Foto : Istimewa

Surat Terbuka

Kepada Yth ,
Komisi Pemberantasan Korupsi

Mohon dilakukan Penyelidikan Tahapan Divestasi PT Freeport Indonesia.

Merujuk pernyataan Direktur Utama holding tambang PT Inalum Budi Gulnadi Sadikin ( BGS ) diberbagai media pada hari Jumat 21 Desember 2018 , sesaat setelah berhasil menutup pembayaran 40% PI Rio Tinto adalah sebesar USD 3.5 miliar dan USD 350 juta untuk nilai saham PT Indocopper Investama didalam PTFI ( PT Freeport Indonesia ) , sehingga akhirnya PT Inalum sudah berhasil memiliki mayoritas saham 51,2% didalam PTFI.

Meskipun Inalum berhasil mayoritas di PTFI , tetapi posisi Komisaris Utama dan Direktur Utama ditempati dan dikuasai oleh Freeport , sehingga biaya yang sudah dan akan dikeluarkan oleh PT Inalum untuk invetasi tambang bawah tanah terkesan sia sia.

Realisasi divestasi itu dilaksanakan atas arahan Presiden Joko Widodo pada 10 Januari 2017 untuk meningkatkan kepemilikan negara di PTFI menjadi 51% dari saat itu sebesar 9,36 % .

Lebih jauh PT Inalum dalam dokumennya menyatakan bahwa pada tahun 1996 , Rio Tinto dengan Freeport Mc Moran ( FCX ) telah menandatangani ” Participation Agreement ” atau disebut juga ” Participating Interest “( PI / Hak Partisipasi ) , yang intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40% sampai akhir tahun 2021, dengan kondisi produksi diatas batas yang sudah disepakati bersama ( “metal strip ” ) , tetapi anehnya dikatakan bahwa sejak tahun 2022 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40 % dari produksi dan biaya operasi , tanpa “metal strip ” atau batasan hingga tahun 2041.

Semua langkah korporasi yang dilakukan PT Inalum dilaksana setelah mendapat penugasan dari Kementerian BUMN pada 18 Desember 2017 .

Padahal KK baru akan berakhir pada 30 Desember tahun 2021, seharusnya tanpa hak FCX menjanjikan saham kepada PT Rio Tinto melampaui batas waktu kontrak adalah merupakan pelanggaran berat terhadap KK 1991.

Semua itu katanya karena Menteri ESDM IB Sujana pada 29 April 1996 telah menyetujui skema kerjasama operasi antara Rio Tinto dengan FXC ini hanya sampai tahun 2021 , bukan sampai 2041.

Akan tetapi PT Inalum pada 18 Febuari 2018 telah menunjuk beberapa konsultan yaitu Danareksa , PwC , Morgan Stanley dan Behre Dolbear Australia untuk melakukan ” due dilingent “dari aspek legal , keuangan dan tehnis ternyata tidak pernah menyebut adanya dokumen hasil “RUPS PT FI ” terkait persetujuan PI Rio Tinto ( krn PTFI didirikan berbadan hukum di Indonesia harus tunduk pada UU Perseroan Terbatas ) , dan yang menjadi pertanyaan besar adalah sejak kapan saham Pemerintah 9,36 % telah terdilusi menjadi 5,68 % ?, sehingga PT Inalum terpaksa harus membeli saham PT Indocopper Investama agar bisa mencapai 51, 2% .

Namun berdasarkan banyak fakta fakta yang ada dan baru terungkap , telah menyisakan beberapa pertanyaan penting terkait keberadaan PI Rio Tinto didalam struktur saham milik Freeport Mc Moran sebanyak 90, 64 % dan saham milik Pemerintah hanya 9 , 36 % didalam PTFI dan saham Bakrie didalam PT Indocover Investama 9,36 % telah dibeli oleh FCX pada tahun 2002 dari PT Nusamba Mineral Industri milik Bob Hasan .

Mengacu banyak fakta fakta , baik termasuk dari keterangan Dr. Rizal Ramli sebagai mantan Menko yang pada era Presiden Gus Dur pernah juga bersentuhan dengan PTFI dalam pertemuannya dengan James Mofett pada tahun 2000 telah mengakui telah menyuap menteri saat itu yang melahirkan Kontrak Karya tahun 1991 menjadi ” kontrak baru “, bukan ” kontrak perpanjangan” dari KK tahun 1967 , karena James Moffett pada tgl 14 Desember 1988 mengajukan permohonan “perpanjangan ” kepada Menteri Pertambangan Energi Ir Ginanjar Kartasasmita , akan tetapi anehnya yang keluar adalah KK Baru thn 1991 dengan opsi boleh perpanjangan 2 X 10 tahun , padahal hasil kesepakatan akhir pada 28 Maret 1989 didapat kesepakatan penting , diantaranya pemberian saham 20% PTFI kepada pihak nasional , pendirian smelter dan terpenting adalah perpanjangan KK , bukan KK baru , akibat KK Baru maka terjadi negara kehilangan pemasukan 6, 75 % dari ” pajak penghasilan dari semestinya 41,75 % menjadi hanya 35 %” sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 2001.

