Oleh Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Bendera bertuliskan “Kalimah Tauhid” dibakar. Tepat di hari peringatan santri. Peristiwa terjadi di Garut Jawa Barat. Pembakarnya berseragam Banser. Ketika dikonfirmasi, ketua Ansor Yaqut Cholil Qoumas atau yang sering disapa Gus Yaqut membenarkan peristiwa itu. Menyesal dan minta maaf? Tidak. Bagi Gus Yaqut, itu dilakukan untuk menghormati dan menjaga “Kalimah Tauhid”. (DetikNews 23/10/2018)

Selama ini, masyarakat Indonesia tahu banyak oknum anggota Banser dan Ansor tak suka HTI. Bukan hanya tak suka, sebagian bencinya tak ketulungan. Mudah mendapatkan datanya di medsos dan berbagai group WA. Persekusi terhadap sejumlah tokoh HTI oleh oknum Ansor dan Banser adalah bagian dari bukti nyata itu.

Kenapa HTI dibenci? Mereka meyakini HTI mengancam NKRI. Bahkan viral kutipan tulisan dari seorang doktor lulusan Al-Qarawiyyin Maroko, salah satu wakil Khatib PWNU Jawa Tengah (masih perlu dikonfirmasi validitasnya) yang menyimpulkan bahwa tingkat bahayanya HTI sama dengan rudal, nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya (Jepara NU Online)

Malah ada yang menganggap HTI selevel PKI. Ini makin ngigau. Kalau dianggap hayalan, ini hayalan tingkat dewa. PKI itu partai, dipersenjatai, dekat dan didukung penguasa, jaringan internasionalnya kuat dan bahkan saat itu menguasai sepertiga penduduk dunia. Prinsip perubahan sosialnya adalah revolusi. Beberapa kali melakukan pemberontakan di Indonesia. Pembantaian, termasuk kepada para ulama, halal dan menjadi tuntutan ideologinya. Sementara HTI? Pertanyaan obyektifnya: Adakah HTI punya ideologi pembantaian dan pembunuhan? Mengambil kekuasaan dengan cara-cara melanggar aturan?

Menyamakan HTI dengan PKI, itu petunjuk bahwa yang bersangkutan tak cukup baik pengetahuannya tentang Marxisme, komunisme dan sejarah Partai Komunis di Indonesia. Bahasa yang lebih tepat, “naif”. Tapi, tak ada yang naif jika konteksnya adalah politik. Dalam politik, sesuatu yang “naif” seringkali dijadikan narasi kebenaran. Tokoh dan ormas jadi alatnya.

Kasus pembakaran bendera bertuliskan “Kalimat Tauhid” sesungguhnya bukan perseteruan antara Banser (Ansor) dengan HTI. Tapi boleh jadi adalah “imbas kecil” dari design politik elit yang menggunakan tangan-tangan tertentu untuk kepentingan politik. Para pembakar bendera itu, di satu sisi memang berpotensi merusak persatuan bangsa, tapi di sisi lain, mereka boleh jadi adalah korban. Tak beda dengan mereka yang melakukan persekusi sejumlah ulama. Mereka korban dari permainan elit politik. Hanya saja, reaksi sosial terhadap kedua kelompok pelaku ini beda. Termasuk juga konsekuensi hukum bagi personalnya.

Para pembakar bendera itu bukanlah aktor utama. Bukan aktor yang sesungguhnya. Mereka melakukannya spontan dan emosional. Para aktor utama sesungguhnya adalah mereka yang mendesign narasi kebencian kepada HTI sebagai ormas radikal dan ancaman terhadap NKRI.

Bermula HTI dituduh radikal. Lalu dibubarkan oleh Kemenkumham. SK kemenkumham ini kemudian dikuatkan oleh keputusan PT TUN No 196 B/2018/PT TUN. Otomatis muncul narasi HTI adalah ormas terlarang. Posisinya dijadikan sebagai _common enemy_, Polanya sistematis.

Dalam mazhab teori konfliknya Jhonatan Turner ada ajaran, “jika engkau ingin menyatukan kekuatan, ciptakan musuh bersama”. HTI efektif dijadikan sebagai musuh bersama. Dan cara ini telah sukses.

Setelah sukses menyuntikkan virus kebencian itu, lalu, identitas HTI disebarkan dimana-mana. Terutama di komunitas yang jadi lawan politik pihak tertentu.

Masih ingat ketika acara Ijtima’ Ulama kedua? Ijtima’ yang menghasilkan keputusan untuk mendukung Prabowo-Sandi. Viral video seorang oknum bagi-bagi atribut HTI di lokasi acara di Hotel Grand Cempaka Jakarta Pusat. Ditangkap dan mengaku suruhan orang dan dibayar dua puluh juta rupiah. Dalam video itu, ada orangnya yang ditangkap, ada atributnya yang dibagikan dan ada pengakuannya. Apa pesannya? Prabowo-Sandi didukung ormas terlarang. Klasik!

Di Mayong Jepara, tepatnya pesantren Al-Husna, kehadiran Ustaz Abdussomad (UAS) juga ditolak oleh oknum Banser. Ketika ditanya apa alasannya? Karena ada bendera HTI dikibarkan. Padahal, Al-Husna adalah pesantren Tahfidzul Qur’an asuhan K.H. Mudhofar yang tak bersentuhan dengan HTI. Lalu siapa yang mengibarkan bendera HTI itu? Gelap! Kenapa UAS juga jadi sasaran? Apakah karena UAS sering kritik pemerintah? Gelap!

Jika masyarakat fokus pada kasus pembakaran bendera, tak akan membuat kejadian yang “aneh-aneh, ganjil dan naif” ini berhenti. Akan berulang dalam bentuk, aktor dan waktu yang berbeda. Yang paling efektif jika pimpinan Ansor dan eks HTI melakukan evaluasi dan tidak ikut terlibat dalam dinamika dan pembelahan politik yang sedang memanas ini.

HTI sudah selesai. Ormas ini sudah dicabut ijinnya oleh kemenkumham. Sudah tak ada lagi. Jika kemudian hari ada yang bawa atribut HTI, boleh jadi pertama, itu oknum HTI yang tidak mengerti hukum. Kasih tahu, sadarkan dan jika merisaukan, laporkan polisi. No main hakim sendiri. Kedua, boleh jadi itu bukan eks anggota HTI, tapi oknum yang sengaja dikirim untuk membuat _trigger_ kegaduhan.

Yang pasti, dari sekarang, masyarakat mesti belajar untuk bersikap cerdas. Kebodohan hanya akan memberi peluang bagi orang-orang tak bertanggung jawab untuk menjadikannya sebagai korban dan komoditas politik. Kasihan mereka kalau orang-orang polos, lugu dan tak mengerti apa-apa itu harus menjadi tumbalnya.

Jakarta, 23/10/2018