By Asyari Usman

Maaf jika judul tulisan ini terasa agak ge-er. Sebab, saya memang bukan siapa-siapa untuk disebut “Saya vs Romi Romahurmuziy”. Terlalu kecil saya bagi Mas Romi.

Judul ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali bahwa saya pernah tersangkut perkara dengan Pak Romi. Pernah berhadapan demgan Romi.

Di bulan Februari 2018, saya dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh ketua PPP itu. Saya dituduh mencemarkan nama baik beliau. Juga menghina. Status saya langsung tersangka. Cuma, tidak ditahan.

Waktu itu, saya dilaporkan karena tulisan yang berjudul “Politisex Vendor”. Di dalam tulisan ini, saya mendeskripsikan Pak Romi sebagai pelacur politik. Romi tersinggung. Tim hukum beliau mempolisikan saya.

Kata beberapa teman, yang melaporkan saya ke polisi itu bukanlah keinginan Romi. Dia, kata mereka, tak peduli lagi mau disebut apa pun juga. Maksudnya, orang-orang di sekitar Romi-lah yang bersemangat menyelamatkan “nama baik” Pak Ketua. Tetapi, secara formal, saya dilaporkan oleh Romi.

Sekali lagi, saya dituduh menghina Romi dan mencemarkan nama baik beiau. Yang agak mengherankan, kasus penghinaan dan pencemaran ini tidak berlanjut. Maaf kepada semua pihak, saya tidak bermaksud menantang. Sama sekali tidak.

Ini saya katakan sekadar ingin mencari penjelasan apakah mungkin penghinaan yang dituduhkan ke saya itu dianggap “ringan” sehingga tak perlu diperpanjang. Dalam arti, ada berbagai kehinaan lain yang jauh lebih buruk. Wallahu a’lam.

Bisa jadi memang banyak hal lain yang lebih hina lagi dibanding sebutan “pelacur politik”. Sebagai contoh, KPK melekatkan tuduhan kepada mas Romi sebagai “penjual jabatan” di Kemenag terkait OTT kemarin di Surabaya (15/3/2019).

Tentang “jual jabatan” di Kemenag itu, Prof Mahfud MD banyak tau. Menurut Mahfud dalam wawancara dengan Kabar Petang tvOne, kemarin (15/3/2019), jual jabatan itu membuat banyak pejabat terzolimi. Misalnya, banyak pejabat yang digeser tanpa alasan. Penggeseran yang dilakukan sesuka hati. Orang bisa dipindahkan tiba-tiba.

Contoh lain, dalam lelang jabatan di Kemenag, orang yang menang lelang bisa tidak dilantik. Sampai begitulah, kata Prof Mahfud, proses jual jabatan dilakukan.

Memang sangat prihatin. Wajar dikatakan sebagai kelakuan yang tercela. Barangkali, inilah yang dapat disebut perbuatan yang “lebih hina” ketimbang “nama baik Romi tercemar” gara-gara disebut “pelacur politik”.

Bayangkan, ada sekian banyak orang baik yang teraniaya akibat “jual jabatan” di Kemenag. Sedangkan nama Romi yang “saya cemarkan” mungkin tidak begitu mencemaskan.

Wallahu a’lam.

(Penulis adalah wartawan senior)