JAKARTASATU.COM – Sudah lebih dua bulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses kasus Korupsi PLTU Riau 1, setelah menetapkan 3 tersangka yaitu Eni Maulani Saragih (DPR Golkar), Johanes Soekoco (Blackgold Natural Resources Ltd) 15/7/18 , dan kemudian Idrus Marham mantan Menteri Sosial dan juga mantan Sekjen partai Golkar, pada 14/9/2018 KPK telah mencekal Samin Tan dan Neni Afwani dari PT Borneo Lumbung Energi Tbk pemilik PT Asmin koalindo Tuhup (AKT), namun anehnya sampai saat ini belum satupun ada dari pihak PLN baik direksi maupun bawahannya dijadikan sebagai tersangka oleh KPK.
Kalau melihat para pihak yang terlibat sudah jadi tersangka adalah hanya dari pihak pengusaha sebagai investor, dan anggota DPR Komisi VII serta elit partai Golkar sebagai Jagoan yang bisa mendikte direksi PLN agar keinginan Johanes Sucoko sebagai pemilik Blackgold dan diduga Samin Tan ikut bersama sama agar bisa ditunjuk sebagai IPP di proyek PLTU Riau 1 dan agar memeroleh PPA (Power Purchase Agreement) yang bankable dan paling ekomomis bagi investor, namun dikemudian hari akibat praktek KKN itu tentu PLN dan seluruh rakyat Indonesia menanggung beban tarif dasar listrik yang akan semakin mahal.
Maka secara akal sehat dengan melihat konstruksi proses kejahatan korupsi di PLTU Riau 1 tidak mungkin direksi PLN tidak terlibat, karena sebagai inisiator proyek yang mulai tahapan perencanaan agar PLTU Riau 1 masuk dalam RUPTL 2016 sampai 2025 dengan skema EPC atau IPP, sehingga untuk menghindari proses tender, maka diaturlah strategi dengan menunjuk anak perusahaan PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) yang kemudian memilih patner IPP, yaitu Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Co Ltd ( CHEC).
Sehingga menimbulkan tanda tanya besar di publik mengapa pihak KPK belum bisa menentukan dari direksi PLN sebagai tersangka saat ini, padahal merekalah yang sebagai patut diduga perekayasa sejak awal perencanaan sampai dengan eksekusi pemilihan patner IPP dari anak usahanya PT PJB.
Apakah KPK mendapat intervensi dari pihak eksekutif dan legislatif bahkan oleh oknum penegak hukum? Karena bisa saja telah terjadi saling sandera antara direksi PLN dgn elit kekuasaan terkait proyek pembangkit listrik lainnya dalam proyek 35.000 MW mungkin juga proses pengaturan hampir sama dengan kasus PLTU Riau 1, yang akan mengakibatkan terjadi efek domino membuka kotak pandora bagi elit-elit kekuasaan lainya yang bisa sangat berbahaya ditahun politik.
Padahal KPK sudah banyak mengumpulkan alat bukti, termasuk rekaman sadapan, CCTV di rumah Sofyan Basyir dan Kantor PLN dan tempat lainnya sebagai sarana pertemuan untuk membahas proyek tersebut, keterangan tersangka dan saksi saksi serta alat bukti lainnya yang berhasil disita tim penyidik KPK diberbagai tempat.
Apalagi proyek listrik 35.000 MW dalam pelaksanaan dikawal oleh Kejaksaan Agung atas perintah Presiden, tentu hal inilah menjadi tanda tanya besar dipublik bagaimana tanggung jawab moral institusi Kejaksaan Agung dalam kasus ini?
Oleh karena itu, KPK harus segera menyikapi kasus PLTU Riau 1 ini secara profesional, transparan dan tidak tebang pilih, agar publik tidak kecewa atas kinerja KPK yang selama ini dianggap paling dipercaya dalam pemberantasan korupsi
Jakarta 23 September 2018
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
Yusri Usman.