Hendrajit Direktur Eksekutif GFI / F0T0 Medita

Kemarin diundang jadi narsum di Populi Center. Ketemu beberapa teman lama seusai seminar.
Dari obrolan mencuat kekhwatiran takut negeri kita belah gegara pilpres. Malah ada yang begitu kuatirnya takut negri kita disintegrasi nasional.

Mulanya bingung juga saya sebab nyatanya tensi dan emosi para pendukung paslon memang gegap gempita.

Sontak aja saya tanya. :”Bro, di antara dua kubu kala baku debat atau perang status ada tentara ikutan nggak?” Ya nggak sih, kata mereka.

Ya udah aman berarti. Kalau urusan kampret cebong yang sampai antar saudara marahan. Kakak adik perang mulut di meja makan. Suami istri diam diaman di ruang tamu dan kamar tidur. Boleh jadi itu bikin kita asing dengan budaya pemilu yang kebarat baratan. Sehingga kita jadi mikir jangan jangan kita sudah kehilangan sentuhan tradisi ketimuran kita gegara pemilu.

Tapi percayalah, saya bilang. Situasi semacam itu tak akan perang saudara apalagi negara pecah. Ini sekadar gejala masyarakat sipil yang lagi kena gegar budaya baru yang asing bagi kita.

Belum ngerti bahwa perbedaan sikap politik atau dalam pilihan sosok pemimpin itu sebetulnya nggak boleh dibawa ke masalah pribadi sehingga rusak persaudaraan dan pertemanan.

Bung Karno. Karto Suwiryo dan Alimin dari jaman ngekos di Haji Omar Said Cokroaminoto juga sengit dan belakangan malah ngusung ideologi berbeda. Tapi giliran nonton bareng atau bahas buku baru terbit. Tetap saja mereka anak anak asuh Pak Cokro.

Kultur masyarakat sipil kita yang beruratakar ke tradisi timur punya ketahanan budaya untuk menangkal perpecahan. Maupun perang saudara.

Lain halnya kalau tentara atau aparat bersenjata ikut cawe cawe. PRRI PERMESTA. PEMBERONTAKAN ANDI AZIS MAKASAR. Gerakan September 1965. Yang mengarah ke gerakan separatis atau perang saudara. Selalu terjadi ketika para kolonel dan jendral mulai cawe cawe.

Apa yang begitu tajam pertentangan antara kubu Jokowi dan Prabowo tentu saja bikin prihatin. Tapi baik buruknya itu fenomena masyarakat sipil kita. Itulah konsewensi dari watak komunal yang masih mewarnai demokrasi kita. Belum demokrasi berbasis komunitas.

Namun lebih dari itu tak akan ada perang saudara. Tak ada baku tembak atau bedil bedilan. Tapi mungkin kah perang atau rusuh nasional terjadi, tanya teman teman tadi. Ya mungkin saja kata saya. Tapi pastinya bukan antar para pendukung dan simpatisan paslon. Tapi dari lapis masyarakat lain yang mengatasnamakan para pendukung dan simpatisan para paslon.

Mulus atau terjal bangsa kita tetap maju ke depan. Meski ada yang maju sembari rajin nengok ke belakang. Ada yang pokoknya mandang ke depan terus nggak peduli lihat kiri kanan. Atau ada juga yang kerajinan nengok belakang tahu tahu nambrak depan.

Tapi Indonesia jalan terus. Dan kita cinta negri. Dan ini memang rumah kita. Habis mau kemana lagi. Rumah kita. Tradisi kita. Dan ruh kita. The House of Spirit.

HENDRAJIT