OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Tampil beda, itulah Jokowi. Dalam teori marketing, beda itu menarik perhatian. Jika sepuluh orang pakai baju berwarna putih, lalu anda pakai baju hitam, maka anda akan jadi fokus perhatian. Kenapa? Karena anda berbeda dari yang lain. Soal beginian, Jokowi jagonya. Jokowi lihai untuk tampil beda dari orang lain.

Saat semua orang pakai sepatu, Jokowi pakai sandal jepit. Semua orang pakai jas dan batik, Jokowi pakai kaos. Semua berbaju formal, Jokowi lipat lengan bajunya. Lalu buat tagline kerja…kerja…kerja… Tepat sekali. Sampai di situ, Jokowi punya magnet perhatian.

Branding model ini khas Jokowi sejak jadi walikota Solo. Jokowi pernah ribut sama gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo soal rencana pembangunan mall. Keributan ini diekspos besar-besaran oleh media. Beritanya memang layak jual. Ternyata sukses. Konflik Jokowi vs Bibit berhasil membuat persepsi publik. Jokowi pro wong cilik. Kena di hati rakyat. Kasus dan brandingnya tepat.

Tidak sampai disitu. Publik masih ingat mobil Esemka. Mobil Esemka berhasil mengangkat popularitas nama Jokowi di tingkat nasional. Mobil Nasional. Keren banget. Rakyat bilang: ini dia, calon pemimpin nasional kita. Meski sampai sekarang mobil Esemka tak kunjung diproduksi. Habibi bilang: itu mobil mainan. Tak salah jika orang bilang: itu pencitraan. Ingat! Pencitraan tidak dosa. Sah, bahkan dibutuhkan dalam politik. Yang berdosa itu kebohongan.

Kabarnya, Jokowi enam puluh kali bernegosiasi dengan pedagang pasar. Pasar mau digusur. Framing media, Jokowi betul-betul ngewongke (mengorangkan) rakyat kecil. Negosiasi ini makan waktu lama dan jadi branding.

Branding Jokowi saat walikota Solo berhasil melejitkan nama mantan pedagang meubel ini di tingkat nasional. Inilah yang memberi karpet merah buat Jokowi ke Balaikota DKI, sebelum akhirnya berhasil dengan mudah menduduki istana presiden.

Branding Jokowi berlanjut saat jadi presiden. Saat pembukaan Asian Games di Jakarta beberapa waktu lalu, Jokowi buat atraksi sepeda motor. Dengan membayar peran pengganti dari Thailand, Jokowi seolah tampil sebagai anak milenial yang melakukan atraksi berbahaya. Atraksinya memukau. Aksi ekstrim, kata Jokowi. Sangat keren. Hanya sayang, pakai jasa stuntman. Impor lagi. Meski rakyat bertanya: apa manfaatnya? Tanyakan pada juru bicara Pak Jokowi.

Begitu juga ketika penutupan Asian Games. Jokowi memilih memberikan sambutan dari tenda pengungsian. Bersama dengan para pengungsi, Jokowi dishoot televisi memberi sambutan. Sangat mengesankan! Pesan yang mudah ditangkap publik: bersama para korban gempa di pengungsian lebih penting dari hingar bingar hadir di penutupan Asian Games. Ini baru pemimpin rakyat. Begitulah kira-kira kesan yang sampai publik.

Yang terkini, atraksi pencitraan ditonton rakyat saat pengambilan nomor urut untuk pilpres 2019. Berangkat dari gedung juang dalam iringan musik. Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampingi Jokowi ikut bertepuk tangan saat seorang wanita berjoget menyanyikan lagu kampanye. Sementara Jokowi tampak riang sekali. Menggoyangkan kaki dan badan, sambil menggerakkan kedua tangannya. Wajahnya riang seolah kemenangan di depan mata.

Begitu juga saat menyanyikan lagu Indonesia Raya, Jokowi yang mengenakan celana jins mengangkat tangan kanannya dalam posisi hormat. Hal yang aneh dan mungkin tak pernah dilakukan oleh seorang pun di negeri ini kecuali Jokowi. Betul-betul tampil beda. Cari perhatian? Tepat. Politik butuh kemasan untuk mencuri perhatian.

Dalam melakukan pencitraan, Jokowi istiqamah. Konsisten dalam branding dirinya. Halus dan tampak tidak dibuat-buat. Sangat profesional. Tak mudah cari orang yang bisa menandinginya. Kampanye forever. Permanen champaign Apalagi sekarang dapat sparing partner, yaitu Sandiaga Uno. Ganteng, humble, kaya dan cerdas. Kompetitor berat bagi Jokowi.

Soal mengemas citra, Jokowi punya talenta. Jokowi peka, detil dan cepat dalam mengambil momen untuk membuat pencitraan.

Pencitraan bukan monopoli Jokowi. Para politisi, hampir semuanya melakukan pencitraan. Ada yang kasar, ada yang lembut. Ada yang nampak dibuat-buat, ada yang kelihatan alami. Tapi intinya, pencitraan adalah hal yang lumrah terjadi dalam branding para politisi

Persoalannya: apakah pencitraan itu dibutuhkan oleh bangsa ini? Apakah rakyat butuh pemimpin yang sibuk dengan pencitraan? Tidak!

Pencitraan linier dengan kebutuhan politik, terutama individu dan partai, tapi tak linier dengan kebutuhan rakyat.

Yang rakyat butuhkan adalah harga sembako murah. Rakyat butuh cari pekerjaan mudah. Rakyat butuh kepastian dan keadilan hukum. Rakyat hanya ingin hidup tenang, tidak gaduh dalam konflik anak bangsa. Dan itu semua tak bisa diatasi dengan pencitraan. Kesimpulannya, rakyat tak butuh pencitraan.

Jakarta, 27/9/2018