Oleh karena telah terungkap fakta terbaru dan terlengkap dari buku Dr. Simon F Sembiring sebagai mantan Dirjen Minerba (2003 sd 2008) , dia juga sebagai salah seorang arsitek UU Minerba , disamping itu atas permintaan Plt Menteri ESDM Luhut Binsar Panjaitan pada awal tahun 2017 , Simon Sembiring sebagai salah satu anggota tim perumus PP nmr 1 tahun 2017 yang telah digunakan sebagai payung hukum perubahan KK PT FI menjadi IUPK.

Ketika pada saat acara peluncuran buku “Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan” untuk mengungkap “Karut Marut Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport Yang Penuh Jebakan” ditulis oleh Simon F Sembiring terungkap banyak fakta fakta yang ” agak ngeri ngeri sedap ” dan tak pernah diketahui oleh publik dan bahkan oleh pejabat ESDM sendiri selama ini .

Adapun fakta mengejutkan , yaitu terungkap adanya surat rahasia IB Sujana tgl 29 April 1996 bernomor 1826/05/M.SJ/ 1996 yang ditujukan kepada James Moffett CEO Freeport Mc Moran dianggap janggal dan melanggar Pasal 28 ayat 2 KK , karena pasal itu menyatakan bahwa: “Setiap pemberitahuan, permintaan, izin, persetujuan, dan pengumuman lain yg diperlukan dengan ketentuan persetujuan harus dilakukan dengan tertulis dan dikirimkan melalui Direktur Jenderal Pertambangan Umum dengan alamat Jalan Gatot Subroto Kav 49 (sekarang Ditjen Minerba Jalan Supomo Tebet)”, akan tetapi kenyataannya surat menyurat antara FXC James Moffett dengan Menteri IB Sujana tidak mengikuti ketentuan pasal 28 ayat 2 kontrak karya ( KK) dan anehnya surat itupun tidak ditembuskan kepada Dirjen Pertambangan Umum, saat itu masih dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.

Adapun penjelasan Simon Sembiring bahwa kode surat “M .SJ” itu yang telah digunakan sebagai kode surat IB Sujana yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal, bukan kode “M. DJP” Direktorat Jenderal Pertambangan Umum sebagaimana lazimnya , sehingga Dirjen Pertambangan Umum saat itu dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto sampai akhir jabatannya tidak mengetahui tentang persetujuan PI Rio Tinto terhadap FXC dari surat IB Sujana tertanggal 29 April 1996 , sehingga surat itu dari perspektif KK dan aspek administrasi negara sangat dapat diduga ” ilegal” karena telah nyata melanggar pasal 28 ayat 2 Kontrak Karya.

Selain itu, ternyata isi surat IB Sujana tersebut di ataspun telah dipertegas oleh surat Menteri Keuangan Marie Muhammad tgl 1 April 1996 dgn nomor S-176 /MK .04/ 1996 pada angka ketiga surat tersebut malah memberikan penegasan bahwa imbalan atas investasi Rio Tinto (RTZ) sebesar USD 850 juta bahwa PT FI akan mengalihkan 40% hak kewajibannya kepada anak usaha PT RTZ dalam KK (tidak termasuk hak dan kewajiban yang sudah ada pada tahap eksploitasi pada wilayah KK blok A ) , sehingga PI Rio Tinto (PT RTZ) hanya diizinkan bekerjasama pada Blok B 
sebagai pengembangan dalam KK 1991 , semuanya dapat dilihat lampiran data koordinat Blok A dan Blok B , sehingga kedua blok tersebut secara administrasi wilayah pertambangan adalah terpisah.

Maka dengan demikian, valuasi yang dilakukan oleh konsultan keuangan yang ditunjuk oleh PT Inalum terhadap PI Rio Tinto di blok A , bukan di blok B sesuai persetujuan Menteri IB Sujana dan Marie Muhammad April 1996 diduga ” ilegal” , dan karena sudah dibayar oleh PT Inalum pada 21 Desember 2018 , maka dapat dikatakan telah terjadi potensi kerugian negara.

Sangatlah aneh dan tak masuk akal kalau kemudian PT Inalum dengan mudahnya membayar nilai Participating Interest Rio Tinto mencapai USD 3.5 miliar, padahal Rio Tinto tidak jelas “legal standing”nya dalam hubungan investasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI sesuai Kontrak Karya. Celakanya, bagaimana mungkin FCX mengijon Participating Interest Rio Tinto sampai tahun tahun 2041, padahal KK 1991 akan berakhir Desember 2021. Sangat ironis!

