Ratna Sarumpet saat terkena cekal Marsinah Mengugat di CCF Bandung 1997 /foto Aendra Medita

Ada satu tema yang, kalau boleh dibilang, agak samar terpancar dari seluruh rangkaian cerita Hamlet. Tema tersebut adalah absurditas. Begitu banyak hal terjadi tanpa dimaksud yang mempengaruhi jalan cerita. Pada akhirnya semua bertumpuk dan menciptakan moral yang ambigu.

Terkait hal ini paling bagus dicontohkan lewat Ophelia. Ophelia bukanlah sosok yang jahat; malah bisa dibilang “anak baik”. Akan tetapi peristiwa tragis menimpa hidupnya: dia dipermainkan Hamlet, ayahnya meninggal, dan akhirnya menjadi gila. Seolah belum cukup status kematiannya pun tidak jelas. Apakah bunuh diri atau kecelakaan? Bahkan pendeta ragu-ragu menguburkannya secara Kristen.

Maksudnya, ya, kita bisa membayangkan jika sosok ‘jahat’ seperti Claudius (atau Hamlet) yang seperti itu. Sementara Ophelia, ibaratnya “korban tak berdosa”.

Hal yang mirip juga terjadi pada Hamlet. Niatnya mencari bukti kesalahan Claudius tidak buruk — memang orang harus rasional dan tidak gegabah. Akan tetapi bukannya menyelesaikan, pementasan drama justru memicu rusuh.

Begitu juga ketika dia melihat Claudius berdoa dan tidak jadi membunuh, biarpun motifnya egois (dia tidak ingin Claudius masuk surga). Seperti sebelumnya penundaan ini berbuah jelek: akhirnya Hamlet salah menusuk Polonius. Jika saja Hamlet waktu itu tidak ragu — menewaskan Claudius sekali gebrak — takkan terjadi kesedihan berantai. Polonius tetap hidup, Ophelia tidak gila, Laertes tidak dendam, dan Ratu Gertrude juga selamat.

Dunia Hamlet, pada akhirnya, adalah dunia yang kacau dan absurd. Segala hal terjadi tanpa dimaksud, dan moralnya juga abu-abu. Shakespeare sendiri seolah memberi petunjuk lewat dialog:

HAMLET:

Our indiscretion sometime serves us well
When our deep plots do pall; and that should learn us
There’s a divinity that shapes our ends,
Rough-hew them how we will—

Shakespeare, “Hamlet”, Act V scene 2

Bisa jadi Hamlet, dan karya Shakespeare pada umumnya, masih populer sampai sekarang. Alih-alih menguliahi moral Shakespeare dalam karyanya sekadar menyajikan keruwetan hidup. Apa adanya, dan adanya apa. Baik dan buruk kadang sulit dipisahkan.

Perkara hikmah yang dapat diambil, itu diserahkan pada pembaca. Shakespeare tidak memberi kata putus. Dalam hal ini dia seperti teman yang menyodorkan cermin.

As it is, tidak semua gadis perlu dinasihati untuk jadi cantik. Kadang yang dibutuhkan cuma cermin untuk mengurus diri sendiri. Dan Robohnya Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet apakah sudah sampai pada dititik ini? Dimana kini nasibnya malah sedang dalam keruwetan yang belum juga menemukan ending di panggung yang sebenarnya?

*) Pencinta drama Alumni mahasiswa Teater STSI, kini (ISBI) BANDUNG

Referensi Drama:

Hamlet @ Project Gutenberg, Hamlet @ Univ. Adelaide, Hamlet @ Perpustakaan MIT dan berbagai sumber.