkan.
Namun pertanyaan adalah darimana uang pemerintah untuk memberikan kompensasinya?
Sungguh malang nasibmu Pertamina selalu menjadi obyek permainan setiap penguasa.
Jakarta 12 September 2018
Anak Negeri Peduli Pertamina
|RED