Saya ingin menyampaikan beberapa hal yang kini sudah lama hilang dalam kurun 3 tahun ini. Soal kejujuran di dunia media kita. Berikut ini sejumlah tersebut dan selamat menyimak:

Jujurlah media, apa sih susahnya jujur. Jujur tanda yang baik loh…

Jujurlah media, karena dirimu pembawa warta untuk publiknya. Maka jujur derajatnya lenih tinggi.

Jujurlah media, karena jika tidak jujur nilai jual tinggi derajat media itu tak lebih terburuk dan jika tak jujur maka informasi media bagian dari sampah semata.

Jujurlah media, bukannya hakekat-mu adalah sebuah kontrol dalam memberikan kecerdasan yang hakiki?

Jujurlah media, karena sebuah kejujuran dalam peristiwa adalah kedewasaan berpola pikir yang arif dan bijak.

Jujurlah media, langkah dunia membaca media, bahkan menutup mata dalam satu peristiwa adalah bencana dimasa depan bagi buruknya media yang sebenarnya, bahkan jadi preseden buruk.

Jujurlah media, karena media seharusnya menjadi “watchdog” penguasa atau pengkritisi dan pengawas pemerintah.

Jujurlah media, karena jika kau justru ikut dalam bagian dari rezim yang berkuasa akan menjadi malapetaka dalam daya kritis publik.

Jujurlah media, jangan kau korbankan nilai kritismu dan bahkan tumpul akan pisau bedah kritismu terhadap pemerintahan, berimbanganlah dalam konteks yang terjadi senyatanya.

Jujurlah media, sebagai watchdog atau kontrol sosial dalam istilah UU Pers– media berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Jujurlah media, kau harusnya kritisi Pemerintah jangan malah bersekongkol menutup hal yang terjadi.

Jujurlah media, bukankah ada nilai dalam good news and bad news yang harusnya kau sampaikan?

Jujurlah media, bukankah yang getir yang baik juga yang kau informasikan?

Jujurlah media, bahwa media adalah “natural enemy” (musuh alami) penguasa, sebagaimana dikemukakan editor buku Pers Tak Terbelenggu (USIS Jakarta 1997):

Jujurlah media, bukankan Pers dan pemerintah adalah musuh alami dengan fungsi berbeda dan harus saling menghormati peran masing-masing?.

JUJURLAH MEDIA, BAHWA PERS SELAMA INI DIKENAL SEBAGAI KEKUATAN KEEMPAT (THE FOURTH ESTATE) DALAM STRUKTUR KENEGARAAN, SETELAH LEGISLATIF, EKSEKUTIF DAN YUDIKATIF. PERS JUGA DIKENAL SEBAGAI PILAR KEEMPAT DEMOKRASI (THE FOURTH ESTATE OF DEMOCRACY). JIKA KEKUATAN KEEMPAT INI DITUNDUKKAN PENGUASA, MAKA WAJAR JIKA MEDIA MENJADI “CORONG PEMERINTAH” DENGAN MENJALANKAN JURNALISME PEMERINTAHAN (GOVERNMENT JOURNALISM).

Jujurlah media, bahwa apa yang dikatakan Guru Besar Komunikasi Simon Fraser University (SFU) Kanada, Kathleen Cross, ketika para wartawan masuk ke wilayah politik seperti itu, mereka bukan saja menggeser kariernya, tapi juga mengubah idealismenya.

Jujurlah media, “When journalists move into political communications, they’re not just shifting their careers, they’re shifting their ideals,” seperti dikutip Belinda Alzner dalam tulisannya di The Canadian Journal Project, “When Journalist go to the dark side”.

Jujurlah media, bukankah khitah jurnalistik adalah loyalitas kepada warga (publik), kebenaran fakta, akurat, berimbang, dan demi kepentingan publik.

Jujurlah media, jika khitah itu dilabrak, maka terjadilah “sisi gelap jurnalistik” yang membuat publik kehilangan kepercayaan kepada media dan media pun kehilangan kredibilitas.

Jujurlah media, dimana saat kau berada dalam peristiwa besar itu terjadi kau hadir dan menyampaikan ke publik?

Jujurlah media, bahwa jika kekuasaan membungkam informasi, maka akan terjadi turbulensi yang diluar celah yang tetap akan menyusup, bahwa kenyataan informasi itu adalah semestinya disampaikan.

Jujurlah media, bahwa yang agung kedudukan dalam menyampaikan informasi adalah yang berimbang dan ini harus tetap dijaga.

Jujurlah media, saat ini ada banyak cenderung disalahgunakan untuk berbuat ketidakjujuran.

Jujurlah media, sebuah gerakan yang masif itu kau anggap berita aneh ini tak wajar.

Jujurlah media, bahwa setiap gerakan adalah propaganda yang itulah hakekatnya.

Jujurlah media, jika kau memean media mainstream lalu kini publik tak percaya maka media akan bergeser dalam ranah maya, ini kan lebah media yang sebenarnya.

Jujurlah media, bagaimana kabar yang benar disampaikan jangan sampai menyesatkan.

Jujurlah media, harusnya nila luhur media dijunjung tinggi bukan untuk suara mengubah pencitraan semata.

Jujurlah media, hanya segelitir media yang menulis jujur gerakan 212 dan itu sebuah kisah yang tak bisa dibantah meski informasi aparat hanya sekadar 20 ribu, tapi mata dokumnetas tak bisa dibendung. Nilai luhur kejujuran ada fakta. Gerakan apa ini? Seharusnya jika mengangkat nilai demokrasi maka raihlah, bukankan mereak juga rakyat mu hai sang penguasa?

