Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/ama/17

Oleh Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Naiknya Anies jadi gubernur DKI itu fenomenal. Pertama, Anies muncul belakangan, dan elektabilitasnya paling kecil versi survei. Beruntung ada debat. Faktor debatlah yang membuat Anies berkesempatan untuk menunjukkan kompetensi dirinya. Narasi dan literasinya menyadarkan rasionalitas warga Jakarta untuk menjatuhkan pilihan padanya.

Kedua, saat dilantik, Anies menyampaikan pesan dalam pidatonya untuk memperjuangkan “kaum pribumi” sebagai komunitas “wong cilik” yang seringkali tak diuntungkan oleh kebijakan penguasa. Dan Anies membuktikan apa yang diucapkannya itu. Selamatkan nelayan dari reklamasi, sterilkan moralitas masyarakat Jakarta dari Alexis dan sejumlah SPA ilegal, beri jaminan pedagang kaki lima, tukang becak dan ojek untuk mencari nafkah di Jakarta. Sampai disini, Anies konsisten dengan narasinya. Gak banyak bicara, tapi cukup kerjakan apa yang dibutuhkan oleh rakyat.

Ketiga, bela “wong cilik” memaksa Anies harus berhadapan dengan kapitalisme-kolonial. Mereka adalah mafia yang di belakang layar bisa mengendalikan jari-jari kekuasaan dengan kedekatan, lobi dan uangnya.

Peristiwa di GBK, ritual demo di depan balaikota, sorakan dan cemoohan di resepsi pernikahan serta saat berkunjung ke istana, hingga pemanggilan Anies oleh Bawaslu dicurigai publik adalah bagian dari risiko itu. Anies face to face penguasa bukan rahasia lagi di mata rakyat.

Salam dua jari adalah penyebab mengapa Anies dilaporkan, lalu dipanggil Bawaslu. Rakyat awam pun bertanya: kenapa Anies dilaporkan dan dipanggil? Sementara Ridwan Kamil, Khofifah, dan sejumlah kepala daerah yang memberi dukungan ke Paslon No 01 dan juga melakukan salam satu jari kok tidak dipanggil?

Jawabnya? Anies memang beda. Dia spesial tidak saja di mata rakyat dan penguasa, tapi juga di mata Bawaslu. Alasan dan argumentasi apapun yang akan disampaikan Bawaslu, gak akan didengar. Rakyat akan tutup telinga. Kenapa? Ketidakadilan seperti ini sudah berulang-ulang terjadi. Rakyat lelah, dan makin kehilangan kepercayaan.

Pemimpin memang harus dari komunitas eksepsional person. Manusia yang berbeda dari umumnya orang. Mesti punya keunggulan integritas, kompetensi, narasi dan literasi. Ini model pemimpin yang bisa dititipkan harapan rakyat di pundaknya. Dan Anies memenuhi kriteria itu.

Bukan pemimpin jenis holder of eksepsional posision. Orang biasa dalam integritas, kompetensi dan literasinya (ordinary people), tapi disekenariokan untuk merebut, mengambil dan menempati posisi pemimpin. Caranya? Orang ini dicitrakan hebat dan layak, padahal sama sekali tak punya kelayakan, apalagi kehebatan. Apa tujuannya? Jadi boneka dan mesin kepentingan. Nah, holder of eksepsional posision ini bahaya bagi sebuah negara. Karena orientasi kerjanya hanya semata-mata untuk membangun citra, bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Gak peduli negara amburadul dan babak belur, yang penting citra dan survei dirinya bagus. Ukuran kesuksesannya pada survei citra diri, bukan soal bagusnya ekonomi, majunya teknologi, dan seterusnya.

Anies Baswedan telah menunjukkan jati dirinya sebagai eksepsional person. Kompeten, dan menggunakan kompetensinya untuk menegaskan keberpihakannya kepada mereka yang harus dibela kepentingannya sesuai aturan dan amanah undang-undang. Meski komitmen ini mengundang lawan dan dicari-cari kesalahannya. Anies harus didukung rakyat untuk menghadapinya. Anies tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan rakyat. Bukan dukungan untuk Anies secara personal, tapi dukungan terhadap integritas dan komitmen keberpihakannya kepada rakyat yang teridentifikasi sebagai wong cilik.

Komitmen, keberanian dan kecerdasan Anies inilah yang mendorong rakyat untuk memberinya julukan “Gubernur Indonesia”. Istilah ini merupakan bentuk apresiasi, juga kerinduan dan harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin bangsa seperti Anies. Lalu muncul tagar #2024AniesPresiden. Inilah bedanya Anies dari yang lain.

Jakarta, 8/1/2019