Foto : ISTIMEWA

JAKARTASATU.COM – Berdasarkan temuan BPK RI terhadap audit dengan tujuan tertentu terhadap kinerja PT Freeport Indonesia periode 2013 – 2015 dari hasil audit tersebut termaktub dalam Ihtisar Hasil Pemeriksaan ( IPHS) 1/ 2017 sebanyak 190 halaman pada pada tahun 2017 yang telah disampaikan kepada Pemerintah , ternyata pada halaman kesimpulan terdapat 14 item berbagai temuan , dan yang paling berat adalah soal limbah ” tailing ” sebanyak 230.000 ton perhari produksinya dari hasil pengolahan bijih di lokasi tambang telah dibuang ke muara laut melalui sungai Ajkwa dengan nilai ekosistem yang dikorbankan sekitar USD 12 ,202 , 442 , 235 atau setara Rp 166,09 triliun ( kurs tengah BI pada April 2017).

Ketika diminta pendapatnya hari Sabtu 20/10/18 , Yusri Usman Direktur Eksekutif Center Of Energy and Resources Indonesia ( CERI ) menyatakan secara tegas bahwa selain temuan diatas itu adanya pelanggaran pidana berat dibidang kehutanan telah dilakukan oleh Freeport Indonesia adalah penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin untuk kegiatan operasionalnya seluas 4,535 ,93 Ha .

Oleh sebab itu , Penegak Hukum khususnya KPK bisa menjerat PT Freeport Indonesia dengan pidana korporasi sesuai Peraturan Makamah Agung ( PERMA) nomor 13 tahun 2016 tentang ” Tata Cara Penggunaan Tindak Pidana Oleh Korporasi “, sehingga penegak hukum bisa meminta pertanggung jawaban hukum kepada seseorang yang tercantum pada akte korporasi sebagai penanggung jawab korporasi itu , imbuh Yusri.

Maka sikap tegas kesimpulan rapat komisi VII DPR pada Rabu (17/10/2018) terkait rencana divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PT FI) dengan Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, PT Inalum, dan PT Freeport Indonesia menuai pujian juga dari Yusri .

Pasalnya, poin utama kesimpulannya antara lain melarang PT Inalum membayar nilai 40% participating interest ( PI ) Rio Tinto dan saham Freeport Mac Moran (FCX) senilai USD 3.85 miliar sebelum PT FI menyelesaikan kewajibannya terkait temuan BPK RI tahun 2017 atas kerugian negara senilai USD 13,592,299,294 setara sekitar Rp 205 Triliun (nilai tukar Rp 15.100) akibat kerusakan ekosistem lingkungan daerah tambang dan menggunakan kawasan hutan lindung secara ilegal.

“Padahal pembayaran senilai USD 3,8 miliar oleh PT Inalum ke PTFI agar bisa menguasai 51 persen saham PT FI itu juga akan diperoleh dari pinjaman konsorsium bank-bank diluar negeri, dan mereka mensyaratkan juga akan mengucurkan sejumlah dana tersebut setelah persoalan isue lingkungan di areal tambang PT FI dianggap beres alias clear and clean oleh otoritas di Indonesia,” kata Yusri.

Dengan tertawa dia menangapi soal alasan pihak PT Inalum menyamakan kerusakan ekosistem yang sudah terjadi dengan mencontohkan penebangan pohon untuk bangun MRT , wah beda banget , penebangan pohon untuk MRT pakai izin dan akan ditanam kembali , sementara apa yang dilakukan oleh Freeport tanpa izin , setelah tertangkap audit BPK baru akan diperbaiki , dan lagian menggunakan lahan hutan tanpa izin saja ancamannya 10 tahun penjara dan dendanya besar, kata Yusri

Meskipun PT FI bisa menyelesaikan kewajiban kerugian negara tersebut, urai Yusri, ternyata PT FI dalam menambang dibawah tanah belum memiliki izin AMDAL dari komisi pusat, hal ini bisa menjadi persoalan serius, bahwa PT FI diduga menambang secara ilegal selama ini.

“Asal tau saja, setelah PT FI menambang di Gresberg open pit selama ini dan akan berakhir ditahun 2019, ada lima blok tambang dibawah tanah yang sudah digarap oleh PT FI, kelima blok itu adalah Deep Ore Zone (DOZ), Deep Mill Level Zone (DMLZ), Big Gosan, Gresberg Block Cave (GBC) dan Kucing liar,” tegas Yusri.

Akibat hal itu, kata Yusri, dalam kasus terkait isu lingkungan bisa mengakibatkan PT Inalum gagal memeroleh pinjaman dari konsorsium bank-bank di luar negeri, maka dapat dikatakan bukan kesalahan di pihak PT Inalum, seharusnya Kementerian ESDM cq Ditjen Minerba yang sangat bertanggungjwab dalam mengawasi proses penambangan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan yang benar sesuai UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup serta Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan diatur juga di dalam UU Minerba Nomor 4 tahun 2009.

“Setiap tahun PTFI harus mengajukan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) kepada Ditjen Minerba, seharunya inilah pintu kontrol Kementerian ESDM terhadap kinerja PTFI dari tahun ke tahun selama beroperasi, tentu pertanyaannya, kenapa bisa terjadi penyimpangan,” beber Yusri yang mengaku heran.

“Maka selain Kementerian ESDM, termasuk juga tanggungjawab renteng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkesan lalai mengawasi dan menindaknya ketika terjadi pelanggaran,” tutup Yusri. |RNZ