Tjahja Gunawan/dok JakSAT

Oleh : Tjahja Gunawan
(Penulis Wartawan Senior)

Pada acara debat calon presiden yang disiarkan langsung, Minggu malam (17/2), sejumlah elemen masyarakat menggelar acara nonton bareng.

Kami para jamaah mesjid di kompleks perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) sengaja mengadakan nobar untuk memperkuat tekad menyongsong kemenangan Capres Prabowo Subianto.

Sejatinya debat tidak akan berpengaruh bagi kami para pemilih yang telah memutuskan pilihan kepada pasangan Prabowo-Sandi.

Menjelang Pilpres 2019 ini, kami para jemaah mesjid di BSD sudah bulat mengikuti keputusan para ulama dalam Ijtima yang telah memutuskan untuk mendukung pasangan Capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kami ikut kata para ulama, sami’na wa atha’na.

Acara debat capres sebenarnya ditargetkan untuk menyasar 20 persen pemilih yang belum menentukan pilihannya. Mereka pemilih kritis dan rasional yang masih ingin melihat, mendengar dan menimbang calon pemimpin mana yang diyakini mampu menjawab persoalan dan menjanjikan perubahan bagi Indonesia.

Oleh karena itu pasca debat capres, kelompok yang belum menentukan pilihan (undecided/swing voters) akan berusaha menggali informasi apakah data yang dipaparkan sesuai fakta di lapangan, atau apakah janji yang diucapkan realistis dilaksanakan.

Namun dari apa yang kita saksikan pada acara debat tersebut, sangat disayangkan seorang Jokowi yang juga presiden RI ternyata fakir data dan fakir informasi. Dan hal itu dipertontonkan kepada seluruh rakyat, dan hebatnya dia telah mengatakannnya tanpa merasa berdosa.

Presiden Jokowi menyampaikan beberapa kesesatan data pada debat kedua capres. Pertama, Jokowi mengatakan total impor jagung tahun 2018 sebanyak 180.000 ton Padahal, data sahih menunjukkan impor jagung semester 1 tahun lalu sudah 331.000 ton. Keseluruhan total impor jagung tahun 2018 sebanyak 737.228 ton.

Kedua, Jokowi menyampaikan total produksi beras Tahun 2018 sebangak 33 juta ton sementara total konsumsi 29 juta ton. Padahal data yang benar adalah data konsumsi beras nasional 2018 sebanyak 33 juta ton sedangkan data produksi plus impor sebesar beras 46,5 juta ton.

Ketiga, Jokowi menyatakan telah membangun lebih dari 191.000 km jalan desa, padahal itu adalah total jalan desa yang dibangun sejak Indonesia merdeka, sejak jaman Presiden Soekaro, Soeharto, Habibie, Megawati, SBY dan Jokowi. Mengapa diklaim semuanya oleh Jokowi ? .

Keempat, Presiden Jokowi menyatakan bahwa kolam bekas galian tambang sebagian telah dialih-fungsikan diantaranya untuk kolam ikan. Padahal berbagai literatur menunjukkan bahwa area bekas tambang tidak bisa digunakan untuk apapun, karena terpapar radiasi.

Kelima, Jokowi menyatakan telah membangun infrastruktur internet jaringan 4G 100 persen di Barat, 100 persen di tengah dan 90 persen di timur, Padahal, data menunjukkan kurang dari 20 persen kabupaten dan kota bisa mengakses signal 4G.

Keenam, menurut Jokowi akses internet sudah sampai ke desa-desa, banyak produk pertanian memiliki market place sehingga mendapat harga yang bagus karena memotong rantai distribusi. Padahal, dari keseluruhan market place online produk pertanian kurang dari 1 persen dan sisanya 99 persen offline.

Itupun harga jual ditingkat petani rata-rata hanya 10 persen dari break even point (titik impas-BEP). Bahkan ketika panen raya harga jatuh menjadi kurang dari 50 persen BEP.

Ketujuh, Presiden Jokowi tidak bisa membedakan status kepemilikan tanah, antara hak guna usaha (HGU) dan sertifikat hak milik (SHM). Pemahaman Jokowi soal jenis surat-surat sangat kacau.

Kedelapan, Jokowi mengklaim bahwa pemerintah memenangkan gugatan Rp 18 triliun- Rp19 triliun akibat kerusakan lahan. Namun, organisasi penggiat lingkungan Greenpeace meluruskan bahwa hingga saat ini tidak ada satupun dari gugatan itu yang dibayarkan.

Kesembilan, Presiden menyatakan sejak 2015 tidak pernah terjadi kebakaran hutan. Padahal data menunjukkan bahwa pada tahun 2016-2018 telah terjadi kebakaran lebih dari 30.000 hektar lahan hutan. Akhirnya, Jokowi sibuk sendiri melakukan ralat atas pernyataannya yang salah tersebut. Seperti dikutip portal berita Tempo.co, Senin (18/2), Jokowi akhirnya mengakui kalau kebakaran hutan terjadi di era pemerintahannya.

Bagaimana bisa seorang presiden kacau dalam hal mengungkapkan data? Dan kekacauannya sangat fatal dan luar biasa sesatnya.

Padahal seorang Presiden seharus mempunyai data yang justru lebih valid dari siapapun karena dia menguasai seluruh akses data. Jangan sampai Kita sebagai masyarakat tertular oleh virus kebohongan. Oleh karena itu sebelum kita kebawa ikut kacau, sebaiknya Saya akhiri tulisan sampai disini. Wallahu’alam.***