OLEH Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Salam dua jari! Inilah simbol yang saat ini dijadikan trend bagi rakyat untuk melakukan perlawanan (civil disobedience). Tentu kepada penguasa. Medsos hari ini dipadati dengan salam dua jari. Simbol ini menyasar pertama, kepada Jokowi. Di acara massal yang dihadiri Jokowi, hampir selalu muncul simbol dua jari. Bahkan disamping Jokowi, seorang mahasiswa memamerkan salam dua jari di depan kamera, sebelum Paspampres memegang tangannya. Kedua, kepada elit lingkaran Jokowi. Viral video Nusron Wahid dan Ngabalin, “pendukung paling keras” Jokowi, dikelilingi emak-emak dengan salam dua jari. Ketiga, menyasar kegiatan massal yang didesign untuk memgumpulkan para pendukung Jokowi.

Ini ganjil. Sebuah fenomena yang secara etik patut dicari faktor penyebabnya. Yang pasti, salam dua jari adalah bagian dari bentuk perlawanan rakyat. Soft, tanpa ada konsekuensi hukum. Tapi, efektif pesannya. Apa pesan itu? Ganti Presiden!

Rakyat yang mana? Pertanyaan ini akan selalu hadir. Logis! Memang perlu ditanyakan, rakyat yang mana? Yang pasti, sejumlah hasil survei merilis bahwa rakyat yang ingin ganti presiden selalu lebih banyak jumlahnya. Berarti, rakyat mayoritas. Soal apakah mereka ikhlas menyerahkan pergantian itu ke Prabowo? Perlu dibuktikan di 2019. Dengan catatan, tak ada kecurangan. Tak ada manipulasi di pilpres.

Berbagai kejanggalan terkait DPT, temuan 31 juta KTP ganda dan KTP berserakan, operasi aparat dan birokrat yang tertangkap kamera medsos, serta kotak suara kardus yang kerendam air mendorong rakyat untuk semakin mempertanyakan proses pilpres 2019. Public distrust tumbuh pesat. Ini perlu segera diatasi agar pilpres tidak cacat hukum dan politik.

Kenapa rakyat harus melawan? Dan kenapa mereka menuntut pergantian presiden? Ini penting untuk dijawab agar proses suksesi dan peralihan kepemimpinan memiliki alasan rasional, bukan semata gelombang emosional.

Jawabnya, rakyat lelah berada dalam tekanan. Pertama, tekanan hukum. Ketidakadilan terasa. Sejumlah kasus menjadi potret nyata dimana hukum telah jauh menjadi sarana politik.

Kedua, tekanan sosial. Persekusi oleh sekelompok massa yang berulangkali terjadi adalah petunjuk betapa tekanan sosial itu nyata. Ormas besar dibiarkan melakukan intimidasi terhadap ormas kecil. Kelompok satu dihadap-hadapkan dengan kelompok yang lain.

Ketiga, tekanan ekonomi. BBM naik, TDL naik, harga bahan pokok naik, adalah fakta yang membuat ekonomi rakyat tertekan. Kedaulatan pangan terancam.

Keempat, tekanan moral. Kebohongan menyisakan warisan imoralitas kebangsaan. Masifnya impor, mobil Esemka dan sejumlah janji politik lain mempertontonkan hilangnya ketauladanan kepemimpinan bangsa.

Kelima, tekanan politik. Sejumlah baliho, spanduk serta bendera di sejumlah tempat diturunkan dan mengalami pengrusakan. Pengguna atribut Ganti Presiden dicegat di jalan. Hak berkumpul dan menyalurkan pendapat seringkali mendapat tekanan dan hadangan.

Kenapa tak protes? Kenapa tak demo? Protes dan demonstrasi dicap radikal. Dianggap anti Pancasila. Dituduh ancam NKRI. Dihadang bulliyan. Tim counter yang terdiri dari sejumlah orang partai yang memiliki suara bernada tinggi dan lantang disiapkan sebagai juru hajar. Meski seringkali tanpa data memadai dan kecerdasan logika. Publik malah hanya menangkap kesan emosionalnya. Pasukan cyber siaga menguliti personality. Budayawan seliberal Sujiwo Tejo saja takut. Salah kata, hukum cepat bertindak kepada mereka yang berada di pihak seberang. Tidak berlaku sebaliknya.

Salam dua jari adalah solusi. Menyampaikan pesan dengan canda dan sarat hiburan. Dengan senyum, tanpa kemarahan. Ini bentuk dan strategi perlawanan yang taktis. dengan catatan, tidak ketahuan Paspampres. Asal tidak berdiri di samping Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dan Sri Mulyani. Bisa ditegur, dan diminta untuk diganti.

Sejak ulah Paspampres, LBP dan Sri Mulyani beberapa waktu lalu yang menegur salam dua jari, gerakan “salam dua jari” ini justru semakin digandrungi. Populer dan Jadi candu rakyat. Terutama oleh kaum milenial, emak-emak, dan mereka yang hobi action di depan kamera. Salam dua jari secara sosial menjadi salam milenial, salam anak-anak muda, dan salam aktivis para emak-emak. Dan, ketika Anies Baswedan di depan Jakmania mengangkat kedua tangannya dengan salam dua jari, serentak mereka mengikuti. Secara politis, salam dua jari adalah salam perubahan.

Salam dua jari itu artinya Ganti Presiden. Salam dua jari itu pesannya Jokowi diganti. Salam dua jari itu maksudnya 2019 Prabowo yang jadi. Apakah ini akan benar-benar terjadi? Hanya Tuhan yang tahu.

Bandung, 24/12/2018