Jujurlah media, jika seorang Januar Ardi yang mengaku analis media menulis ini gerakan gila. Ya menamg ini Gila karena tak masuk di akal. Gila karena seperti tak normal dibanding gerakan lainnya. Gerakan ini bukan strategi para taipan, bukan pula strategi dari rezim kekuasaan. 212 adalah gerakan yang skenarionya langsung dari ALLAH. Mengetarkan dan terjadi bukan begitu nyata semua itu?

Jujurlah media, publik pastinya bertanya-tanya apa media kita mati suri? Apa Lembaga pemberitaan pers yang sangat dilindungi di Indonesia di dalam menjalankan tugasnya untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, menyebarluaskan gagasan dan Informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lalu sepi ada gerakan besar, aman tertib dan damai luput?

Jujurlah media, pagi itu sampai pukul 11.00 Wib sejumlah TV seperti ini, 1. AN TV , Film India. 2. Trans TV, acara anak 3. Indosiar, sinetron, 4. SCTV, sinetron

5. Trans7, selebrita, 6. MNCTV, Ipin Upin, 7. TV ONe, Reuni 212. 8. Jak TV, musik

9. TvRI, rumah rakyat, 10. RCTI, Film Animasi

11. CTC, Spongboob, 12. Kompas, Bisnis

13. Net TV, Bisnis, 14. INews TV, Reuni 212

15. O Chanel, Bisnis 16. Elshinta, Jalan2. Jadi hanya TV One dan INews TV yg menayangkan acara 212 meskipun diputus-putus (begitu broadcast WA disejumlah group).

Jujurlah media, aktualisasi peristiwa terjadi di ruang publik besar dan ini kisah nyata, terlepas apapun tapi dimana nilai media kejujuran dipertaruhkan, apakah sudah mati nalar?

Jujurlah media, Di Tanah Air, konglomerasi media mulai menggejala pasca reformasi 1998 dan terus bertahan hingga saat ini. Lihat saja saat Pilpres 2014, betapa carut marutnya pers dalam menyajikan berita-berita yang tidak berimbang dan menohok lawan politik pemilik modal. Hampir pasti informasi yang disajikan sudah terdistorsi oleh berragam kepentingan. Sebuah peristiwa atau fenomena dapat dengan mudah dipelintir, dibingkai dan dimanipulasi demi membentuk persepsi masyarakat.

Apakah pers sudah menemukan kebebasannya, kalau pun ada itu hanya kebebasan semu. Meski sudah 20 tahun reformasi, kebebasan pers Indonesia hanya menempati rangking 124 di dunia, posisinya bahkan masih kalah jauh di bawah Timor Leste. Hal ini dikatakan Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Revolusi Riza.

Rangking 124 kebebasan pers Indonesia berdasarkan indeks yang dilaporkan Reporter Without Borders pada 2017. Organisasi bermarkas di Paris, Prancis itu merilis laporan kebebasan pers di 180 negara termasuk Indonesia. Kebebasan pers Indonesia naik enam peringkat dibanding sebelumnya. Di banding negara ASEAN lainnya, pers di Indonesia masih lebih bebas dari pada pers di Filipina yang menempati urutan 127, Kamboja (132), Thailand (142), Malaysia (144), Singapura (151), Brunei Darussalam (156), Laos (170), dan Vietnam (175).

Sementara dalam survei yang dilakukan Dewan Pers di 30 provinsi pada 2017 menunjukkan, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. IKP Indonesia tahun lalu berada diangka 67,92 atau dalam kategori agak bebas atau sedang. Dari 30 provinsi yang di survei, Aceh justru berada di peringkat teratas IKP paling tinggi dan Sumatera Utara sebagai juru kunci atau paling rendah tingkat kemerdekaan pers.

Pada posisi lima teratas, uniknya semua ditempati oleh provinsi di luar pulau Jawa. Aceh menjadi provinsi yang menempati urutan pertama dengan skor IKP tertinggi yakni 81,55. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebebasan di Bumi Serambi Makkah yang pernah dirundung konflik bersenjata dan diamuk tsunami hebat pada 2004 silam, mulai membaik dan agak bebas.

Yang mengejutkan justru wilayah perkotaan besar seperti DKI Jakarta berada di peringkat 25 dengan skor IKP sebesar 64,21 (sedang/cukup bebas) dan Jawa Timur di peringat 24 dengan skor IKP 64,25. Jika dilihat dari nilai rata-rata 20 indikator utama pada tingkat nasional, secara umum indeks kemerdekaan pers wilayah luar Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan indeks rata-rata wilayah Jawa dan nasional.

Kondisi ini memang menyedihkan. Ketika sebagian kota besar yang seharusnya mendapatkan skor IKP terbaik dan menjadi tren bagi daerah, justru sebaliknya. Faktor penyebab kondisi pers menjadi akut di kota-kota besar karena hegemoni modal yang terlalu besar. Sehingga media massa yang berada di bawah kepemilikan konglomerat. (dikutip dari sumber law-justice.co).

Nah Jujurlah media, maka saat ini menurut saya Pers dalam persimpangan antara tekanan penguasa dan juga sulitnya media menyampaikan kenyataan karena para pemilik media memang sudah ada dalam lingkaran politik kepentingan. Sehingga Jujurlah Media Atawa Pers sudah Mati Suri?. Nah itu selebihnya terserah Anda. Tabik!*

OLEH AENDRA MEDITA KARTADIPURA, pemerhati media dan sosial media, konsultan media di MeditaPR