OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Marbot masjid. Secara sosial, itu posisi yang tak menggembirakan. Hanya sedikit orang yang berminat jalani profesi ini. Selain kerja melelahkan, gajinya tak seberapa. Malah kadang seadanya. Ada yang bergantung pendapatan dari kotak amal. Infaq masuk lumayan, marbot gajian. Tak ada infaq masuk, gajian ditunda. Ada yang kerja sebagai marbot diawali dengan terpaksa. Karena tak ada kerjaan lainnya. Tapi tak sedikit yang ingin mengabdi.

Secara religi, ini pekerjaan luar biasa. Memastikan masjid bersih, setelan sound system bagus, dan jama’ah menjalankan shalat dengan nyaman, itu pekerjaan mulia. Bahkan super mulia. Kadang ada tugas tambahan: sandal dan sepatu jama’ah harus aman.

Soal ikhlas, jangan ditanya. Para marbot tak suka pencitraan. Karena bagi mereka, memang tak ada perlunya. Mau bagi-bagi sepeda, untuk makan aja susah. Mau masuk ke selokan, memang itu pekerjaan hariannya. Pakai sandal jepit, karena hanya itu alas kaki yang mereka punya. Pakai kaos oblong, itu pakaian paling efektif untuk menyerap keringat. Gak mungkin mereka ngepel lantai dengan mengenakan pakaian model para pejuang 45 atau para pahlawan kemerdekaan. Gak ada pantes-pantesnya. Mana mungkin mereka bisa pencitraan? Itulah gambaran betapa ikhlasnya marbot masjid.

Biasanya, marbot masjid itu meninggalnya dalam suasana nyaman, dan gak nyusahin orang. Lagi shalat, meninggal. Lagi bersih-bersih masjid, dipanggil Tuhan. Indah sekali. Silahkan perhatikan fakta-faktanya. Beda dengan umumnya pejabat, ada yang meninggal di penjara. Ada juga yang meninggal setelah ditetapkan jadi tersangka. Ada yang ditelan sunami. Ngeri!

Jadi marbot masjid di DKI sedikit lebih beruntung. Setidaknya dari nasib marbot-marbot di daerah lain. Tahun ini 267 marbot masjid (perwakilan dari setiap kelurahan) di DKI berkesempatan berangkat umroh. Tepatnya diberangkatkan. Alias gratis. Semua biaya ditanggung pemprov DKI.

Bagi marbot masjid, bisa umroh seperti kedatangan mukjizat. Mimpi aja, mungkin gak berani. Duit dari mana? Masih banyak marbot masjid yang gajinya tak menentu. Bergantung berapa infaq yang masuk ke kotak amal. Kecuali masjid-masjid besar seperti Pondok Indah, At-Tin atau Sunda Kelapa.

Ketika gubernur DKI Anies Baswedan nanya: siapa yang belum pernah naik pesawat? Mayoritas mereka angkat tangan. Mengaku tak pernah. Kalau lihat pesawat, mungkin semuanya pernah. Itupun di tv. Sekalinya mereka naik pesawat, sembilan jam. Langsung ke Makkah. Bagi mereka, ini nasib istimewa. Bahkan sangat istimewa di sepanjang hidup mereka.

Kerja lelah mereka yang tanpa pamrih dan sepi pencitraan sudah sepantasnya diapresiasi. Mereka layak menikmati hadiah spesial ini. Apalagi yang diberangkatkan adalah para marbot masjid yang sudah bekerja minimal lima tahun. Pengabdian yang belum tentu kalah pahalanya jika dibandingkan dengan posisi ketua MUI dan imam besar Istiqlal. Juga imam negara. Ini soal amanah dan adu keikhlasan.

Apa yang dilakukan Anies Baswedan, Gubernur DKI dengan mengumrohkan marbot masjid sudah tepat. Ini tidak saja bagian dari perhatian, tapi juga keberpihakan. Berpihak kepada umat yang seringkali hanya dijadikan komoditas politik menjelang pemilu. Usai pemilu “dilepeh’. Disia-siakan, bahkan sebagian tokoh dan ulamanya dibiarkan terus menerus menghadapi perkusi dan kriminalisasi. Lah terus piye?

Kita bisa bayangkan jika selama lima tahun Anies Baswedan memimpin Jakarta, semua marbot masjid di seluruh DKI diumrohkan. Tentu, secara sosial akan menaikkan kehormatan mereka. Sementara, tak semua jama’ah masjid di Jakarta pernah ke Makkah. Ini tentu akan melahirkan rasa iri. Tapi iri yang positif. Kalau marbot masjid saja umroh, kenapa jama’ah yang kaya dan punya banyak simpanan uang gak juga umroh. Gak malu? Malah ada yang milih untuk nambah bini dari pada untuk umroh. Just kidding. Tapi, faktanya memang ada. Jumlahnya cukup banyak. Survei dari mana? Kayak pilpres aja nanya survei.

Banyak hikmah di balik program umroh marbot masjid. Pertama, bisa jadi syi’ar yang efektif. Memberi kesadaran orang-orang berduit agar terinspirasi untuk umroh. Kedua, memberi semangat kinerja marbot masjid. Umroh jadi stimulus untuk makin bersemangat mengabdi. Ketiga, menginspirasi Pemda di seluruh Indonesia untuk memberi perhatian pada para marbot masjid. Keempat, kesadaran perlu dan penting adanya marbot di setiap masjid agar masjid terurus, terutama kebersihannya. Tak semua masjid punya marbot. Sehingga banyak masjid yang masih sepi karena tak terurus. Dengan program umroh marbot masjid, juga akan jadi motivasi umat untuk bersedia dan tak malu menjadi marbot masjid. Karena ini pekerjaan mulia dan agung.

Program umroh marbot adalah program berkelanjutan. Sudah dimulai di masa gubernur sebelumnya. Hanya bedanya, program umroh di masa sebelumnya ramai dibicarakan publik. Setengah gaduh. Dan diprogramkan menjelang pilgub. Tahun 2015.

Di masa Anies, program umroh ini sepi berita. Tak heboh di media. Dan memang tak harus dihebohkan. Karena program umroh bukan untuk heboh-hebohan. Demikian juga tunjangan 2,5 juta untuk para hafidz al-Quran. Nyaris tak terdengar. Karena tak dibuat dekat pemilu. Dan memang, tak ada urusannya dengan pemilu. Begitulah seharusnya pemimpin itu bekerja. Sepi ing pamrih. Tak fokus pada Pencitraan.

Prinsip dalam kerja itu ada goal atau targetnya, jelas keberpihakannya, terukur manfaatnya, dan tak kalah penting adalah perencanaannya. Target itu tak diukur dengan jumlah elektabilitasnya. Tak pula dilihat dari jumlah media yang meliputnya. Bukan juga dari tingkat kehebohannya. Tapi lebih pada seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh mereka yang jadi target program itu.

Program umroh ini biarlah jadi komitmen keumatan dan keberpihakan Anies untuk marbot masjid. Jauh dari niat pencitraan. Sebab, ada Tuhan diantara mereka. Karena itu, jangan dikaitkan dengan Pilpres dan pileg, apalagi Pilgub. Masih jauh bung…

Jakarta, 11/11/2018