Hal itu diperkuat keterangan Simon Sembiring bahwa Partipacing Agreement antara PTFI dengan PT Rio Tinto Indonesia ( PTRTI ) baru dilakukan pada 11 Oktober 1996 setelah 6 bulan dari surat IB Sujana dan Marie Muhammad , tetapi tidak pernah disampaikan secara resmi kepada Direktorat Jenderal Pertambangan Umum ( Minerba ) ternyata telah mengalami 7 kali amandemen dan terakhir pada 21 Oktober 2016.

Telah banyak pihak, termasuk Simon Sembiring, yang memberikan masukan kepada Pemerintah dalam hal ini kepada KESDM dan PT Inalum, mengenai potensi kerugian negara ketika PT Inalum harus membayar Participating Interest Rio Tinto dengan nilai USD 3.5 miliar, namun katanya Dirut PT Inalum Budi Sadikin malah mengabaikannya , dan siap pasang badan.

Padahal, kata Simon Sembiring kalaulah Pemerintah atau PT Inalum harusnya berani menyoal “legal standing ” Participating Interest Rio Tinto bahkan sampai dengan ke arbitrase internasional hanya dengan membayar sekitar USD 10 juta untuk jasa konsultan hukum yang berkualifikasi dunia , sangat besar kemungkinan PT Inalum menghemat miliaran dollar Amerika , keyakinan dia itu berdasarkan pengalamannya dalam beberapa even menghadapi Freeport Mc Moran dan Newmont Sumbawa.

Fakta lainnya, berdasarkan temuan audit tujuan tertentu BPK RI pada periode 2015 sampai dengan 2017 ada nilai ekosistem yang dikorbankan atau potensi kerusakan lingkungan atas perhitungan jasa ekosistem oleh IPB dan LAPAN ada potensi nilai kerusakan mencapai USD 13 .592.299 .294 atau setara Rp 185 triliun (Majalah Tempo 23 Januari 2019 mengulas dalam laporan utama) dan adanya penggunaan kawasan hutan lindung tanpa izin dan hanya dikenakan denda sebesar Rp 460 miliar, akan tetapi pada 31 Januari 2019 Freeport Mc Moran malah menyatakan akan mengkaji dulu nilai denda tersebut.

Anehnya BPK dan Kememtrian LHK tidak mampu alias gagal menetapkan kerugian negara dari kerusakan lingkungan yang sudah nyata , artinya tak mampu menjaga kepentingan nasional demi masa masa depan anak bangsa , karena hanya diselesaikan dengan tahapan “road map” perbaikan lingkungan , sehingga PT Inalum berpotensi ikut menanggung dosa warisan kerusakan lingkungan sejak tahun 1972 sd 2018 yang sejak 1997 PT Rio Tinto sudah banyak menikmati hasilnya plus ditambah akuisi USD 3,5 miliar adalah sukses mengakali Indonesia , lebih ironis memang .

Sehingga kami berkesimpulan bahwa pembelian Participating Interest Rio Tinto yang malah diduga bermasalah dengan sangat grasa-grusu oleh PT Inalum dibeli dengan menggunakan sumber pembiayaan dari jual global bond sampai USD 4 miliar akan menjadi beban negara dimasa akan datang.

Mengingat banyak hal yang menunjukkan bahwa divestasi Freeport sarat dengan pelanggaran hukum/UU dan potensi kerugian negara. UU yang potensial dilanggar, antara lain KK ,UU Minerba, UU Kehutanan, UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup No.32/2009, UU BPK,

Kami sangat mengharapkan atensi khusus KPK untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap potensi kerugian negara lebih besar dengan memerintahkan BPK RI melakukan audit khusus dengan tujuan tertentu atau melakukan “audit forensik ” terhadap proses divestasi saham PTFI oleh PT Inalum.

Karena kasus ini bukalah delik aduan , maka tak perlu kami harus melaporkan secara resmi ke KPK , cukup dengan rilis ini dan kami siap memberikan data data terkait apabila KPK membutuhkannya.

Tak tertutup kemungkinan kami akan segera melaporka n pada Maret 2019 terhadap dugaan praktek curang yang dilakukan CEO FCX dalam divestasi dan pelanggaran lainnya selama beroperasi terhadap KK PTFI ke Komisi FCPA ( Foreign Corruption Practise Act ) di Amerika.

Dari Kami, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba:

  1. DR Marwan Batubara, IRESS
  2. Ir .Budi Santoso,IPM , CPI ,MAusIMM CIRUSS 
    3 Yusri Usman, CERI
    4 Dr Ahmad Redi SH , KJI
    5 .Bisman Bakhtiar SH.MH.,MM , PUSHEP.