JAKARTASATU.COM – Penjelasan Pejabat BPK Tentang Audit Tambang Freeport terkesan aneh. Pernyataan auditor Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK – RI ) Laode Nusriadi diberbagai media 22/10/2018 terkait hasil laporan audit untuk tujuan tertentu bahwa lembaganya tidak pernah menyebutkan nilai potensi kerusakan lingkungan Rp 185 triliun oleh aktifitas PT Freeport Indonesia ( PTFI) dalam menambang bukanlah merupakan kerugian negara.
Meskipun sebelumnya pada 19 Maret 2018 anggota BPK Rizal Djalil mengatakan diberbagai media ” BPK geram dengan PT Freeport Indonesia , hal itu hasil temuan nya yang berpotenai merugikan negara hingga Rp 185 triliun tak kunjung dilakukan pembenahan (Detik Finance).
Lebih lanjut Rizal mengatakan lembaganya berwenang melakukan pemantauan atas semua temuan yang harus dilakukan tindakan , seharusnya ditindak lanjuti sebelum 333 hari , tidak ada “action plan” tutup Rizal.
Kegusaran Rizal Djalil mungkin bisa dipahami , karena sebelumnya pada 28 April 2017 semiggu setelah LHP BPK resmi diserahkan kepada Menteri ESDM ( KESDM ) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK ) , BPK menggelar seminar ” Pelaksanaan Kontrak Karya PTFI ” dikantor BPK yang dihadiri oleh Ketua BPK Moemadi Soeja Djanegara , anggota BPK Agus Djoko Pramono , Rizal Djalil , Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Pimpinan Redaksi media masa dan beberapa akademisi.
Saat dimintakan tanggapannya Yusri Usman dari Direktur Eksekutif Center Of Energi And Resources (CERI) mengatakan heran kenapa baru sekarang BPK sibuk mengklarifikasi bahwa angka itu bukan kerugian negara, padahal BPK pada bulan April 2017 telah merilis pada kesimpulannya ada 14 item temuan dari Laporan Hasil Penyelidikan ( LPH ) nomor 6/LHP/XVII/04/2017 tanggal 21 April 2017.
“LUCU DAN ANEH KALAU BPK TIDAK MAMPU MENEMUKAN POTENSI KERUGIAN NEGARA DARI 14 ITEM TEMUAN DALAM KESIMPULAN TERSEBUT , TENTU TAK SALAH AKAN MENIMBULKAN KERAGUAN DAN TANDA TANYA BESAR OLEH PUBLIK TERHADAP KINERJA LEMBAGA BPK , KARENA DARI FAKTA FAKTA YANG TERANG BENDERANG TERUNGKAP , PT FI DALAM OPERASIONAL MENAMBANG DIDUGA TELAH BANYAK MELAKUKAN PELANGGARAN BERAT TERHADAP UNDANG UNDANG ( UU ) , DAN TAK PERLU KITA MENGAJARI BAGAIMANA CARA BEBEK BERENANG,” PAPAR YUSRI KEPADA REDAKSI , RABU 24/10/18.
Yusri mencontohkan PT FI dalam operasionalnya telah menggunakan kawasan hutan lindung tanpa izin seluas 4,535,39 ha, kemudian dalam menambang di blok DMLZ ( Deep Mill Level Zone ) dan memperpanjang tanggul barat tanpa menggunakan dokumen AMDAL , serta soal perizinan dan implementasi pengolahan limbah ” tailing ” tidak memadai. “Sehingga dalam membuang limbah melalui sungai Akjawa telah menimbulkan perubahan ekosistem di sungai , hutan , Estuary dan telah mencapai kawasan laut,”tegasnya.
Padahal BPK dalam melakukan investigasinya , telah bekerja sama dengan lembaga yang kredibel , yaitu LAPAN dan IPB ( Institut Pertanian Bogor , artinya ketiga lembaga ini dari sisi jam terbang sangat tinggi dengan kualifikasi yang sangat mumpuni , khusus tenaga tenaga ahli IPB dan LAPAN sangat paham mengamati dan menghitung potensi kerugian negara akibat kerusakan lingkungan ekosistem dari pembuangan limbah tailing dari hasil pengolahan bijih tambang menjadi konsentrat.
“Sehingga kegagalan BPK dalam menentukan potensi kerugian negara terhadap operasional PTFI selama hampir 50 tahun yang telah merusak ekosistem disekitarnya , boleh dikatakan BPK telah gagal menyelamatkan keuangan negara,”kilahnya.
Padahal kalau BPK berhasil menentukan kerugian negara , tentu beban kewajiban PT Inalum dalam menyediakan dana sebesar USD 3 , 8 miliar untuk mendapatkan nilai saham mencapai 51% akan sangat ringan , dibandingkan kewajiban PTFI harus menyelesaikan ke negara sebesar Rp 185 triliun.
“Seharusnya BPK berkordinasi juga dengan Mabes Polri selain KPK untuk menerapkan ancaman pidana masuk kawasan hutan tanpa izin dan merusak kawasan hutan lindung dengan menggunakan ancaman pidana dipasal 78 UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU nmr 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan , bahkan dengan berlapis dijerat dengan UU nmr 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,”beber Yusri.
Sehingga sudah benar sikap DPR Komisi VII menekan bahwa temuan BPK itu merupakan tanggung jawab Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup menyelesaikan dengan pihak PTFI.
“Karena secara UU , KESDM dan KLHK seharus yang punya tanggungjawab besar dalam mengawasi dan mengendalikan operasional PTFI setiap saat untuk mengelola tambang sesuai kaidah yang benar dalam menjaga kelestarian lingkungannya, bukan sebaliknya,”pungkasnya. |ATA