Facebook kembali menyedot perhatian dunia setelah muncul isu yang menyebutkan sekitar 50 juta akun telah diretas. Soal isu ini lalu dibenarkan oleh Facebook dimana teknisi mereka menemukan peretasan telah terjadi pada 25 September lalu dan pada Kamis, 27 September lalu.

Pendiri sekaligus pemimpin Facebook, Mark Zuckerberg mengatakan, pihaknya belum mengetahui apakah ada akun yang benar-benar telah disalahgunakan. Facebook disebut acap mendapat “serangan” dari orang-orang yang ingin mencuri informasi di seluruh dunia.

Setelah menemukan peretasan itu, teknisi Facebook lalu memasang ulang sekitar 50 juta akun yang artinya pengguna diwajibkan untuk masuk kembali dengan menggunakan kata sandi. Juga mengatur ulang sekitar 40 juta akun sebagai langkah pencegahan peretasan.

Seperti dilaporkan Channel News Asia, kontroversi mengenai penggunaan akun Facebook sudah kerap terjadi. Sebut misalnya, Cambridge Analytica. Skandal ini sempat mengguncang dunia pada Maret lalu. Lembaga tersebut memegang data 50 juta akun pengguna Facebook yang kemudian digunakan untuk memenangkan Presiden Donald Trump dalam pemilihan umum Amerika Serikat (AS) pada 2016.

Lewat sebuah cetak biru menyantumkan setidaknya 27 halaman tentang presentasi yang dibuat oleh Cambridge Analytica. Presentasi itu merupakan bahan untuk dintunjukkan kepada klien mereka demi keuntungan. Cetak biru bisa dibilang sebagai bentuk kampaye digital berbasis data yang digunakan Trump pada 2016.

Di samping skandal Cambridge Analityca, media sosia seperti Facebook, Google, Twitter dan Tumblr diuduh membiarkan penyebaran berita bohong termasuk menjelang pemilihan presiden AS pada 2016. Pembiaran penyebaran itu tak lain agar masyarakat lebih aktif menggunakan media sosial sehingga dalam waktu bersamaan memberi keuntungan bagi perusahaan media sosia seperti Facebook dan lain-lain itu.

Untuk mengantisipasi hal-hal demikian, Zuckerberg pada awal bulan ini mengatakan Facebook sedang membangun sebuah sistem keamanannya agar tak bisa lagi dimanfaatkan siapapun terutama digunakan untuk menganalisis kecenderungan perilaku masyarakat pada pemilu. “Kami telah mampu mengidentifikasi demikian dan menghapus akun palsu menjelang pemilihan umum di Prancis, Jerman, Alabama, Meksiko dan Brasil,” kata Zuckerberg. |SUL/KRG