By Sudaryono
Dalam tajuk “Ada Apa Antara Jokowi dan Anies?”, Pandji Pragiwaksono berusaha membagikan asumsinya kepada publik mengenai langkah politik yang dilakukan oleh kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil presiden, Baik Jokowi-Ma’ruf, maupun Prabowo-Sandi.
Dalam pembukaan vlognya, ia mengatakan bahwa upaya dongkrak mendongkrak suara ini dilakukan oleh Jokowi dan Sandiaga Uno. Ma’ruf Amin yang sejak awal digadang-gadang mampu membawa kenaikan suara, justru dianggapnya bukanlah senjata utama Jokowi. Nama Anies Baswedan lah yang menurut Pandji hadir sebagai senjata Jokowi.
Banyak manuver politik yang dilakukan oleh Jokowi. Salah satunya adalah dengan meningkatkan elektabilitas melalui kebijakan. Misalnya saja kebijakan gaji PNS yang akan naik di tahun 2019, penambahan anggaran keluarga harapan, dan banyak kebijakan lainnya.
Masih menurut Pandji, hal lain yang paling terasa adalah pemanfaatan media sebagai salah satu alat kampanye. Ia bahkan menyoroti akun Twitter Metro TV yang hampir selalu menaikkan berita mengenai “kebaikan” pemerintahan Jokowi. Sah-sah saja, namanya bekerja sama dengan media. Notabenenya sekarang media juga partisan. Begitu ungkapnya.
Hal lain yang disoroti Pandji adalah bagaimana tim Jokowi berusaha mengurangi negative campaign dan black campaign. Cara mengurangi penurunan suara dengan negative campaign dan black campaign adalah dengan “mengangkut” orang-orang yang selama ini aktif “menyerang” Jokowi. Misalnya saja Ngabalin, Yusril, La Nyalla, dan TGB.
Satu hal yang disoroti Pandji adalah kehadiran La Nyalla dengan segala “kesalahan masa lalu”-nya yang pernah memfitnah dan memborbardir Jokowi dengan hoax, kini menjadi bagian dari timnya, dan berbalik menyerang Prabowo.
“Kira-kira, orang macam La Nyalla mau pindah karena apa? Menurut gue itu yang mengkhawatirkan dan menakutkan,” Ungkap Pandji.
Meski begitu, Pandji berharap sudah tidak ada lagi orang di Indonesia yang mendengarkan La Nyalla lantaran La Nyalla pernah memfitnah dan berbohong mengenai Jokowi, jadi kalau seandainya sekarang ia menyerang pihak Prabowo, sebenarnya sama saja tidak bisa dipercaya lagi segala ucapannya.
Apalagi menurut Mahfud MD, apa yang dilakukan La Nyalla dulu bisa membawanya ke jeruji besi lantaran melanggar UU ITE yang berisi fitnah, SARA, dan menyerang individu, yakni Jokowi.
Selain itu, cara lain yang dilakukan Jokowi untuk mengurangi negative campaign dan black campaign adalah dengan mengajak Ma’ruf Amin sebagai pasangannya. Menariknya, dipilihnya Ma’ruf Amin bagi banyak orang ternyata dirasa tidak memiliki dampak terhadap elektabilitas. Beliau ibarat bumper, bukan sebagai lokomotif yang membawa gerbong suara.
Sementara menurut pandangan Pandji, elektabilitas Jokowi dan Prabowo sebenarnya sudah kelihatan akan segitu-segitu saja. Makanya di tim Prabowo, yang banyak ke mana-mana adalah Sandiaga Uno. Mengapa? Karena Sandiaga masih memiliki peluang yang sangat besar untuk menarik suara masyarakat. Bahkan yang megang tempo isu dalam kampanye ini adalah Sandiaga Uno hingga Jokowi dirasa harus selalu menanggapi semua isu yang dibuat Sandiaga Uno.
Di tengah segala strategi pemenangan Jokowi, “dengan tidak begitu berdampaknya Pak Ma’ruf Amin”, nama Anies Baswedan muncul sebagai salah satu senjata yang akan digunakan oleh Jokowi. Dengan menarik Anies Baswedan, Jokowi bisa mengambil gerbong suara dari basis massa Anies Baswedan. Pandji mencurigai kemungkinan ini karena ada begitu banyak prestasi dan penghargaan yang diberikan oleh kementerian era Jokowi kepada Anies Baswedan di 2018.
Menurutnya, berbagai penghargaan ini amat membingungkan. Anies yang selama ini banyak dicaci di sosial media, justru mendapatkan Penghargaan atas Pelayanan Publik yang sangat baik dari Kemenpan RB. Tidak hanya itu, banyak penghargaan lainnya yang diberikan oleh Menkopolhukam, Kementerian PPPA, Bappenas, Kemenaker, hingga KPK.
Hal menarik lainnya adalah suatu hari Jokowi menghadiri 3 kegiatan di Jakarta dan Anies diminta mendampinginya di ketiga acara tersebut. Baginya itu tidak wajar. Bagi Pandji, Jokowi terlihat sekali berusaha dekat dengan Anies Baswedan.
Apakah ini ada dampak elektabilitas? Tentu ada untuk mengangkut suara dari basis massa Anies. Kecurgiaan Pandji pun bertambah dengan “berkurangnya” serangan terhadap Anies Baswedan di sosial media. Mungkin saja ada arahan untuk tidak “menghina-dina” Anies Baswedan demi kepentingan mendapatkan suara.
Pandji di akhir vlognya kembali mengingatkan bahwa tujuan akhir dari kampanye politik sesungguhnya bukan melihat pasangan mana yang paling bagus programnya, melainkan pasangan mana yang bisa mengumpulkan suara rakyat paling banyak dalam pemilu nanti. Jadi wajar kiranya jika Jokowi berusaha mendekati Anies kembali untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya dari basis massa milik Anies.
Menariknya, video yang diunggah Pandji pada Minggu, 16 Desember 2018 di akun Youtubenya ini kemudian mendapatkan jawaban dari Anies Baswedan. Senin, 17 Desember 2018, Anies Baswedan mengacungkan dua jari, yakni ibu jari dan jari telunjuknya saat menghadiri Konferensi Nasional Partai Gerindra. Gaya dua jari yang identik dengan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo – Sandiaga Uno.
Di tengah pidatonya, Anies mendoakan agar Prabowo – Sandiaga menang seperti dirinya dan Sandiaga saat pemilihan Gubernur DKI 2017. “Insya Allah apa yang terjadi di Jakarta akan berulang di level nasional,” kata Anies di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat.
Analisis Pandji mengenai Anies Baswedan sebagai salah satu senjata yang akan digunakan oleh Jokowi, gugur sudah. Anies dengan gamblang merapatkan dirinya ke pihak Prabowo-Sandi.
Lalu siapa yang akan dijadikan senjata oleh Jokowi? Akankah ada Ngabalin, La Nyalla, Yusril, dan TGB selanjutnya yang “dibayarnya” dengan “harga mahal”?
Pemilu Presiden masih panjang, banyak hal yang bisa terjadi ke depannya. Mari kita nantikan berbagai kejutan yang disiapkan para elite partai dalam menghibur rakyatnya.
Btw, bagaimana dengan Pandji? Ah, rasanya ia akan ikut ke manapun Anies berjalan.