Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)

Kebijakan Pemerintahan Jokowi JK disektor energi ditahun ke 5 akhir pemerintahannya lagi diuji benar, apakah tetap konsisten dengan tema usungannya sejak awal soal 9 program ” Nawacita dan Trisakti ” untuk mencapai kemandirian pengelolaan sumber daya alamnya, atau sudah pudar disaat memasuki tahun politik.

Pasalnya beredar konsep akhir perubahan ke 6 dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 tahun 2010 tentang ” Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ” sebanyak 11 halaman beserta lampiran penjelasannya 3 halaman , konsep tersebut dikatakan matang karena sudah melewati proses harmonisasi di Menko Perekonomian dan hanya menunggu waktu yang cocok pada momen yang tepat akan diteken oleh Presiden Jokowi, adapun perubahannya meliputi ketentuan pasal 112 ayat 2 dengan menambah 4 angka menjadi ayat 2 a , 2 b , 2 c dan angka 2 d , sehingga perubahan itu berpotensi melanggar Undang Undang Minerba nmr 4 tahun 2009 .

Disisi lain rencana perubahan ke 6 PP terkesan sangat kental tujuannya sebagai payung hukum hanya untuk kepentingan mengamodir pengusaha PKP2B ( Perjanjian Karya Pertambangan Batubara ) generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun mendatang daripada untuk kepentingan nasional , ada 7 perusahaan besar masuk kelompok tahap pertama antara lain PT Tanito Harum ( 2019 ) , PT Arutmin Indonesia ( 2020) , PT Kaltim Prima Coal ( 2021) , PT Multi Harapan Utama (2022) , PT Adaro Indonesia ( 2022) , PT Kideco Jaya Agung ( 2022 ) dan PT Berau Coal pada tahun 2025.

Meskipun didalam dasar pertimbangannya tertulis telah menyebutkan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang Kontrak Karya dan PKP2B yang akan berakhir jangka waktunya , sehingga perlu mengatur kembali ketentuan mengenai IUPK ( Izin Usaha Pertambangan Khusus) Operasi Produksi sebagai perpanjangan kelanjutan operasi , namun ada juga pertimbangan yang tak tertulis sebagai dasar kebijakan tersebut , yaitu ” jika dikelola oleh BUMN ditakutkan akan terjadi penurunan pendapatan negara ” , tentu alasan tersebut terkesan mengada ngada dan bertentangan dengan realitas soal keberhasilan BUMN Tambang PT Inalum yang sudah mendapat pendananaan dari jual bond untuk membayar saham dan menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia pada bulan November ini .

Faktanya hampir 60% pembangkit listrik PLN dan industri lainnya menggunakan energi primer batubara sering mengalami kesulitan mendapat pasokannya ketika harga batubara melambung tinggi , apabila semua PLTU dalam proyek 35.000 MW selesai dibangun tuntas , diperkirakan pada tahun 2026 kebutuhan batubara PLN setiap tahunnya sekitar 180 juta metric ton , sehingga PLN “ibarat tikus mati dilumbung padi” , meskipun Pemerintah telah menerbitkan PP nmr 8 tahun 2018 merupakan perubahan ke 5 dari PP nmr 23 thn 2010 , yaitu merubah dan menyisipkan Pasal 85 a tentang pemenuhan batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud Pasal 84 ayat 1 , Menteri ESDM menetapkan harga jual batubara tersendiri.

Bahkan perubahan PP 23 yang ke 4 telah menerbitkan PP nomor 1 tahun 2017 sebagai dasar KESDM memberikan IUPK kepada PT Freeport Indonesia , dan nyatanya turunan dari PP tersebut telah melegalkan ekspor mineral mentah yang mengancam proses hilirisasi dalam UU Minerba pada Pasal 102 dan 103.

Adapun poin penting dari rencana perubahan ke 6 produk PP tersebut adalah memberikan kewenangan kepada Menteri ESDM untuk memperpanjang izin PKP2B tanpa proses ” lelang ” dan proses perpanjangan dimajukan menjadi paling cepat 5 tahun sebelum berakhir izinnya , padahal sebelumnya bisa diperpanjang paling cepat 2 tahun sebelum berakhir waktunya , dan terhadap luasan IUPK Operasi Produksi bisa diatas 15.000 ha , padahal didalam UU Minerba nmr 4 tahun 2009 sudah diatur tegas pada pasal 83 ayat d dengan luasan maksimal IUPK Operasi Produksi hanya 15.000 ha.

Seharusnya Pemerintah Jkw Jk belajar banyak dari jejak pengelolaan SDA sektor migas masa lampau , karena hanya mengejar sumber devisa dari sektor migas dan kehutanan saja untuk menopang pembangunan saat itu , sehingga kita menggenjot habis habisan produksi dan sebagai eksportir migas terbesar dan ironisnya sejak tahun 2004 sampai sekarang menjadi importir migas terbesar , bahkan cilakanya menurut rilis terbaru Bank Indonesia diberbagai media pada (10/11/2018) ternyata impor migas pada kuartal III- 2018 telah penyumbang terbesar terhadap defisit transaksi berjalan ( Current Acount Deficit / CAD ) , yang tertinggi dalam 4 tahun terakhir.

Oleh karena itu , semestinya Pemerintahan Jkw Jk membuat kebijakan untuk kepentingan nasional jangka panjang bahwa untuk semua kontrak PKP2B yang akan berakhir kontraknya, maka lebih baik terhadap potensi yang masih tersisa untuk diserahkan kepada BUMN Tambang sebagai pengelolaannya dengan memberi porsi 10 % PI ( Participating Interest) kepada BUMD daerah tambang , jikapun dengan alasan untuk memupuk modal dan berbagi resiko , masih ada ruang dengan porsi paling banyak 39% dari dari sahamnya bisa dilakukan proses B to B oleh BUMN tersebut dengan mekanisme yang fair , transparan dan akuntabel.

Pesan penutup dari tulisan ini adalah ” kebijakan pengelolaan SDA saat kini seharusnya lebih baik dari masa lampau , dan kebijakan pengelolaan SDA kedepannya harus lebih baik dari saat ini ”

Selamat hari Pahlawan.

Jakarta 10 November 2018
Direktur Eksekutif CERI
Yusri Usman.